MATINYA SEBUAH BANGSA
oleh: Soegeng Priyono
Prologue
Sejak diciptakan sampai akhir zaman, manusia akan membutuhkan satu sama lain sampai akhir hayatnya. Oleh karenanya dikatakan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Kesaling-membutuhkan inilah yang membentuk individu-individu menjadi kelompok. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan, kelompok kecil akan berhimpun menjadi kelompok lebih besar dan seterusnya dan seterusnya sehingga terbentuklah sebuah masyarakat. Berbagai kelompok masyarakat yang bergabung akan membentuk sebuah bangsa.
Masyarakat adalah entitas yang hidup. Sebagaimana layaknya sebuah kehidupan, ia membutuhkan tiang-tiang penyangga sebagaimana halnya darah, getah bening dan oksigen bagi tubuh manusia. Tiang-tiang kehidupan masyarakat adalah budaya (termasuk moral dan etika) dan ilmu pengetahuan yang notabene juga merupakan sebuah entitas kehidupan juga. Budaya adalah hasil olah budi, akal, dan pikiran yang didayakan melalui kurun waktu yang panjang sebelum diterima menjadi sebuah tolok ukur bagi masyarakatnya. Elemen-elemen budaya juga bukan entitas statis melainkan hidup juga. Artinya sesuai dengan tuntutan zaman, nilai-nilainya akan mengalami penyesuaian terus menerus. Harapannya sih ketingkat yang lebih tinggi. Ilmu pengetahuan jelas selalu menuju ketingkat yang lebih tinggi. Tidak demikian halnya dengan budaya.
Sebelum agama langit diturunkan, budaya menjadi satu-satunya sumber ajaran manusia tentang nilai-nilai luhur, toleransi, cita-rasa, karsa, moral, etika, estetika, sampai dengan etos kerja. Melalui budaya manusia mampu bersahabat dengan alam. Maka masuk akal jika kepercayaan nenek moyang dimulai dari menyembah kekuatan-kekuatan alam, seperti gunung, angin, api, matahari, dlsb.
Budaya untuk selalu mencapai hal yang lebih baik atau ketingkat yang lebih tinggi, melahirkan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan dilain pihak juga akan sangat mempengaruhi perkembangan budaya itu sendiri. Manfaat besar hanya dapat diraih apabila masyarakat dapat memegang teguh nilai-nilai luhur universal dalam menyikapi perkembangannya.
Budaya jauh melampaui batas tari-tarian, busana adat, lukisan atau ukiran. Ialah sang nafas kehidupan.
Dalam masyarakat yang sehat, nafsu keakuan tunduk pada norma-norma kelompok yang memang sudah teruji lama dari cobaan zaman. Hormat dan percaya pada sesama sangat mewarnai, karena memang para anggotanya layak untuk dipercaya dan dihormati.
Dalam masyarakat yang sakit, egoisme tumbuh dengan sangat buas dan liar menabrak nilai-nilai luhur universal dengan nafsu aloamah sebagai mesin pendorongnya. Manusia tidak lagi hirau dengan sesamanya. Bila ini terjadi maka sebuah bangsa atau masyarakat akan remek (bhs.Jawa, artinya: implode). Luarnya kelihatan utuh tapi dalamnya perlahan tapi pasti akan hancur karena tiang-tiang kehidupannya lapuk. Ibarat bangunan yang besar, ketiadakan tali pengikat pasti akan menggoyahkan bangunan yang akhirnya akan hancur dengan sendirinya.
Ketika tiang-tiang kehidupan sudah mulai lapuk karena tidak pernah dirawat, orang kemudian berharap akan tibanya sang juru selamat yang dalam kultur Jawa sering diistilahkan satrio piningit atau sang ratu adil. Kenyataannya, keajaiban datangnya orang tersebut mungkin tidak akan pernah terjadi karena sesungguhnya ia bukanlah orang dan ia sudah bersemayam sejak dulu dalam setiap hati sanubari manusia normal yang paling dalam. Yaitu semangat atau kemauan bekerja, kejujuran, keberanian untuk bertindak, membela keadilan dan kebenaran. Selama manusia memingit dia, maka selama itu pula dia tak akan pernah keluar.
