Wednesday, March 30, 2011

KORUPSI DALAM DIMENSI SEJARAH INDONESIA

Dalam catatan banyak ahli sejarah, periode pendudukan Jepang dipercaya sebagai masa merajalelanya korupsi. Pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon.

Bahkan akibat langkanya minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan diambil bijinya sebagai alat penerangan.

Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu. Namun kesulitan tersebut “agak tertolong” jika ada yang mau berkolaborasi dengan pemerintah pendudukan Jepang. Jika ada yang mau menjadi corong kampanye Jepang, salah satunya adalah kampanye gerakan tiga A, maka kesulitan untuk mendapat pakaian atau bahan makanan sedikit teratasi.

Selepas revolusi kemerdekaan tahun 1945-1949, negara Indonesia yang baru lahir lebih banyak disibukkan dengan persoalan penataan sistem politik. Persoalan ekonomi menjadi nomor dua. Melalui kesepakatan yang diperoleh pada Perjanjian Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 secara resmi kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, kendati sebagian besar sektor perekonomian masih dikuasai oleh Belanda.

Pada tahun 1951 desakan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda, dan perusahaan Barat lainnya, semakin kuat. Akhirnya di tahun 1958 ini pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 86/1958 tentang kebijakan nasionalisasi perusahaan perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, terutama pada sektor perkebunan, minyak dan gas bumi, serta pertambangan.

Undang-undang tersebut berlaku surut hingga Desember 1957, dan pada prakteknya bukan hanya diterapkan pada perusahaan-perusahaan Belanda saja, namun juga pada perusahaan-perusahaan Barat lainnya. Sebelum adanya undang-undang nasionalisasi tersebut, dengan alasan untuk memberikan proteksi kepada pengusaha-pengusaha pribumi, pemerintah Indonesia menerapkan suatu kebijakan yang diberi nama Politik Benteng.

Berdasarkan kebijakan ini pengusaha-pengusaha pribumi diberikan bantuan kredit dan fasilitas, salah satunya adalah lisensi untuk mengimpor barang. Laba yang diperoleh oleh para pengusaha pribumi tersebut, dari penjualan barang impor di dalam negeri, diharapkan dapat menjadi modal untuk melakukan ekspansi usaha. Namun pada akhirnya Politik Benteng ini tidak melahirkan pengusaha pribumi yang tangguh.

Yang muncul justru praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Pengusaha-pengusaha yang mendapatkan lisensi tersebut hanyalah pengusaha-pengusaha yang dekat dengan pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik yang dominan. Pengusaha-pengusaha pribumi “dadakan” tersebut sama sekali tidak memiliki bekal kemampuan usaha yang memadai.

Akhirnya mereka hanya “menyewakan” lisensi yang mereka punyai tersebut kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari pengusaha keturunan Cina. Praktek kongkalingkong ini lah yang melahirkan istilah Ali-Baba. Si Ali yang memiliki lisensi dan di Baba yang memiliki uang untuk modal kerja lisensi tersebut.

Upaya untuk melakukan rasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, dan Barat lainnya, justru melahirkan persoalan baru. Sebelum UU tersebut diberlakukan pada tahun 1958, pihak militer, terutama Angkatan Darat (AD), telah melakukan aksi sepihak dan merebut perusahaan perusahaan aing tersebut.

Pada tanggal 13 Desember 1957 Mayor Jenderal A.H. Nasution (KSAD pada saat itu) mengeluarkan larangan pengambilalihan perusahaan Belanda tanpa sepengetahuan militer dan menempatkan perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut dibawah pengawsan militer.

Dapat dikatakan hingga tahun 1958 perusahaan-perusahaan yang diambil alih tersebut berada sepenuhnya dibawah pengwasan militer. Merekalah yang pada akhirnya memiliki wewenang untuk memberikan hak pengelolaan kepada pihak lain. Praktek ini lagi-lagi menimbulkan bentuk KKN baru dan praktek Ali-Baba, karena pengusaha-pengusaha swasta yang mendapatkan hak pengelolaan tersebut adalah pengusaha-pengusaha yang telah lama dekat dengan pihak militer.

Demokrasi terpimpin yang kemudian dijalankan oleh Soekarno pun gagal untuk mengatasi disintegrasi administrasi kenegaraan. Perekonomian tetap tergantung pada birokrasi partai-partai politik dan militer. Aparat negara tak bekerja dengan baik dan korupsi semakin merajalela. Jaringan komunikasi dan transportasi tak berjalan dengan baik, dan upaya pemerintah untuk mendapat pemasukan dari pajak tak berhasil.

