Wednesday, March 30, 2011

Ekonomi Kita

Ekonomi Kita

Pasar sudah ada selama ribuan tahun. Pada masa peradaban Mesir marak perdagangan antar daratan dan lintas lautan dengan aneka macam komoditi. Yang penting kita pertimbangkan adalah milik (property): Bagaimana hubungan kepemilikan antar orang? Apa hubungan kuasa antara satu pihak dengan pihak lain? Adanya pasar berarti ada konsepsi tentang milik. Pedagang menjual sesuatu yang dia miliki. Dalam situasi tanpa kepastian hukum, strategi pedagang sekaligus pencuri yang paling jitu adalah menjual barang curiannya kepada pemilik awal barang tersebut. Karakter pasar bergantung pada hubungan kepemilikan yang sudah terbangun dalam masyarakat.
Ketika para pedagang Belanda pertama kali berlayar ke kepulauan Nusantara pada awal abad ke-17, mereka membeli rempah-rempah di berbagai kota pelabuhan tanpa memiliki semeter tanah pun di wilayah ini. Mereka membeli rempah-rempah dari pedagang lain yang membawa rempah-rempah tersebut dari daerah pedalaman tempat barang dagangan itu diproduksi.

Komoditi, barang mati tak bicara, tidak menunjukkan relasi kuasa di tempat mereka diproduksi. Mereka diam di pasar menunggu dijual. Para ekonom yang mengagungkan “pasar” sebagai arena kebebasan dan kesetaraan mengekor belaka pada perspektif buta ini dan mengabaikan kondisi sosial yang menaungi proses produksi komoditi.
Seorang sejarawan dan ahli antropologi Karl Polanyi (1886-1964) dalam buku klasik dan ternamanya, The Great Transformation (1944), berbicara tentang bagaimana karakter pasar secara kualitatif berubah sekitar 1500-1600an di Eropa. Ia berpendapat bahwa manusia, selama jutaan tahun, untuk kelangsungan hidupnya bergantung pada barang-barang yang tidak dijadikan komoditi. Di masyarakat jaman purba dan pertengahan yang diperdagangkan di pasar bukanlah barang kebutuhan sehari-hari, melainkan barang-barang khusus. Misalnya, sebagai bagian dari komunitas agraris seseorang memproduksi bahan makanan, seperti beras atau gandum, dan menerima bagiannya dari panen bersama. Jadi, ia tidak perlu membeli bahan-bahan ini di pasar. Yang tersedia di pasar sekadar barang-barang tambahan seperti garam atau lada yang dibawa dari Asia, atau benda-benda mewah untuk kaum elit pengumpul pajak di kota. Pedagang tidak mengendalikan proses produksi komoditi yang mereka jual; mereka hanya membelinya di satu tempat dengan harga murah dan membawanya ke tempat lain untuk dijual dengan harga lebih tinggi.
Hal pokok yang diutarakan Polanyi adalah bahwa kelangsungan hidup manusia tidak sepenuhnya tergantung pada pasar. Ia beranggapan bahwa “ekonomi” bukanlah ranah kegiatan yang terpisah. Berbeda dengan yang terjadi sekarang, dahulu tidak ada konsep tentang ekonomi yang berfungsi menurut hukum-hukumnya sendiri tanpa ada kaitan dengan masyarakat atau keinginan manusia. Pedagang tidak mengendalikan negara. Pada saat itu ada pasar, tetapi kegiatan dan wilayahnya “termaktub” dalam hubungan-hubungan komunal, kekerabatan, keagamaan dan politis. “Transformasi besar-besaran” yang merupakan judul buku Polanyi adalah proses komodifikasi tiga hal pada awal era modern Eropa, yaitu tanah, buruh dan waktu, yang sebelumnya tak pernah terjadi. Polanyi, yang sampai taraf tertentu mengikuti pemikiran Karl Marx pada abad ke-19, berpendapat bahwa kapitalisme bukanlah suatu sistem ekonomi di mana pasar menjadi lebih bebas atau di mana para pedagang dibebaskan dari pembatasan yang diterapkan kekuasaan feodal. Yang mendefinisikan kapitalisme adalah penggusuran orang dari tanah mereka secara besar-besaran. Begitu orang tak memiliki tanah, seperti yang terjadi di Inggris sejak abad ke-16, mereka harus bergantung pada pasar untuk bertahan hidup.