Negeri Awan
Alkisah tersebutlah sebuah bangsa yang mendiami negeri yang amat subur. Tongkat kayu dan batu yang dilempar, konon, tumbuh jadi tanaman. Alamnya amat subur dan keindahannya sangat mempesona. Kandungan buminya ibarat kuburan harta karun luar biasa besar yang dapat menghidupi penduduknya. Harapannya, untuk selama-lamanya. Masyarakatnya rajin mengunjungi rumah ibadah dan tempat-tempat suci. Puji-pujian dikumandangkan dengan suara yang amat merdu. Sampai-sampai, kemerduannya dilombakan secara nasional. Isi dan esensi boleh dibelakangkan. Apalagi implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Para pemimpin negeri itu yakin, semua parameter kehidupannya masih dalam wilayah kendali kecuali satu yaitu sang kala atau waktu ! Waktu secara cepat, pasti dan konsisten membuat semua parameter kehidupan menjadi bergerak, berubah, dan hidup. Waktu yang tak pernah berhenti, membuat permasalahan menjadi semakin kompleks. Seolah jeda untuk berpikirpun dapat membuat masalah semakin kalut. Apalagi berpikir lama-lama. Sang kala betul-betul menentukan denyut kehidupan.
Pendalaman isi dan esensi berjalan kecontalan mengimbangi lajunya gebyar-gebyar kehidupan. Citra dan penampilan menjadi lebih dipentingkan daripada bekerja keras menyelesaikan masalah.
Dalam situasi seperti ini menjadi kabur batas antara baik dan buruk, benar dan salah, urgent dan tidak, esensi dan superficial, halal dan haram, culas dan cerdik, pribadi dan publik, kelompok dan bangsa.
Bangsa negeri awan sedang bertaruh besar-besaran menerapkan paradigma negeri maju yang bernama demokrasi. Paradigma itu sudah terbukti sukses sekali diterapkan disebuah negeri besar yang didirikan oleh kaum imigran terpelajar utamanya dari Eropa lebih dari 300 tahun lampau yang datang kesitu dengan satu impian besar bersama yang bernama Mimpi Bangsa Besar.
Sebagai pendatang dari berbagai asal, tentu mereka berangkat dengan ego kelompok yang sangat kuat. Ego-ego ini kemudian berbenturan satu sama lain menimbulkan penderitaan luar biasa. Sama-sama sakit. Untuk pencegahan selanjutnya, disepakatilah adanya aturan main yang harus dihormati oleh semua pihak. Maka, hukum diangkat menjadi panglima dinegeri besar itu. Tanpa pandang bulu. Sungguh sebuah cerita sukses yang memukau.
Para bapak pendiri negeri awan mengacu kepada negeri besar tadi sebagai role-modelnya. Preamble pembukaan UUD nya pun semangatnya sama dengan Declaration of Independence. Lambang kedua negeri juga sama-sama burung gagah perkasa. Dapat dimengerti jika negeri awan kemudian ingin mengadopsi ruh negeri adidaya itu.
Namun konteksnya sungguh berbeda. Ketika niat itu dicanangkan, negeri awan baru mulai dihantam krisis ekonomi luar biasa yang merontokkan seluruh sendi kehidupan sampai sekarang. Perusahaan pada tutup, pengangguran dimana-mana, skandal likuiditas, kredit macet, lonjakan biaya hidup luar biasa, dst. Setiap hari tiada henti berita duka baru sambung menyambung. Panas dan pedihnya situasi dilapangan barangkali juga tidak begitu terasa gemanya diantara pengelola negeri awan. Karena gaji dan tunjangan para petingginya selalu naik sesuai dengan naiknya biaya hidup (atau cost of living allowance index) yang notabene juga akibat dari perbuatan mereka juga. Satu ironi besar abad ini.
Dalam situasi kelaparan seperti ini, rakyat kebanyakan disuruh belajar berdemokrasi. Satu orang satu suara. Apalah artinya suara buat mereka jika perut lapar, tak punya pekerjaan, padahal kebutuhan pokok sangat mendesak. Apapun dijual untuk menyambung hidup. Jangankan hanya suara. Idealisme ? terima kasih. Cukup gantungkan saja dia di tiang listrik untuk dapat dilihat orang lewat.
Bangsa negeri awan yang belum biasa berbeda pendapat, tiba-tiba harus siap berbeda. Belum paham bedanya antara musyawarah mufakat dengan demokrasi. Apakah demokrasi itu berarti tak berani ambil keputusan jika tak didukung rame-rame ? Ah pusing. Perut lapar, beras aking, bahan bakar mahal, transportasi umum mahal (dan tidak aman), dan mahalnya pendidikan anak serta kesehatan lebih penting untuk dipikirin. Siapa peduli.
