Wednesday, March 30, 2011

Ulama dan Si Tukang Bo’ong!

Apa yang anda bayangkan bila tokoh agama mulai terusik meninggalkan masjid, gereja, dan vihara, bertemu dalam satu tempat membicarakan negara yang tak menentu. Mereka membincang pemimpin mereka yang katanya mulai berjarak dengan rakyatnya.

Syahdan, tiga puluh tahun lalu para Mullah yang jengah dengan kepemimpinan Syah Pallevi memenuhi jalan-jalan utama Teheran, menyebar selebaran mengajak rakyat bersama dalam iring-iringan menuntut digulirkannya monarki yang telah berabad membelenggu. Dari Paris,Imam Khomeini berpidato dihadapan ratusan wartawan menggelorakan revolusi ke sepenjuru Iran. Sahut bersambut, rakyat Iran di dipuncak kesabarannya memotong jalan panjang kekuasaan Syah, revolusi pun terjadi.

Belum lama dari sekarang, di Myanmar, para biksu menabrak tradisi “diam”. Mereka gelisah. Bila harga melambung dan rakyat tercekik, bukan lagi waktunya berdiam diri di Pagoda. Sebab agama adalah keseharian dan agama menolak segala perilaku yang merugikan rakyat banyak. Mereka turun ke jalan, untuk sebuh revolusi yang mereka idam-idamkan. Meski, akhir dari aksi mereka tak semulus revolusi yang dikomandani Imam Khomeini di Iran. Junta Militer membabi buta menangkap dan menyiksa para biksu.

Di belahan yang lain, sejumlah catatan sejarah setidaknya menjadi penjelas betapa gejolak perlawanan terhadap rezim tidak sedikit di gelorakan melalui mimbar-mimbar masjid, melalui corong gereja yang dikumandangkan para pendeta atau dari mulut para biarawan.

Sejatinya, agama manapun menyampaikan pesan yang sama perihal kehidupan sosial. Keadilan mesti ditegakkan,kelaparan tidak boleh terjadi, dan pemimpin yang zalim dan pembohong harus digantikan-kasarnya diturunkan. “Agama harus membebaskan!” demikian kata Ali Syariati. Segala ritus yang menghubungkan hamba dengan penciptanya harus dilengkapi dengan ikhtiar untuk membebaskan sesama.

Mungkin karena alasan itu, beberapa tokoh lintas agama beberapa waktu lalu bertemu dalam suatu forum di kantor PP Muhammadiyah. Mereka adalah Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Pendeta D Situmorang, Bikkhu Pannyavaro, Sholahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suzeno dan Romo Benny Susetyo. Mereka mencapai titik sepakat, “SBY Pembohong!”. Sejumlah fakta pendukung mereka kemukakan, sembilan (9) kebohongan lama dan sembilan (9) kebohongan baru.

Diantara semua itu,beberapa hal menurutku paling fatal adalah UU Sistem Pendidikan Nasional menuliskan anggaran pendidikan harus mencapai 20% dari alokasi APBN. Alokasi ini harus dari luar gaji guru dan dosen. Hingga kini anggaran gaji guru dan dosen masih termasuk dalam alokasi 20% APBN tersebut.

Dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2010 Presiden SBY menyebutkan bahwa Indonesia harus mendukung kerukunan antarperadaban atau harmony among civilization. Faktanya, catatan The Wahid Institute menyebutkan sepanjang 2010 terdapat 33 penyerangan fisik dan properti atas nama agama dan Kapolri Bambang Hendarwso Danuri menyebutkan 49 kasus kekerasan ormas agama pada 2010.

Presden SBY meminta penuntasan rekening gendut perwira tinggi kepolisian. Bahkan, ucapan ini terungkap sewaktu dirinya menjenguk aktivis ICW yang menjadi korban kekerasan, Tama S Langkun. Dua Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jenderal Timur Pradopo, menyatakan kasus ini telah ditutup. SBY juga berkali-kali menjanjikan sebagai pemimpin pemberantasan korupsi terdepan. Faktanya, riset ICW menunjukkan bahwa dukungan pemberantasan korupsi oleh Presiden dalam kurun September 2009 hingga September 2010, hanya 24% yang mengalami keberhasilan.

Sebenarnya, semua kebohongan tersebut adalah laten, sejak lama telah kita ketahui. Hanya saja, menghalangi orang yang gemar pidato untuk terus saja sesumbar rupanya bukan perkara mudah. Dari berabagai cara yang paling halus hingga demo anarkis, Pak Beye tetap tak bergeming. Corong telah menjadi kesehariannya. Berdiri di depan podium dengan air muka yang sedih.

Beginilah jika pemimpin yang juga berhasrat menjadi selebritis. Bohong bukan soal, yang penting pencitraan. Sesuatu yang sebenarnya kontradiksi, sebab kebohongan yang berulang justru menurunkan citra Pak Beye sendiri.

Namun, adakah suara para ulama itu menjelma menjadi sebuah gerakan. Sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru Pak Beye bukankah sudah cukup bagi mereka untuk menyeru kepada umat bahwa negara sedang dibohongi. JIka cemoohan tidak cukup mengurangi kebohongan Pak Beye, mungkin ayat-ayat Tuhan adalah jalan terakhir dari semua kebuntuan.

Saya tidak ingin berandai-andai dengan segala kemungkinan dibalik seruan para tokoh agama. Revolusi atau tidak, semuanya mungkin saja. Tapi satu yang pasti, “Tuhan tidak penah tidur”.

Muhammad Iqbal
January 15 at 10:01am · Like · Report

No comments:

Post a Comment