Kalau kita mengamati hubungan sosial kepemilikan, kita akan menemukan bahwa pasar di bawah kapitalisme berkaitan dengan desakan, yaitu, desakan untuk berpartisipasi dalam pasar. Mereka yang tak bermilik hanya punya pilihan terbatas antara bekerja atau kelaparan. Sekarang mayoritas orang di negeri-negeri kapitalis maju seperti AS tidak memiliki modal; mereka hidup dari pekerjaan yang berupah jam-jaman. Mereka tidak hidup dari perolehan keuntungan saham, bunga, atau pembagian keuntungan perusahaan. Sejarah kapitalisme sebenarnya adalah sejarah penggusuran orang dari tanahnya dan penciptaan pasar tenaga kerja yang terus-menerus berkembang meluas.
Mereka yang mendukung perkembangan kapitalisme dan ‘pasar bebas’ di Indonesia harus mengamati dengan serius negara-negara ‘berkembang’ seperti AS: konsekuensi tak terhindarkan dari perkembangan kapitalisme adalah pesatnya pertumbuhan kelas orang-orang bermilik (propertied class). Konsentrasi kekayaan di AS dewasa ini luar biasa besarnya: di satu sisi ada ‘surplus’ penduduk yang masif dan tidak mendapat bagian apa-apa dari ‘pasar bebas’; di sisi lain, hidup segelintir milyuner. Pemerintah AS banyak mengerahkan pendapatan pajak mereka untuk mendisiplinkan ‘surplus’ manusia tak bermilik ini dengan kekuatan hukum. Lebih dari 1 juta orang Amerika berada di penjara – jumlah total narapidana terbesar dan perkapita tertinggi di seluruh dunia.
Banyak dari mereka yang mengunggulkan ‘pasar bebas’ memuja filsuf Skotlandia Adam Smith (1723-90), yang menulis buku The Wealth of Nations (1776), sebagai pemikir tentang ‘pasar bebas’. Buku teks standar ilmu ekonomi ini disebut ‘neoklasik’ karena berisi pembaruan ide-ide Adam Smith yang bersama David Ricardo (1772-1823), dianggap sebagai ekonom ‘klasik’. Pembaharuan ini dilakukan dengan menghilangkan pendapat Smith dan Ricardo mengenai teori kerja tentang nilai (labor theory of value), yaitu teori tentang nilai komoditi yang ditentukan oleh jumlah waktu kerja yang termaktub di dalamnya. Pikiran-pikiran ekonomi “marginalist” yang muncul pada paruh akhir abad ke-19, diwakili oleh ekonom-ekonom seperti W.S. Jevons (1835-82) dan Alfred Marshall (1842-1924), menyatakan bahwa nilai komoditi pada dasarnya ditentukan oleh persediaan dan permintaan. Dan itulah ajaran utama yang bisa diperoleh dari ilmu ekonomi standar dewasa ini.
Adam Smith masih tetap mengharapkan negara mendukung kesejahteraan publik. Ia bahkan berpikir bahwa pedagang, kaum yang hidupnya dari keuntungan, akan menciptakan anarki apabila mereka mengendalikan negara karena mereka terutama dimotivasi oleh kepentingan mereka pribadi dan bukannya kepentingan umum. Ia mengkhawatirkan munculnya anarki pasar, dan kesewenang-wenangan pedagang menjadi prinsip-prinsip pemandu kehidupan sosial. Smith mendukung perkembangan kapitalisme, itu pasti – ia menginginkan buruh menjadi lebih produktif melalui pembagian tenaga dan kemajuan teknologi yang lebih canggih. Tetapi ia ingin supaya pasar dikendalikan secara bijaksana oleh “negarawan”, sedemikian rupa sehingga pasar itu bisa melayani kepentingan sosial yang berguna bagi publik. Ia menyatakan bahwa bukunya merupakan latihan di bidang “ekonomi politik”, yaitu ilmu bagi “negarawan atau pembuat undang-undang” supaya mereka bisa meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa.