Para petinggi negeri awan gemar sekali melafal lagu masa kini yang liriknya seperti dibawah ini:
AKU BERJALAN DI AWAN
Melayang-layang diatas awan diantara bintang dan rembulan oh sungguh indah negriku semua masalah cukup diselesaikan dengan kata2 oh sungguh indah negriku di awan kakiku tak merasakan kasarnya bebatuan beceknya lumpur dan tajamnya onak dan duri di awan aku merasakan lebih dekat kepada Tuhan oh indahnya dunia negeriku
Kenapa orang begitu ribut ? tidakkah mereka sadar betapa mulusnya berjalan di awan negeri ini
Cobalah kawan berjalan diatas awan nanti kau lupa rasanya berjalan diatas bebatuan, onak dan duri....
Barangkali itu bukan untukku.. bukan untukku.. bukan untukku..
Penduduk negeri Awan yaitu Awani terkenal sangat religius. Segala sesuatu selalu dikembalikan kepada Tuhan. Sudah tentu atheisme tidak mendapat tempat disana.
Ketika Awani sudah hampir tidak berdaya. Ketika segala doa, daya dan upaya hilang bagai ditiup angin atau ditelan samudra. Biasanya lantas bertanya-tanya ...dimanakah Engkau Ya Tuhan yang Maha Perkasa. Doa-doa tiada henti kami panjatkan, namun kejahatan, bencana dan malapetaka tetap saja ada. Tidakkah hidup akan menjadi jauh lebih sederhana bila Engkau berkenan menjawab semua pertanyaan atau permohonan kami ya atau tidak, kabul atau ditolak. Tak akan ada lagi silang-sengketa....
Namun tidak demikian kenyataannya.
Seorang sahabat berpendapat sesungguhnya ada 3 tingkatan komunikasi dengan Tuhan. Yang paling rendah yaitu ..manusia berbicara, Tuhan mendengarkan... Manusia berkeluh-kesah, memohon kepada Tuhan agar semua jalan dilapangkan, cita-cita dikabulkan, malapetaka dihilangkan, dsb.
Tingkat berikutnya adalah ..Tuhan berbicara, manusia mendengarkan... Tuhan berbicara tidak hanya melalui kitab suci, tetapi melalui hukum-hukum alam juga. Manusia harus selalu berusaha untuk memahami kandungan sabda-sabda Tuhan di alam semesta raya ini. Pada tingkat ini manusia lebih tahu diri untuk dengan rendah hati mempelajari yang tersurat dan terlebih lagi yang tersirat dalam kitab suci maupun isi alam semesta raya ini. Yang tersirat seringkali lebih tinggi dari puncak gunung yang tertinggi, lebih dalam dari palung laut yang terdalam, lebih luas dari samudra yang terluas.
Tingkat yang tertinggi adalah ..Tuhan diam, manusia diam... Masing-masing sudah tahu posisinya. Pada tahap ini manusia sangat tahu diri bahwa Tuhan telah menciptakan dunia seisinya dengan sempurna, by design bukan by chance. Selanjutnya tergantung kegigihan upaya manusia sendiri untuk mencari jawabnya menggunakan modal awal yaitu akal, pikiran, dan perasaan.
Masalah bertubi-tubi yang menimpa negeri Awan sampai saat ini barangkali juga karena pada umumnya para Awani masih berkomunikasi dengan Tuhan pada tataran yang paling rendah. Sudah sangat mendesak untuk menaikkan kelasnya. Tapi jangan lupa bahwa sungguh gila untuk mengharapkan hasil yang berbeda jika cara-cara yang dipakai masih plek-ketiplek sama.
Tuhan menurunkan kitab suci untuk dipakai manusia sebagai pegangan supaya tidak kehilangan arah. Kitab suci bukan cook-book. Perlu penafsir-penafsir dan kaum cerdik-pandai yang sangat ahli dalam bidangnya dan bijaksana untuk menafsirkan maksud Tuhan dalam konteks situasi dan kondisi yang dihadapi. Lebih jauh lagi diharapkan dapat memberi inspirasi dan visi untuk selanjutnya. Di negeri Awan ternyata institusi penafsir kitab suci masih dalam pembangunan. Sementara dipakai tafsir-tafsir yang sudah ada dari tempat lain. Bahayanya adalah bila konteks masa lalu dipaksa-terapkan pada kondisi kini dan yang akan datang.
