idak ada yang lebih merusak martabat pemerintah dan hukum negeri dibanding meloloskan undang-undang yang tidak bisa ditegakkan.
Pemerintah tidak bekerja karena undang-undangnya tidak dipatuhi warganegara. dan di negeri ini terlihat sekali bahwa undang-undang dibuat untuk kepentingan tertentu, so untuk apa ditegakkan, begitu kata seorang kawan.
Dari semua alasan yang dikemukan sangat beralasan sebab selain kesadaran kita rakyat Indonesia tentang undang-undang pun sangat minim tak heran melahirkan pemimpin yang bodoh melaksanakan penegakan undang-undang itu sendiri, serta juga yang pandai memanfaatkan multitafsir dari undang-undang itu sendiri.
Siapapun pemimpin yang mewakili dan memerintah, lahir dari rakyat yang memilihnya, produk tergantung bagaimana produsen menciptanya. jadi bagaimana bisa menegakkan undang-undang, bila semua dalam keadaan tidak sadar apa itu bahasa undang-undang.
Dan sebagaimana saya ketahui bahasa yang tertera dalam undang-undang 45 tersebut multitafsir. sehingga memunculkan banyak sekali peraturan dari institusi terkait, dan persoalan tafsir itu. (Konstitusi), UU, Perpu, Perda dsbnya cenderung tidak bisa dipahami dengan artikulasi yang sama.
Hal tersebut karena proses pembuatannya sendiri sudah sarat kepentingan. yang akhirnya bisa menjerat pemerintah sendiri dalam proses penegakkannnya.
Bayangkan bila orang bodoh vs orang pintar menafsirkan undang-undang Indonesia, apa yang terjadi? ya seperti saat ini, beropini-opini berdialektika, bermertafora.
Alih-alih berbicara bagaimana mengkonstruksi upaya penegakan hukum, eh para pengambil kebijakan di level elit justru larut dalam adu opini. Ketimbang memeriksa ke dalam (aparat pelaksana) dan mengontrol ke luar (Efektivitas pelaksanaan).
Hendak memperbaiki malah justru menjadi bumerang pemerintah sendiri, hingga ujung-ujungnya mana sempat menegakkan apalagi menjalankan undang-undang tersebut.
***
Sebelum melangkah jauh membaca catatan saya ini, agar bisa mendapat persamaan pemahaman semua kita bahwa sebenarnya. konstitusi(constitution) berbeda dengan Undang-Undang Dasar(Grundgezets ), dikarenakan suatu kekhilafan dalam pandangan orang mengenai konstitusi pada negara-negara modern sehingga pengertian konstitusi itu kemudian disamakan dengan Undang-Undang Dasar.
Kekhilafan ini disebabkan oleh pengaruh faham kodifikasi yang menghendaki agar semua peraturan hukum ditulis, demi mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian
hukum.
Begitu besar pengaruh faham kodifikasi, sehingga setiap peraturan hukum karena penting itu harus ditulis, dan konstitusi yang ditulis itu adalah Undang-Undang Dasar.
secara umum terdapat dua macam konstitusi yaitu :
1) Konstitusi tertulis dan
2) Konstitusi tak tertulis.
Hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.
Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada.
Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak asasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris.
Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
***
Setelah 21 Mei 1998, monumen jatuhnya Soeharto, tanggal 11 Agustus 2002 juga akan dikenang dalam kamus gerakan reformasi.
Pada saat itu, MPR menutup Sidang Tahunan (ST) 2002, dan mempersembahkan sebuah konstitusi baru pada masyarakat Indonesia.
Meski proses perubahan konstitusi menggunakan label "amandemen" dan nama konstitusi tidak berubah, namun dilihat dari institutional design-nya, yang dihasilkan ST MPR 2002 memang sebuah konstitusi baru untuk Indonesia Baru.
Namun, tanpa disadari konstitusi baru juga meninggalkan bom waktu yang akan terus mengganggu perjalanan bangsa Indonesia.
Pasal 37 Ayat (4) mengatur bahwa perubahan pasal Undang-Undang Dasar (UUD) dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ketentuan ini akan menjadi insentif bagi aneka kelompok politik untuk terus membawa Indonesia dalam situasi pertarungan perubahan konstitusi.
Padahal, proses perubahan konstitusi selalu membuat politik menjadi panas.