Salah satu ajaran Smith yang perlu kita pertimbangkan benar dewasa ini: “Usulan perundang-undangan atau aturan perdagangan baru apa pun yang datang dari tatanan ini [para majikan yang hidup dari keuntungan] harus selalu didengarkan dengan kewaspadaan luar biasa, dan tidak pernah boleh diberlakukan sebelum dikaji secara seksama dan mendalam, bukan hanya dengan perhatian yang paling teliti, tetapi juga dengan kecurigaan. Usulan itu datang dari kaum yang kepentingannya tidak pernah sepenuhnya sama dengan kepentingan publik, yang secara umum berkepentingan untuk menipu dan bahkan menindas publik.” Smith mungkin akan terperanjat membaca karya Milton Friedman yang begitu polos berasumsi seakan-akan kepentingan kaum kapitalis berjalan selaras seimbang dengan kepentingan masyarakat luas, namun ada benarnya.
Umumnya dipercaya bahwa pada masa depresi mendunia di 1930an pasar di bawah kapitalisme bersifat anarkis. Pasar bergerak mengikuti siklus liar ledakan dan kemerosotan perdagangan. Ketika begitu banyak orang bergantung pada pasar untuk bertahan hidup (menjual tenaga kerja mereka untuk upah dan membeli kebutuhan sehari-hari dengan upahnya) jenis fluktuasi tak terkendali serupa ini menyebabkan penderitaan sosial secara massal. Ekonomi terencana di Republik Sosialis Uni Soviet kemudian tampak sebagai pilihan yang sepenuhnya rasional dan praktis bagi banyak orang pintar karena kinerja kapitalisme yang kacau balau saat itu. Kapitalisme tampak tak bisa bertahan lama kecuali jika pasar dikendalikan oleh aturan-aturan negara. Itulah sebabnya karya ekonom John Maynard Keynes (1883-1946) menjadi penting. Tulisan-tulisannya menunjukkan bagaimana investasi dan pengeluaran negara bisa mencegah keliaran fluktuasi siklus perdagangan dan menjaga supaya kapitalisme bisa lancar bekerja. Keberhasilan pertumbuhan ekonomi paska PD II di Eropa barat, AS dan Jepang diraih oleh kaum elit ekonomi yang bekerja sejalan dengan ide-ide Keynes.
Ide-ide dan praktek Keynesian ditinggalkan pada 1970-an dan 1980-an ketika para kapitalis menganggap bahwa anarki pasar itu hanyalah dongeng masa lalu. Gagasan Milton Friedman meraih pengaruh lebih besar. Di banyak negara maju, industri negara diswastakan dan tunjangan kesejahteraan bagi pengangguran dan kaum miskin dihapus. Negeri-negeri ini memulai peperangannya terhadap kaum miskin. Pertumbuhan pesat jumlah narapidana di AS beranjak pada awal 1980-an.
Dalam logika standar para ekonom dewasa ini pilihan yang ada hanyalah antara pasar bebas dan ekonomi terencana, dan pilihan terakhir telah terbukti salah dengan runtuhnya Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Tapi sebenarnya ada lebih dari dua pilihan di atas. Bagi mereka yang selalu berbicara tentang pasar bebas, kita harus mengamati mereka dengan kecurigaan dan bertanya: pasar yang mana? Pasar seperti apa? Kebebasan untuk siapa? Ada tiga alternatif:
Pertama, kita harus berpikir tentang peraturan negara terhadap pasar. Bahkan ekonom neoklasik kelas berat sekali pun menyadari bahwa negeri seperti Indonesia, paling tidak, membutuhkan kontrol terhadap masuk-keluarnya modal asing. Salah satu alasan penting kejatuhan ekonomi pada 1997 adalah cepatnya melayang modal asing yang ditanam di bank dan pasar saham. Rezim Soeharto, berdasarkan saran IMF dan pemerintah AS, menciptakan pasar bebas untuk uang. Tanpa modal domestik yang cukup besar, ekonomi Indonesia bisa diguncang oleh keluar-masuknya modal asing yang tidak diatur. Banyak ekonom setelah melihat krisis di Asia, Meksiko, dan Brazil mempertimbangkan kembali ide-ide Keynes.