Pendapat para ahli sangat diperlukan untuk membantu para Awani menangkap pesan yang dimaksud, bukan hanya yang terucap. Menangkap yang dimaksud bukan semata urusan tingkat kepandaian, namun disana ada dimensi kebijaksanaan, kerendahan-hati, kesabaran, kesederhanaan, dan kepasrahan pada Yang Maha Kuasa.
Kisah nyata dibawah ini mengambarkan kegigihan anak manusia memahami maksud Tuhan:
Sekitar pertengahan tahun 40an di John Hopkins hospital di Maryland Amerika, seorang ahli bedah ternama, Dr Alfred Blalock, mendapati kasus seorang bayi mungil perempuan menderita penyakit yang belum ada obatnya. Bayi ini menderita kelainan jantung bawaan yang disebut tetralogi fallot atau blue baby dengan symtom berat badan dibawah normal, mudah sakit, pertumbuhan terganggu, sering sesak nafas, dan kelihatan kalau menangis bibir dan kukunya menjadi biru.
Kardiolog Dr Helen Taussig dan Dr Blalock sependapat satu-satunya jalan perlu dilakukan tindakan pembedahan pada jantung bayi kecil ini. Satu tindakan yang belum pernah dilakukan sebelumnya di dunia kala itu. Pro-kontra seputar rencana ini sungguh luar biasa. Para koleganya mengatakan ini tidak mungkin dilakukan. Saat itu ada semacam hukum dalam profesi medis yang dikenal dengan sebutan No Li Tangere yang secara harfiah artinya Do Not Touch ketika menyangkut urusan jantung manusia. Bedah apapun didada berarti kontrak kematian.
Dr Blalock sangat memahami itu, namun iapun yakin bahwa jika tidak diambil tindakan bayi tersebut tak lama lagi akan meninggal. Pemimpin gereja setempat meminta ia mengurungkan niatnya saja, karena hal ini sudah menjadi ketetapan Tuhan bagi si kecil. Ia menjawab ..mungkin anda benar Tuhan menghendaki kematian anak ini dalam hitungan hari. Tapi saya tidak. Saya akan berusaha untuk menyelematkan anak ini.
Dr Blalock dan team tetap yakin untuk jalan terus melaksanakan operasi disaksikan para koleganya. Atas ijin dan kebesaran Tuhan, operasi berjalan sukses dan bayi kecil tersebut tidak lagi biru. Warna pipinya memancarkan warna merah jambu yang segar pasca operasi. Kegigihan Dr Blalock melaksanakan operasi tersebut kemudian melahirkan disiplin ilmu baru dalam dunia kedokteran yang disebut ilmu bedah jantung.
Moral dari kisah nyata diatas adalah bahwa manusia seyogyanya tidak buru-buru menganggap tahu kemauan Tuhan. Lebih bijaksana bila dengan kesungguhan dan niat yang bersih berusaha keras untuk membuka sabda-sabda Tuhan yang belum ada precedence-nya.
Sekarang orang menjadi tahu bahwa kelainan jantung bawaan adalah penyebab kematian bayi nomor satu, bahwa dari setiap 1000 bayi yang lahir hidup ada 8-10 diantaranya yang menderita kelainan jantung bawaan yang harus diberikan tindakan koreksi sedini mungkin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Fenomena ini dapat terjadi dimana saja dan menimpa siapa saja tidak tergantung bangsa, ras, tingkat pendidikan, sosial atau ekonomi orang tua penderita. Pesan Tuhan ini tidak akan terkuak jika Dr Blalock tidak cukup berani menentang arus utama kala itu. May God Bless him. (..bersambung..)
Basri Hasan
December 13, 2010 at 8:02pm · Like · Dislike · Report
Berlian Siagian, Archer Clear, Hendarmin Ranadireksa and 2 others like this.
