SOLUSI UNTUK MENGHADIRKAN POLISI YANG MENGAYOMI:
Bongkar Total
Oleh: Berlian Siagian
3. POLITIK
POLRI, garis depan penegakan hukum di Indonesia telah gagal melindungi rakyat. Melakukan pembiaran atas berbagai tindak kejahatan kemanusiaan. Peristiwa Cikeusik dan Temanggung adlah bukti terakhir yang tersiar di publik atas ketidakmampuan polisi, disamping ratusan peristiwa lain yang kita lihat sehari-hari.
Sebagian besar ketidakmampuan ini berakar dari rusaknya moral dan kacaunya sistim rekruitment di POLRI. Hingga saat ini rekruitment di POLRI tidak lepas dari setoran UANG. Demikian juga promosi, mutasi, semua tidak lepas dari UANG, UANG, UANG.
Enam tahun yang lalu saya didatangi keponakanku yg berusia 20 tahun. Dia sudah 2 tahun lulus STM tetapi karena pekerjaan susah, sehari2 bekerja sebagai kondektur metromini. Keponakanku mengatakan, " Om Saya sudah capek jadi kondektur; saya butuh Rp. 7,5 juta untuk dapat masuk polisi". Naifnya saya bercerita tentang moral dan mengatakan bahwa sangat tidak patut menyogok untuk masuk kerja, apalagi masuk polisi. Saya hanya memberikan Rp. 1,5 juta untuk biaya membuat surat lamaran, transport, dll. Keponakanku kecewa kemudian memang dia tidak diterima di Polisi. Belakangan dia masuk di AstraMotor dan belajar menjadi mekanik. Saat ini keponakanku itu sudah tidak marah lagi kepada saya, tetapi sampai saat ini dia belum pernah lagi datang kerumah, biar pun kunjungan tahun baru. Demikian juga ayahnya (sepupuku) dan ibunya.
Sekitar empat tahun yang lalu keponakanku yang kedua, seorang polisi rendahan, juga datang kerumah minta pinjaman uang Rp. 3,5 juta. Saya tanya untuk apa? Dia katakan: "Untuk menebus sepeda motor." Uang saya berikan dengan pesan, kembalikan kapan2 saja kalau kau sudah mampu; yang sebanarnya bearti “pinjaman” tanpa ada kewajiban mengembalikan. Beberapa waktu kemudian keponakan kedua ini datang kerumah dengan sepeda motor gede dengan plat dinas polisi. Dia katakan: "Ini dia sepeda motor yang kutebus itu Om". Saya berfikir, kok agen polisi rendahan yang mendapat sepeda motor dinas kok harus menebus? Ketika saya tanyakan, keponakanku berkata, ya memang begitu om, motor dinas harus ditebus. Rp. 3,5 juta murah kan? Saya tahu ini pungutan liar yang jadi "resmi" dan secara tidak sadar saya sudah ikut melakukan tindakan penyuapan / korupsi.
Kasus seperti ini banyak terjadi dan sudah kita ketahui semua; bukan rahasia. Kitapun mungkin pernah terlibat memberikan uang pada polisi untuk mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan, misalnya membayar beberapa ratus ribu untuk pengawalan khusus agar kendaraan kita bisa turun tanpa antri dari Puncak ke Bogor bila terjadi kepadatan lalu-lintas. Saya yakin Presiden juga tahu, termasuk sogok menyogok untuk masuk Polisi, Tentara, PNS, BUMN yang sudah sangat meluas. Tetapi mengapa tidak seorangpun petinggi negeri ini, mulai dari Presiden, kepala Lembaga Tinggi Negara mau menerima kenyataan pahit ini sebagai masalah gawat yang harus diatasi.
Melalui forum ini saya menghimbau teman2 untuk memberikan sumbangan konsep bagaimana melakukan gerakan bongkar total polisi agar dimasa depan Indonesia mampu menghadirkan polisi yang benar2 dapat mengayomi dan melindungi seluruh rakyat. Sumbangan pikiran teman2 akan sangat berguna mengisi konsep FIS di bidang PENEGAKAN HUKUM. Ini terpaksa kita lakukan melihat sebagian besar petinggi Negara / Pemerintahan kita yang sudah lulus Sesko/Sespa dan LEMHANAS masih berada diawang-awang diantara BINGUNG dan APATIS.