Selain itu, prinsip konstitusi yang terlalu sering diubah akan mengganggu membuat konsolidasi pelembagaan prinsip konstitusi.
Apalagi jika hal ini dikaitkan Pasal 29 UUD 45 tentang hubungan negara dan agama. Ketentuan Pasal 37 Ayat (4) itu membuat fondasi negara Indonesia modern terus-menerus dalam risiko berubah.
Sepantasnyalah solusi bagi bom waktu konstitusi baru itu dipikirkan, sebelum negara kita sekali lagi ada dalam pertarungan politik dengan sentimen primordial yang tidak seharusnya terjadi tetapi akan terjadi sebap penafsiran yang sesuai dengan kelompok-kelompok kepentingan, sedang rakyat sebagian besar tetap tak sadar apa yang terjadi.
***
Sekarang mari kita berjalan-jalan melihat negara Amerika Serikat, sebagai perbandingnya melalui tulisan sederhana saya ini yang katanya negara adi kuasa, kita dapat mengambil pelajaran dari kasus 'amandemen' konstitusi di Amerika Serikat.
Sejak negara itu merdeka 226 tahun lalu, lebih dari 1.000 proposal dibuat untuk mengubah konstitusinya. Rata-rata dalam satu tahun ada lima proposal perubahan konstitusi.
Padahal, fragmentasi politik dalam masyarakat Amerika Serikat tidak separah Indonesia.
Ketentuan untuk mengubah konstitusi juga lebih sulit karena membutuhkan dukungan dua pertiga anggota Kongres.
Mengingat ketentuan mengubah konstitusi dipersulit, akhirnya proposal yang berhasil mengubah pasal-pasal konstitusi hanya sebanyak 27 kali saja.
Dan, perubahan itu untuk prinsip yang amat mendasar, sesuai spirit zaman.
Sebanyak 12 kali perubahan, termasuk soal Bill of Rights, terjadi sebelum tahun 1804. Setelah itu, baru selama 65 tahun kemudian terjadi kembali proses perubahan konstitusi menyangkut amandemen ke-13, 14, dan 15.
Proses perubahan ini menyangkut prinsip dasar dan perubahan zaman yang terjadi setelah perang saudara di Amerika Serikat.
Perubahan ke-13 mengenai penghapusan perbudakan turut memicu perang saudara. Perubahan ke-14 menyangkut kekuasaan pemerintah federal (pusat) yang diperbesar akibat aneka gerakan separatisme dalam perang saudara.
Perubahan ke-15 menyangkut hak kulit hitam untuk memilih dalam pemilu. Sesudah perbudakan kulit hitam resmi dihapus, warga negara kulit hitam menjadi warga negara biasa, yang hak sosial politiknya mesti disamakan dengan warga negara lain.
Jika dibuat rata-rata, perubahan pasal di Amerika Serikat terjadi 10 tahun sekali. Karena ketatnya syarat perubahan, hanya sekitar tiga persen dari seluruh proposal perubahan yang berhasil.
Di antara lebih dari 90 persen proposal perubahan yang ditolak, antara lain, usulan untuk melarang aborsi, usulan untuk mengubah negara Amerika Serikat menjadi sejenis negara Kristen.
Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila syarat perubahan konstitusi di Amerika Serikat diperlonggar dari keharusan dukungan dua pertiga mayoritas menjadi separuh plus satu.
Proposal perubahan pasti datang lebih banyak. Dan, mungkin banyak perubahan konstitusi terjadi hanya karena perubahan political mood zaman, tidak prinsipiil, atau bahkan merusak fondasi negara dengan istilah modern.
Para pemimpin partai politik dan elite berpengaruh harus kembali mempertimbangkan syarat perubahan konstitusi di Indonesia.
Prasyarat dukungan separuh plus satu anggota MPR terlalu riskan.
Lebih baik prasyarat dikembalikan pada aturan sebelumnya, seperti di Amerika Serikat, dua pertiga dari kuorum sidang paripurna MPR.
bicara revelansi kejadian akhir-akhir ini tentang pertarungan kepentingan agama-agama yang sejak indonesia berdiri hingga hari ini tetap bergulir.
Diperketatnya kembali prasyarat perubahan akan semakin terasa relevan jika dikaitkan dengan seting historis dan sosiologis politik Indonesia.