Kang Sjamsudin Upaya mengobati bagian masyarakat yang sakit, ternyata bisa sukses dengan mengayuh dayung biduk dengan optimal; melalui upaya pendidikan formal maupun non formal manusia mensyukuri potensi dari SDMnya:
(copy dari Milist Sebelah)
Ca...See More
December 13, 2010 at 8:34pm · Like · 1 person
Mau Gak Sih Mungkin itu adalah solusi jangka pendek (short term solutions) tuk menghadapi masalah2 aktuil yg ada di pemerintahan dan menjadi beban rakyat. Crazy like a fox..itu dulu adalah film seri yg saya suka dimana Mr. Fox adalah juga seorang detek...See More
December 13, 2010 at 9:30pm · Like · 1 person
Kang Sjamsudin @FW : Gaya Robin hood, atau Thief of Baghdad kali ya Pak....namun bisa juga utk 'pembenahan' yang lebih mendasar memakai pendekatan Sultan Harun Al Rasjid ....yang pada malam hari sering menyamar utk mengetahui keadaan sebenarnya dari masy...See More
December 13, 2010 at 9:43pm · Like
Mau Gak Sih Kang Sjamsudin: ya mungkin kira2 begitu kali metode praktis, jangka pendek..sebab yg ada saat ini seperti berkutet dilingkaran setan dimana Pemerintah bermain denga UU, berlindung dibawah konstitusi dll sedangkan rakyat yg jadi korban. Kebe...See More
December 13, 2010 at 9:57pm · Like · 1 person
Budi Praseno itu kulit luar aja tidak menyentuh akar masalah. di manapun didunia ini pelajaran matematika dan natural science itu ya dibenci dan gak diminati.katakan di UK ,dan Jerman yg menyumbang noble terbanyak itu. masalahnya adalah iklim yg sehat buat pengembangan ilmu.
December 14, 2010 at 8:24am · Like · 2 people
Basri Hasan Kang Sjamsudin, salut dan acungan jempol buat bung Yohannes Surya dan perlu dibantu oleh kita semua. Tapi jangan terlena dengan segmen mikro dan prinsip instant.
December 14, 2010 at 8:39am · Like
Kang Sjamsudin Betul Pak Basri, ini pun sekedar bahan inspirasi saja - karena kesuksesan total atau sinergi besar adalah gabungan yang mikro mikro seperti ini, terimakasih Pak Basri..........Pak Budi, iklim yang sehat buat pengembangan ilmu = inilah yang...See More
December 14, 2010 at 8:58am · Like · 2 people
Basri Hasan Sepakat Kang Sjamsudin, ada yang hilang dari dunia pendidikan kita yaitu tradisi keilmuan, bung Prof Yohannes Surya salah satunya yg gemas dengan situasi sekarang ini dan beliau berani bereksperimen. Karena anda setuju dengan mendeasin kembali Indonesia, mohon pindah tanggapan ke Docs: Poins 16 Nov. Salam
December 14, 2010 at 9:01am · Like
Budi Praseno kalau sains mau maju ya lihat negara2 yg sudah dapat nobel.
December 14, 2010 at 10:01am · Like
Budi Praseno yang jelas Fisika mengeliminir pandangan supranatural kata fisikawan LIPI Laksana Tri Handoko.
December 14, 2010 at 10:02am · Like · 1 person
Budi Praseno Olimpiade2an begitu tumbuh subur.tapi lupa pada olimpade yg sesungguhnya kata Terry Mart,yaitu di kampus yg berlomba-lomba melakukan riset yg terbaik.
December 14, 2010 at 10:03am · Like · 1 person
Kang Sjamsudin Masalahnya adalah iklim yg sehat buat pengembangan ilmu (Budi Praseno). Desainer negara perlu perlu berpikir keras serius jujur utk itu.... cendekiawan lainnya menebar ilu & keahliannya masing masing, yang muda menangkap & megembangkan nya bagi Indonesia yang tangguh luar dalam...
December 14, 2010 at 12:06pm · Unlike · 1 person
Kang Sjamsudin Ref pendapat LTH - LIPI di atas, umumnya terkesan demikian, namun dengan pendalaman khusus akan jumpa juga kaitan fisika & supranatural/metafisik - khususnya Islam terbuka bagi pemahaman aspek esoterisme (mencakup aspek metafisis dan dimensi internal agama), disamping aspek eksoterisme (mencakup aspek eksternal, dogmatis, ritual, etika, dan moral suatu agama)......meski utk sampai kesana pastinya perlu ketangguhan upaya karena perlu menembus 'wilayah berat' ......terimakasih...
December 14, 2010 at 12:20pm · Like
No comments:
Post a Comment