Berlian Siagian
February 9 at 10:12am · Like · Dislike · Report
Hendarmin Ranadireksa, Basri Hasan, Archer Clear and 5 others like this.
Hendarmin Ranadireksa Di luar sana, polisi adalah alat negara penjaga dan pemelihara keamanan dan ketertiban. Pengelola wilayah paling berkepentingan dengan keamanan dan tertertiban. Polisi bisa di bawah Kementerian Dalam Negeri, Provinsi, atau Kota (disesuaikan dengan lingkup dan skala tugas). Yang pasti kepolisian TIDAK DI BAWAH presiden, karena hanya militer yang di bawah Presiden/Kepala Negara (Presiden menggunakan militer atas persetujuan parlemen). Penempatan lembaga kepolisian di bawah presiden bertendensi menjadi alat kekuasaan/penguasa (top-down policy). Salam.-
February 9 at 3:46pm · Like · 2 people
Grisma Merah Putih Om suriswanto, Jika kendala oplosan Pegawai Negeri ? KKN tak pernah habis
February 9 at 7:05pm · Like
Grisma Merah Putih isi perut dan alat perut birokrasi harus sesuai perut sebenarnya .Bukan perut yang mencari tapi daya perut seberapa kadar %
February 9 at 7:12pm · Like
Berlian Siagian Ada titipan dari Prof. dr. Firman Lubis, sbb
Subject: Undangan Peluncuran Buku Sejarah Polisi
Terima kasih atas penyampaian undangannya, Saya kebetulan sudah membaca buku ini tetapi hanya selintas di
perpustakaan Erasmus Huis. Kelihatannya cukup bagus dan lengkap. Saya harap terjemahan buku tentang polisi ini memuat hal-hal yang bisa diacu/dipakai untuk memperbaiki citra dan kinerja kepolisian kita yang
sudah sangat memprihatinkan sekali. Ini harus menjadi fokus pada waktu presentasi dan diskusi peluncuran buku.
Yang saya tahu, polisi sebelum tahun 1960-an benar-benar instansi sipil dibawah Kementerian Dalam Negeri. Waktu itu dikenal (kita yang tua-tua masih ingat) misalnya mantri polisi di tingkat kecamatan dibawah camat
atau asisten wedana. Status polisi yang sipil ini sudah berjalan sejak jaman kolonial dulu. Untuk menjadi polisi di jaman kolonial, sekolahnya adalah di OSVIA/MOSVIA, sekolah untuk mendidik para ambtenaaren.
Perwira-perwira polisi ketika kita baru merdeka umumnya lulusan sekolah ambtenaaren ini. Termasuk misalnya R. Sukanto dan Hugeng Imam Santoso. Hanya pada akhir tahun 1950-an, polisi dikooptasi oleh militer masuk
kedalam ABRI, setelah peristiwa PRRI/Permesta dimana ada petinggi polisi di Sumbar yang ikut "berontak". Katanya supaya "bersatu" karena sama-sama pegang senjata. Sehingga misalnya atribut seragam dan kepangkatan
mengikuti sistim militer. Ini menurut saya yang banyak merusak citra dan kinerja polisi kemudian hingga kini.
Memang setelah reformasi, ada upaya mengembalikan tugas dan fungsi polisi ke aslinya sebagai aparat penegak hukum sipil. Tetapi sayangnya belum tuntas, karena polisi masih merasa "hebat" dan "berwibawa" dengan citra
seperti militer, sehingga masih mencoba mempertahankan nya. Sayang R. Soekanto dan Hugeng Iman Santoso sudah tidak ada lagi.
Salam,
Prof dr Firman Lubis
February 10 at 6:19pm · Like · 2 people
No comments:
Post a Comment