Pertarungan Pasal 29 tentang hubungan negara dan agama akan terus menjadi agenda permanen.
Keinginan memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta, berupa kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya, sudah diperjuangkan sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Kini, lebih dari enam puluh tahun kemudian, aspirasi itu terus hidup.
Benar bahwa dalam ST MPR 2002, aspirasi Piagam Jakarta itu tak berhasil diadopsi. Namun, dapat dipastikan, aspirasi itu akan terus diperjuangkan, apalagi kini syarat perubahan sudah jauh lebih mudah.
Sebelumnya pendukung Piagam Jakarta membutuhkan dua pertiga mayoritas MPR, kini mereka hanya butuh dukungan separuh plus satu.
Tak hanya Piagam Jakarta yang mendapat insentif untuk kembali mengamandemen UUD 1945 secepatnya.
Para nasionalis tua ( feodalistik) akan pula mencoba menghidupkan kembali aspirasi politik UUD 1945 lama, seperti kehadiran kembali utusan golongan, sistem MPR sebagai supreme body, dan sistem semi presidensiil.
Sementara politisi yang pro pada demokrasi Eropa Barat dan demokrasi di Indonesia tahun 1950-an, juga akan memperjuangkan sistem parlementer.
Akibatnya, sebelum negara kita bernapas dari aneka perdebatan konstitusional, Pasal 37 Ayat (4) yang mempermudah prasyarat perubahan konstitusi, menjadi bom waktu yang mempertaruhkan fondasi politik Indonesia modern untuk terus-menerus dalam risiko diubah secara mudah.
Perlu pula dipikirkan, agar Pasal 29 yang acapkali mengundang perdebatan emosional diberikan solusi yang permanen.
Misalnya, Pasal 29 yang menjamin netralitas negara dalam pluralisme agama adalah pasal yang tidak bisa diubah selama negara Indonesia berdiri. Kunci permanen ini akan menjadi mekanisme paling efektif agar perdebatan Piagam Jakarta tidak lagi terjadi.
Prinsip pasal yang tak dapat diubah adalah hal yang lumrah dalam negara demokrasi.
Bahkan, amandemen keempat di ST MPR 2002 juga menerapkannya, tetapi untuk Pasal 37 Ayat (5), yang berbunyi: Khusus mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia tak dapat dilakukan perubahan.
Perlu pula dipertimbangkan dalam Pasal 29 itu ditambah Ayat (3), yang berbunyi: Khusus mengenai netralitas negara dalam pluralisme agama tak dapat dilakukan perubahan.
Dipandang dari prinsip demokrasi, prinsip netralitas negara dalam pluralisme agama jauh lebih mendasar dibanding prinsip negara kesatuan.
Lawan negara kesatuan adalah negara federalisme. Dalam himpunan negara demokrasi, untuk negara yang luas, banyak yang berbentuk negara kesatuan, namun banyak juga yang berbentuk negara federalisme.
Tanpa dikunci sekalipun, perubahan bentuk negara dari negara kesatuan sebenarnya tidak membahayakan prinsip negara demokrasi.
Namun, karena historisitas Indonesia, prinsip negara kesatuan yang tak boleh diubah masih dapat diterima, karena ia dapat dikombinasikan dengan otonomi daerah seluas-luasnya.
Namun, lawan dari prinsip negara yang netral atas pluralisme agama adalah negara agama itu sendiri. Dalam himpunan negara demokrasi, semua negara demokrasi bukan negara agama.
Untuk kepentingan demokrasi di Indonesia, jika prinsip negara kesatuan saja dapat dikunci untuk tidak boleh diubah, seharusnya prinsip negara yang netral atas pluralisme agama dikunci pula untuk tidak boleh diubah.
Kepentingan untuk mengunci Pasal 29 agar tidak boleh diubah jauh lebih mendesak, baik ditinjau dari prinsip demokrasi ataupun sejarah politik Indonesia.
Akhir kata dari catatan hasil diskusi status saya tertanggal 10 februari 2011, bisa menjadi bahan pemikiran semua kita. dan bila tidak merasa perlu tinggal dibuang dari pemikiran anda dan cukup menjadi bacaan ringan saja.
Salam
Aida C'est
Aida C'est
February 10 at 1:08pm · Like · Dislike · Report
Gusti Heni Endrawati and 2 others like this.
No comments:
Post a Comment