Thursday, March 31, 2011

AKAR MASALAH

Berikiut ini ada tulisan Ahmad Mustofa Bisri di Jawa Post yang perlu di share disini:

AKAR MASALAH
Jawaapos/Indopos hari ini, Selasa 25 Januari 2011

Menanggapi situasi kehidupan berbangsa di tanah air, tentunya terutama setelah terkuaknya praktek Gayusisasi dan munculnya ‘fatwa kebohongan’ dari para tokoh lintas agama, baru-baru ini Akademisi dari beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta serta tokoh agama di Jawa Timur mendeklarasikan Gerakan Anti bohong di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Kebiasaan berbohong dinilai menjadi akar masalah dalam kehidupan berbangsa di Indonesia.

Pencanangan gerakan itu ditandai dengan penyematan pin bertuliskan “Stop bohong: Tidak bohong adalah Karakter Pribadi Saya”. Selain itu, komitmen dukungan pada pada gerakan dilakukan dengan menandatangani dua spanduk masing-masing sepanjang 7 meter.

Gerakan yang digagas para Akademisi ini merupakan salah satu upaya bagi ikut memperbaiki kondisi tanah air yang memprihatinkan dewasa ini melalui perbaikan karakter bangsa. Dimulai dari mengubah pekerti umum bohong menjadi jujur. Sebagai salah satu upaya memperbaiki karakter dan moral bangsa , gerakan ini baik sekali dan perlu didukung.

Mungkin gerakan ini –terutama bila disepakati dan didukung banyak pihak-- bisa menurunkan tingkat kebohongan, namun apakah dalam saat yang sama masalah dalam kehidupan berbangsa ini akan terpecahkan atau sedikit saja terpecahkan? Untuk menjawab ini, mungkin kita perlu kembali kepada pertanyaan yang lebih awal: sudah tepatkah menganggap kebiasaan ber bohongsebagai akar masalah dalam kehidupan berbangsa di negeri ini?

Saya sendiri kurang sependapat bila kebiasaan berbohong dinilai sebagai akar atau pokok pangkal masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini. Menurut saya, kebiasaan bohong, sama dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain seperti mengkhianati amanat; merampas hak orang lain; ngawur; menyepelekan hukum; tak punya malu; menjilat yang di atas; menginjak yang di bawah; mementingkan diri sendiri; dlsb, ‘hanyalah’dampak. Bukan akar masalah. Kebiasaan-kebiasaan ini tentu masih memerlukan pertanyaan: mengapa ada kebiasaan-kebiasaan buruk seperti itu?

Mengapa misalnya, orang berbohong? Orang berbohong bisa karena takut atau karena sesuatu pamrih. Kalau seseorang bohong karena takut, takut apa? Kalau karena pamrih, pamrih apa? Mengapa orang yang mengkhianati amanat? Mengapa orang tega merampas hak orang lain? Mengapa orang ngawur ? Demikian seterusnya. Dalam kaitan dengan masalah yang melilit bangsa kita dewasa ini, pertanyaan-pertanyaan itu bisa menggiring kepada jawaban terakhir yang menurut saya, ialah akar masalah. Apa itu?

Menurut saya akar masalah itu berawal dari bergesernya pandangan hidup kita, terutama konsep kita tentang kehidupan dunia ini. Dulu orang Jawa, misalnya, mempunyai falsafat “Hidup di dunia ini hanyalah ibarat mampir ngombe, mampir minum.” Ini hampir senada dengan anjuran Nabi Muhammad SAW, “Kun fiddunya kaannaka ghariibun au ‘aabiru sabiil” , Jadilah kamu di dunia ini seolah-olah orang asing atau penyeberang jalan.” Karena pandangan hidup inilah, kesederhanaan hidup menjadi sebuah anutan masyarakat . Sisa-sisa budaya kesederhanaan ini masih bisa dijumpai –meski sudah mulai langka—di desa-desa.

Ironinya, falsafat Jawa “mampir ngombe” yang agamis itu, mulai tampak terabaikan lalu seperti dilupakan sejak kekuasaan ‘raja Jawa’ Suharto. Entah disadari atau tidak, dalam masa kekuasaannya yang sekian lama; Suharto laiknya pendidik yang genial telah berhasil mendidik bangsa ini untuk mencintai kehidupan duniawi sedemikian rupa, sehingga nyaris tak ada lagi warga negeri ini yang memandang kehidupan duniawi ini biasa-biasa saja. Yang kalau pun menganggap penting, hanyalah sekedar sebagai wasilah atau sarana bagi kehidupan yang lebih esensial dan abadi di akherat.

Semua orang seolah-olah berlomba untuk menjadi orang kaya seperti pendidik dan panutannya itu. Harta dan kekuasaan pun menjadi idaman dan kepentingan setiap orang.