Kedua, kita harus berpikir tentang perluasan kemampuan rakyat untuk bertahan hidup dengan akses ke sumber daya alam yang tidak dikomoditi. Banyak orang di Indonesia bertahan hidup dalam krisis karena mereka masih bisa memperoleh makanan dari hasil tanah mereka sendiri, mengambil bahan mentah dari hutan, atau dari sungai dan laut. Contohnya: Indonesia sekarang menyelenggarakan pasar bebas untuk industri kayu. Pedagang yang seringkali merangkap sebagai perampok bisa membayar pejabat pemerintah, menyapu bersih hutan yang ada dan mengekspor kayu hasil hutan tersebut. Hutan di Kalimantan dan Sumatra dihancurkan dengan cepat oleh saudagar-saudagar kayu seperti ini sehingga rakyat tak punya lagi akses ke sumber-sumber penghidupan di dalam hutan. Pasar bebas di bidang perkayuan ini harus dihentikan.
Ketiga, kita harus mengerti bahwa tidak semua keterlibatan negara dalam ekonomi itu buruk. Jika negara yang ada sangat korup, seperti Indonesia, memang tipis harapan akan ada perbaikan dengan adanya perubahan sistem dasar negara. Tetapi negara yang demokratis bisa secara efektif melakukan intervensi dan secara positif menyumbang pada kesejahteraan masyarakat. Apabila pengoperasian negara itu transparan, para pejabatnya pun tidak punya ruang terlalu luas untuk melakukan korupsi. Demokrasi, seperti berulangkali ditekankan ekonom pemenang Nobel, Amartya Sen, merupakan unsur hakiki untuk perkembangan ekonomi justru karena negara memiliki peran penting di dalamnya. Masyarakat Indonesia menginginkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai dan baik. Jelas para pedagang tak akan mampu menyediakan pelayanan seperti ini kecuali bagi segelintir elit yang bisa membayar cukup banyak. Negara harus terlibat dalam penyelenggaraan klinik kesehatan dan sekolah untuk warganya (bahkan Adam Smith mendukung perlunya subsidi negara untuk pendidikan). Dan apabila negara diharapkan terlibat dalam penyediaan pelayanan masyarakat yang vital seperti ini maka negara itu harus demokratis. Mereka yang menuntut “pemerintahan yang bersih” dan “penyelenggaraan negara oleh kaum profesional” secara netral sebagai syarat pemerintahan yang efektif tanpa mengatakan apa-apa tentang demokrasi sebenarnya sudah membohongi publik.
Penataan ulang demokrasi Indonesia memerlukan Konstitusi Baru, diantaranya adalah mengembalikan prinsip ”negara tidak boleh menjalan bisnis cari untung dari rakyatnya”, ”sumber pendapatan negara hanyalah pajak” dan birokrasi negara harus berdasarkan azas ”meritokrasi”.
Sebagian konsep2 diatas sudah masuk dalam dokumen Poins 16 November di Forum Indonesia Sejahtera.

Basri Hasan
January 7 at 8:48pm · Unlike · Dislike · Report
You, 'Oesman Junus, Budi Susilo, Widionirwono Tundjungseto and 16 others like this.
50 of 282

Basri Hasan Republik model apa: Integralistik atau Pluralistik?
January 9 at 10:16pm · Like
Waskito Giri Sasongko Mengamati sejarah yang berkembang dalam kurun waktu paska dikeluarkannya Maklumat X 1945 oleh Hatta hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1945, dan kurun waktu paska ambruknya Orde Baru hingga saat ini, saya memilih bentuk "negara integralistik".
January 9 at 10:20pm · Like · 2 people
Basri Hasan Pilihan yg dihormati, tapi sayang waktu tidak bisa diputar balik.
January 9 at 10:21pm · Like
Waskito Giri Sasongko Itu persepsi anda, bung..... sejarah akan menciptakan hukum dialektikanya sendiri yang terkadang berada di luar kerangka pembacaan kita. :)
January 9 at 10:23pm · Like
Basri Hasan Dekrit 5 juli 59 itu juga merupakan kudeta terselubung yang melanggar konstitusi, apa mau diulangi kembali?
January 9 at 10:23pm · Like
Waskito Giri Sasongko Maklumat X 1945 pun adalah kudeta terselubung pula..... :)
January 9 at 10:24pm · Like
Basri Hasan Yuppps, itulah kelemahan2 republik ini akibat "ketergesaan".
