Thursday, March 31, 2011

Pemilu Langsung, Politik dan Demokrasi

Salah satu penemuan reformasi 1998 adalah pemilu langsung. Sejauh ini telah banyak orang mengungkapkan kekecewaannya atas sistem ini.

Pemilu langsung dianggap tidak berhasil melahirkan pemimpin yang baik. Terbukti dari pembangunan yang seret dan banyaknya pemimpin yang tersangka korupsi.

Dikatakan pula bahwa pemilu langsung diwarnai oleh politik uang. Semua bisa disogok: parpol, kandidat, penyelenggara (KPU), pers/media, bahkan juga pemilih. Buktinya bertebaran di sekitar kita. Alasan ketiga, pemilu langsung memboroskan uang negara dan berbiaya mahal bagi kandidat. Last but not least, KPU diduga tidak independen. Oleh karena itu parpol bertekad untuk masuk lagi mengurusi kepemimpinan di KPU.

Bahwa pemilu langsung yang terselenggara sejak 2004 s/d sekarang memiliki banyak kelemahan sejujurnya harus kita akui. Ketika kita memutuskan untuk mengusung pemilu langsung hal itu mestinya telah disadari. Kita tidak sedang menjalankan "a perfect car that can bring us all to the moon". Setiap institusi sosial, apapun itu, "always in a state of becoming", dalam proses menjadi. Kita mendesainnya dengan hati-hati dan seksama, menjalankan sesuai dengan aturannya, mendeteksi kelemahan dan lantas memperbaiki setiap cacat dan kekurangan yang ada. Begitulah proses "menjadi".

Kenapa tidak disingkirkan saja mobil bobrok itu, dan ganti yang lebih canggih? Intelektual yang berpandangan seperti ini telah keliru menilai bahwa pemilu langsung memiliki cacat intrinsik, yaitu menyebabkan money politics atau transactional politics. Untuk melenyapkan money politics, tak ada lain, pemilu langsung harus dibatalkan.

Cendekiawan lain yang lebih bijak, menolak pandangan di atas. Menurut mereka money politics dan transactional politics sudah ada sejak lama. Bukankah politik selalu berkenaan dengan trade (transaksi) dan ada sumberdaya (uang) yang mengalir di sana? Membatalkan pemilu langsung tidak dengan sendirinya menghapuskan politik uang.

WALAUPUN demikian kritik di atas sudah benar dan harus diapresiasi. Dapatkah kita memperbaiki sistem pemilu kita sehingga cacat-cacat yang dikemukakan di atas tidak terjadi lagi? Dalam hemat saya, itu sangat bisa.

PERTAMA, pemimpin yang baik harus dikaitkan dengan sistem seleksi kandidat di partai politik. Pemilu hanyalah arena yang memberikan kesempatan bersaing bagi kandidat. Pemilih hanya bisa memilih kandidat yang diajukan oleh KPU, adapun KPU hanya mengklarifikasi persyaratan administrasi kandidat yang diajukan partai politik. Kualitas kandidat hanya ditentukan oleh sistem seleksi oleh partai politik. Bila kita menghendaki pemimpin terpilih yang berkualitas baik maka pertama-tama sistem seleksi kandidat oleh partai politik harus diperbaiki kualitasnya.

Bagaimana mekanisme seleksi kandidat oleh partai politik? Apakah ditentukan oleh jumlah setoran kepada partai? Apakah dipaksakan oleh "owner" partai? Apakah ditentukan melalui survei? Atau adakah cara lain yang lebih menjamin kualitas kandidat? Saya yakin orang partai lebih mengetahui hal ini.

KEDUA, mengikuti pemilu memang membutuhkan uang. Uang itu perlu untuk beranjangsana kepada publik, memperkenalkan diri, menyajikan pemikiran dan menyampaikan harapan untuk didukung. Uang tidak boleh dipergunakan untuk membeli suara atau menyuap dan memanipulasi hasil pemilu. Dua hal dapat dilakukan dalam hal ini: hukuman pidana bagi penyelenggara pemilu yang memanipulasi hasil pemilihan dan penghapusan suara yang diperoleh kandidat yang melakukan manipulasi. Sanksi keras bagi penyuap dan disuap kiranya dapat meredam aksi politik uang.

KETIGA, pemilu langsung di Indonesia sebetulnya tidak mahal. Pada tahun 2004 biaya penyelenggaraan pemilu kurang dari US$1,00 per pemilih. Biaya sebesar itu masih bisa dicapai oleh Pilgub Jawa Barat 2009. (Di luar negeri biaya mencapai rata2 US$2, tertinggi US$10 untuk wilayah perang seperti Afganistan). Sekarang ini memang ada pilkada berbiaya sampai US$20 per pemilih. Sebagai mantan anggota KPU saya percaya angka itu tidak rasional, ini subjek bagi auditor. Lain dari itu, KPU Pusat mestinya menetapkan benchmark untuk biaya pilkada. KPU Pusat juga bisa meningkatkan efisiensi anggaran dengan membakukan proses2 dan menciptakan sistem.

Pada pemilu legislatif, biaya kampanye akan jauh lebih murah bila daerah pemilihan lebih kecil. Bila dapil hanya menyediakan satu kursi misalnya, maka area kampanye hanya berbilang 4-10 kecamatan (di Jawa Barat). Kandidat akan lebih intens bertemu publik. Pemilih lebih selektif. Dan jelas, biaya kampanye akan jauh lebih murah. Bandingkan dengan wilayah kampanye Dapil XI Jabar yang mencakup Kab. Garut dan Tasikmalaya. Berapa banyak pemilih yang mereka bisa temui dalam satu bulan kampanye? Sepuluh orang caleg partai di dapil ini tidak mungkin berbagi wilayah kampanye. Setiap caleg terdorong untuk kampanye di semua kecamatan.

KEEMPAT, KPU harus independen dan kompeten! Inkompetensi menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan menimbulkan kecurigaan. Inilah yang sesungguhnya terjadi. Betapapun pengakuan KPU akan independensi mereka, ketidak-mampuan mereka menjalankan organisasi KPU telah merusak kredibilitas KPU. Yang paling parah adalah ketidakmampuan mereka mengendalikan perilaku jajaran penyelenggara pemilu di lapangan. Praktek politik uang yang meruyak di sana tidak diakui sehingga terabaikan. Sistem yang dibangun seberapa baikpun akan hancur di tangan pengelola yang tidak kompeten!

Pemilu langsung adalah implikasi logis dari demokrasi. Suatu politik hanya bisa dibilang demokratis bila pemimpinnya dipilih oleh mereka yang akan dipimpin. Pemilihan itu hendaknya terpercaya (tanpa manipulasi), efisien (murah) dan efektif (menghasilkan pemimpin terbaik). Salam sejahtera.

oleh : Radhar Tribaskoro

No comments:

Post a Comment