Dari idaman, harta dan kekuasaan, naik menjadi pujaan, lalu menjadi kepentingan; kemudian menjadi Tuhan. Ketika kepentingan duniawi menjadi Tuhan, maka Tuhan Yang Maha Esa pun menjadi Kesetanan yang Maha Perkasa. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjadi Kebinatangan yang Degil dan biadab. Persatuan Indonesia menjadi Persetruan Indonesia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata/perwakilan menjadi Kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan dalam perkerabatan/perkawanan dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun menjadi Kelaliman sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Telusurilah semua perangai aneh yang membuat kerusakan di negeri ini, seperti misalnya, penegak hukum yang justru melecehkan hukum dan preman yang mengatur keamanan atau mengatur pengadilan. Hal-hal yang mengakibatkan hukum tidak dihargai, banyak orang main hakim sendiri, dan kerugian negara yang tak terkira. Seperti juga pemimpin yang bertikai dengan sesama pemimpin; wakil rakyat yang tak pernah memikirkan rakyat dan hanya memikirkan diri sendiri; yang berakibat krisis kepercayaan. Maling yang memegang jabatan-jabatan penting sehingga mengakibatkan kerusakan dimana-mana. Belum lagi perangai-perangai ganjil masyarakat kita seperti orang tua yang menjual anaknya sendiri; menantu yang mencekik mertuanya; anak-anak yang bunuh diri; dan sebagainya , dan seterusnya. Bila anda telusuri perangai-perangai aneh yang berakibat buruk itu, akan anda temukan bahwa yang mengatur semua itu adalah ‘tuhan’ yang namanya kepentingan duniawi tersebut.

Maka menurut saya, kita perlu –seperti pernah saya tulis belasan tahun yang lalu-- melakukan revolusi mental. Mengembalikan konsep kita tentang kehidupan dunia ini seperti semula. Memandang dunia dan materi ini biasa-biasa saja. Kalau pun menganggap penting, ya secara proporsional. Tidak berlebih-lebihan. Kalau perlu kita –meniru para Akademisi dan tokoh agama di Jawa Timur itu-- juga membuat gerakan. Misalnya membuat Gerakan Hidup sederhana. Dengan meluncurkan kaos-kaos dan pin-pin bertuliskan, misalnya: “Gerakan Hidup Sederhana. Stop Berlebih-lebihan Menyintai Dunia dan Materi!”.

Bagaimana?



Berlian Siagian
January 27 at 12:44pm · Unlike · Report
You, GeeAnti MaNika, Riky Wardana, Basri Hasan and 8 others like this.
Wid Sumartopo pak berlian, barangkali bapak punya model revolusi mental itu?? bentuknya macam apa dan ukurannya bagaimana?? pertanyaan ini juga
pernah saya ajukan ke mbak nurul dalam rangka revolusi kehidupan bertatanegara / politik. saya setuju sekali ad...See More
January 28 at 4:18pm · Like
Basri Hasan Revolusi mental? Judulnya aja yg hebat. Budaya jwa itu lebih pas dicontohkan oleh Amangkurat II bukan Soeharto.
January 28 at 9:25pm · Like
Raya Langit Rokibbah ayo pak basri yg selaku admin di FIS ini gerakan dan galang...mari kita lawan pemerintahan jalang dan pecundang ini...saya yang tereak pak basri....inbok saya dan saya akan dtg...ayo kita buktikan..biar sejarah mencatat..bahwa masyarakat FIS ini tdk hanya wacana dan mengcopas berita saja...ayo lawan...
January 28 at 9:35pm · Like
Gatholoco Wong Sudra pak basri klo model jawa aku lebih suka pangeran samber nyowo, hehehehehe.
January 28 at 9:36pm · Like
Andi Mattalatta Pawiseang Sepakat bung Raya, tapi nanti kalau mau pulang, jangan minta sangu sama pak Basri, ya !
January 28 at 9:36pm · Like
Raya Langit Rokibbah pak.andi@gampang bisa diatur itu..masa ga disanguin ma kebangetan...hahahahhaahhahahaha
January 28 at 9:54pm · Like
Hery Bimo Widhisusetyo adakalanya kita juga menjunjung tinggi kerahasiaan tentu buat kepentingan bangsa dan negara...seperti halnya kita berada di rumah dengan atap yang tertutup rapat tidak transparan supaya tidak diintip orang ..tentu nya bila ada genteng yang ...See More
January 30 at 6:54pm · Like
Gatholoco Wong Sudra pak hery, kalo boleh saya bilang KERAHASIAAN ADALAH STRATEGI MILITER YANG PALING UTAMA.
January 30 at 6:57pm · Like
Hery Bimo Widhisusetyo di salah satu pengamanan ada disitu maka dinding rumah yaitu kabinet dan tentara perlu dan kerahasian rumah tangga jangan terlalu dibuka bila itu tidak mensejahterakan isi rumah ....hehehhe
January 30 at 7:01pm · Like

No comments:

Post a Comment