January 9 at 10:26pm · Like
Waskito Giri Sasongko Kata kuncinya ada pada kualitas 'political society' kita, apakah ia benar-benar berpihak pada rakyat kecil ataukah hanya akan selalu "jauh panggang dari api" dalam hal kata dan perbuatannya? Jika situasi semacam ini berlarut-larut, saya yakin arus balik gelombang anti demokrasi liberal ini akan semakin membesar. :)
January 9 at 10:28pm · Like · 1 person
Waskito Giri Sasongko Sebenarnya saya tidak setuju dengan istilah "ketergesaan" ini. Situasi pada waktu itu adalah situasi revolusioner, yang tentu butuh kecepatan waktu dalam memahami dan membaca perubahan arah sejarah. Ada momentum sejarah yang menuntut para a...See More
January 9 at 10:35pm · Like
Basri Hasan Anda telah sepakat negara harus sekuler. Jangan bicara dulu itikad atau niat orang, apakah anda sepakat pemisahan kekuasaan dalam negara?
January 9 at 10:36pm · Like
Waskito Giri Sasongko Ya, tentu negara sekular. Pancasila dan UUD 1945 adalah jelas bentuk negara sekular. Maksud anda pemisahan apa, apakah Trias Politika, bung?
January 9 at 10:38pm · Like · 1 person
Basri Hasan Executive, Legislative, Judicative dan Badan2 Independent
January 9 at 10:39pm · Like
Candra Gib aku bagian bikin Kopinya ya mas berdua diskusi terus mantap Juga
January 9 at 10:39pm · Like · 1 person
Waskito Giri Sasongko Menurut saya, skema pemisahan dalam UUD 1945 sudah cukup, tinggal dibenahi perihal pembatasan masa jabatan Presiden saja, daripada harus karut marut seperti saat ini. Individualisasi atau otonomisasi kelembagaan seperti yang terjadi saat in...See More
January 9 at 10:49pm · Like
Waskito Giri Sasongko Andai, ini andai ya, bung...sistem Orde Baru sebagai sistem kekuasaan itu selama ini diabdikan pada rakyat kecil, dan sistem mekanismenya tidak dikooptasi dengan 'todongan sejata' tapi berjalan secara alamiah dalam iklim yang demokratis, menurut saya, sistem itu sudah cukup sebagai penompang kita dalam berbangsa dan bernegara. Tapi, tentu saja pengandaian ini menjadi tidak pas, karena sejak awal Soeharto bukanlah eksponen demokratis, ia adalah tentara yang logikanya sentralistik.
January 9 at 10:54pm · Like
Basri Hasan Karena negara adalah kesepakatan maka hak2 warganegara adalah promininent faktor dalam konstitusi, minimal sama dengan Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia 1948. Anda bisa sepakat?
January 9 at 10:55pm · Like
Waskito Giri Sasongko Ya, sepakat....tapi sebatas bahwa hak-hak individual tersebut tidak digunakan seenaknya dan mengganggu masyarakat luas, its oke saja.... :)
January 9 at 10:57pm · Like
Basri Hasan Untuk itulah konstitusi dirancang kembali, bukan hanya sekedar memenuhi nostalgia dan utopia.
January 9 at 10:58pm · Like
Waskito Giri Sasongko Bentuk yang seperti apakah yang ditawarkan? Ini bukan soal nostalgia atau utopia, tapi ini soal ideologi, bung! Ideologi adalah saripati tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara. ideologi dan utopia adalah hal yang berbeda.
January 9 at 11:01pm · Like
Ade Muhammad baca Pernyataan Integritas FIS, di docs .. yang menempatkan Pancasila sebagai landasan Ideal/idiil ... fungsinya kembali menjadi payung pelindung untuk ideologi ideologi yang bekerja di negara ini ... tapi memang perkembangan terakhir, "dengan perkembangan revolusi informasi ideologi ideologi dunia menjadi rubuh" (imanuel subangun)
January 9 at 11:04pm · Like
Waskito Giri Sasongko haha, the end of history sekalian, mas....
January 9 at 11:05pm · Like
Ade Muhammad negara yang berideologi hanya pada fasis dan komunis ... yang demokratis justru tidak bermasalah ada ideologi ideologi yg dianut oleh bermacam partai politik yg berada dalam negara tersebut. yang terjadi pada saat ini adalah fenomena partai partai sudah kehilangan ciri khas ideologinya ... di italia, partai liberal bisa membela buruh mati matian ... sementara partai komunis membela industrialis ... intinya sudah terdialektika sedemikian rupa sehingga terjadi cara cara partai untuk memenangkan hati pemilihnya sudah mirip mirip sama ...
January 9 at 11:08pm · Like
Waskito Giri Sasongko Inilah keresahan utama saya, mas....mengapa intelektual-intelektual kita selalu berbicara seolah-olah tidak ada alternatif pembangunan di luar model kapitalisme. Tidakkah kita bisa belajar dari sejarah, bahwa resep modernisme yang mereka tawarkan, di sana-sini mengalami kegagalan, di Amerika Latin, Afrika, dan di negeri kita sendiri.
January 9 at 11:09pm · Like
Waskito Giri Sasongko Dan ideologi kita, semua partai-partai kita, bahkan republik ini adalah, pragmatisme dan opurtunisme. Menarik!
January 9 at 11:11pm · Like
Ade Muhammad kita belajar dari keberhasilan berbagai bangsa, dengan hati dan pikiran yang terbuka ... mau komunis, mau demokratis, ternyata bisa mengendalikan kapitalisme ... bahkan sudah dipadu dengan sosialisme ... sementara kebanyakan orang disini masih berbicara seolah olah ideologi dalam persepsi tahun 60 an yang masih kaku dan bertarung dalam Perang Dingin ... yang sekarang tentunya sudah mengalami perkembangan dan percampuran serta melahirkan berbagai hybrida baru ...
January 9 at 11:14pm · Like
Waskito Giri Sasongko O-iya, hybrida itu jelas, sangat jelas, bahkan logika ini adalah karakteristik bangsa kita sejak mula. Dari masa yang sangat jauh, Sriwijaya dan Majapahit pun adalah hasil hybridasi kultural semacam itu. Tanpa kecuali Pancasila itu, konon, ada yang beranggpan pun adalah hybrida antara kapitalisme dan sosialisme. Saya memaknai ideologi itu simple koq, mas.... Rumusannya adalah BERDIKARI.
January 9 at 11:17pm · Like · 1 person
Waskito Giri Sasongko Karena menurut saya BERDIKARI adalah prasyarat sine qua non bangsa ini untuk menuju kesejahteraannya.
January 9 at 11:19pm · Like
Basri Hasan Menjawab pertanyaan bung Waskito, apa yang ditawarkan, silahkan lihat Poins 16 Nov reload
January 9 at 11:22pm · Like
Ade Muhammad ya tapi melihat semua perkembangan, berdikari dalam konteks kita terisolasi dari luar tidaklah mungkin dan tidak mudah ... yang ada sekarang adalah interdependensi sebagai paradigma baru
January 9 at 11:25pm · Like
Waskito Giri Sasongko Interdependensi yang tidak dependent.....tapi yang independent. Inilah BERDIKARI. Dan saya pikir, konseptor BERDIKARI ini pun dulu tidak pernah berpikir untuk mengisolasi diri.
January 9 at 11:28pm · Like
Basri Hasan Bung Waskito apa anda sengaja menghindar mekihat konsep yg ditawarkan? Kalau "berdikari" itu memang prinsip yg pas dan applicable, silahkan lihat bagaimana perumusannya.
January 9 at 11:35pm · Like
Ade Muhammad aku pernah lihat interview BBC kl tidak salah kepada salah seorang menteri di India, tentang mengapa fokus ke Software? ... bukan ke Hardware electronics? ... kalau tidak salah ingat, jawabannya adalah mereka ingin berpartisipasi aktif dala...See More
January 9 at 11:36pm · Like · 1 person
Waskito Giri Sasongko Saya hanya melihat, negeri-negeri di Amerika Latin (Venezuela, Brazil, Bolivia, Chuba, dll.) bisa mencanangkan kemandirian politiknya vis-a-vis sistem kapitalisme, mengapa bangsa kita tidak sanggup? Padahal, potensi kekayaan sumber mineral ...See More
January 10 at 12:12am · Like
Gatholoco Wong Sudra mas was, apa gak lebih baik klo kembali ke uud 1945 & pancasila untuk meninjau kembali xplor sumber daya alam di Indonesia ?
January 10 at 12:16am · Like
Basri Hasan Gatholoco, tadi anda tanya kasus Lapindo, nggak bakalan ketemu dalam uud45. Toh Lapindo terjadi dalam kerangka uud45.
January 10 at 12:24am · Like
Ade Muhammad kita di FIS sudah mencanangkan Visi Bangsa: Gudang Pangan Dunia, Tujuan Wisata Dunia dan Paru Paru Dunia .. yang menswitch dari SDA tak terbarukan ke SDM dan SDA terbarukan ... kita bahkan sudah menerbitkan buku saku ... nanti isinya kita repost lagi agar anda anda bisa turut mengetahuinya.
January 10 at 12:24am · Like
Gatholoco Wong Sudra hehehe, mungkin bisa dilihat dari situ to pak Basri, dimana hal ikhwalnya, jujur saya belum tahu. Kalo menurut pak Basri korelasi awal antara uud 45 dgan lapindo beserta bencananya bagaimana ? mohon wawasan & paparannya.
January 10 at 12:29am · Like · 1 person
Agung Triatmoko iya saya juga pingin nanya hal yang sama pada Pak Basri soal hub. Lapindo dg UUD'45
January 10 at 12:30am · Like
Basri Hasan Saya juga tidak menolak ide berdikari, hanya ingin dalam detail minimal prinsip2 dasar yg kemudian diterjemahkan kedalam konstitusi. Tanpa itu saya berpendirian hanya akan jadi omdo. Pengalaman saya sebagai konsultan di PLN dan Perindustrian, birokrasi itu terlalu pintar mengkadalin semua UU. Umur PLN itu lebih tua dari Bharat Electric India, sekarang mereka telah mampu full EPC sampai 500MW. PLN? 1MW aja nggak mampu, import semua.
January 10 at 12:35am · Like
Basri Hasan UU Migas 2003 dibuat dibawah uud45, dari konseptor sampai yg mengesahkan semuanya mengaku pancasilais, beriman dan bertakwa. Ditambah seabreg PP, Kepmen akhirnya Lapindo Brantas mengantongi izin explorasi diwilayah yg Belanda dulu tidak berani explorasi krn faktor resiko, hasilnya bencana kan? Salahkan lagi manusianya? Sistemik yg tidak dipunyai uud45.
January 10 at 12:40am · Unlike · 1 person
Agung Triatmoko pahit..... berarti tumpukan benda yang dipertaruhkan dalam explorasi itu adalah 'manusia'
January 10 at 12:45am · Like · 1 person
Basri Hasan Begitu pula Wasior, Simalungun, beberapa tahun lagi Tabalong dan puluhan daerah lainnya di Kalimantan. Ngeri deh, jangan salahkan SBY saja, semua bersalah kalau kita tidak berani ganti konstitusi.
January 10 at 12:50am · Like
Gatholoco Wong Sudra Pak Basri, bagaimana kalo dengan uud 2002 ? apakah ada hubungannya dengan uu migas 2003 ?
January 10 at 1:02am · Like
Basri Hasan Kan hanya tambahan dan sedikit perubahan (amandemen) dari uud45, al pemilihan presiden langsung dll.
Jiwa keseluruhan tetap sama.
January 10 at 5:37am · Like
Budi Praseno ketika terjadi kebocoran pipa milik BP Barack Husein marah dan menuntut BP mengganti semua kerugian yg ditimbulkannya. BP harus nurut dan menjual sejumlah asetnya diberbagai negara. dan BP harus keluar kocek dalam2. bagaiamana dg Lapindo?
January 10 at 7:26am · Like · 1 person
Basri Hasan SBY nggak bisa marah karena anunya dipegang ARB dan sebaliknya.
January 10 at 7:31am · Like
Aida C'est <> pak Basri 'anu'nya yang artinya 'unknown' ya?
January 10 at 7:32am · Like
Budi Praseno apa yg anda maksud ttg kontrol modal asing yg masuk .saya dengar vietnam itu banting harga sehingga invest deras mengalir masuk.
January 10 at 7:34am · Like
Kang Sjamsudin Saling pegang anu, lantas rebutan daerah swantantra....nah....
January 10 at 7:35am · Like

No comments:

Post a Comment