Akan tetapi unsur militer, terutama angkatan darat, mampu untuk bertahan dan menghidupi diri mereka sendiri melalui sumber-sumber perekonomian yang mereka kuasai. Namun banyak pula sumber perekonomian tersebut menjadi sarang praktek kolusi dan korupsi serta menguntungkan beberapa gelintir petinggi militer. Hal ini banyak melahirkan ketidakpuasan di kalangan militer, terutama kelompok perwira muda yang lebih berorientasi nasional.

Gerakan 30 September 1965 yang sering didengungkan oleh rezim Soeharto sebagai upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebenarnya lebih merupakan suatu gerakan pembersihan yang coba dilakukan oleh kelompok perwira muda terhadap beberapa petinggi militer, yang mereka cap lebih dekat dengan Barat dan banyak melakukan penyimpangan.

Rezim Orde Baru yang mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965 percaya bahwa persoalanpersoalan yang muncul di masa Orde Lama dapat diselesaikan dengan melakukan “pembangunan” terutama di sektor ekonomi. Oleh karenanya Soeharto mulai melirik dan mengundang kembali investasi asing, yang tidak menyukai Orde Lama.

Oleh karenanya pertumbuhan ekonomilah yang menjadi target utama rezim Orde Baru. Persoalan kebocoran atau korupsi menjadi persoalan nomor dua. Bagi rezim Orde Baru yang terpenting adalah kemajuan dan pertumbuhan ekonomi serta tetap melakukan kontrol terhadap kekuasaan politik, sehingga mereka dapat menjalankan program pembangunan tersebut.


***


Pemerintahan Orde Baru dimasa Soeharto diwarnai oleh tiga fenomena yang menarik:

Pertama, adalah kerjasama antara pimpinan militer dengan bisnisman keturunan Cina.

Kedua, adalah kompetisi antara pengusaha pribumi dengan pengusaha keturunan Cina.

Ketiga, adalah pengaruh perusahaan-perusahaan negara yang dikontrol oleh militer melawan tehnokrat yang mendukung liberalisasi dan intervensi Barat.

Dalam upaya mereka untuk menumbuhkan “kesejahteraan,” para penguasa militer banyak bekerjasama dengan pengusaha keturunan Cina (yang dikenal dengan sebutan Cukong), salah satunya adalah Liem Sioe Liong, pengusaha yang sudah memiliki hubungan dengan Soeharto sejak ia menjadi Panglima Divisi Diponegoro.

Beberapa jendral juga memiliki perusahaan pribadi yang pada umumnya menjadi “topeng” dari perusahaan yang didukung oleh pengusahapengusaha keturunan Cina.
Perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan birokrasi administrasi menjadi tergantung pada persetujuan yang didapat dari petinggi tentara. Militer memegang peran yang penting dalam urusan pemberian lisensi kontrak, keputusan tentang proyek, dan sebagainya.

Kekuatan absolut militer di masa awal Orde Baru berkuasa didukung oleh sumber perekonomian yang mereka peroleh dari naiknya harga minyak dan perusahaan-perusahaan milik negara, serta kerjasama mereka dengan pelaku bisnis keturunan Cina.

Meskipun pada tahun 1966 Indonesia telah membuka diri seluas mungkin bagi penanaman modal asing, namun hasil minyak yang melimpah pada awal 1970-an membuat Orde Baru memiliki modal yang cukup untuk membiayai pembangunan dan program-program politiknya.

Akan tetapi kekuasaan absolut ini meminta konsekuensi kontrol politik yang ketat dari negara, termasuk pelarangan aktivitas partai politik hingga tingkat pedesaan dan kontrol terhadap partai politik. Pada sisi lain Golkar memainkan peran yang efektif dengan mengalokasikan sumbersumber yang dimiliki oleh pemerintah kepada kelompok strategis perkotaan (seperti pegawai negeri dan kelas menengah profesional) dan para pemilik tanah di pedesaan.

Subsidi tersebut diperoleh dari pendapatan minyak bumi yang meningkat pada awal tahun 1970-an. Kebijakan ekonomi semacam itu sudah barang tentu didukung oleh pemerintah (yang memang berkepentingan), tehnokrat, dan organisasi keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, atau ADB, serta bantuan-bantuan asing birateral yang berasal dari Jepang, Eropa Barat, dan Amerika Serikat.

Dapat dikatakan Pertamina adalah mesin utama pendukung kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Namun Pertamina juga menjadi sarang korupsi, patronase, dan penyedotan sumber dana yang membuat Pertamina ambruk pada tahun 1975-1976. Dibawah pimpinan Ibnu Sutowo operasi Pertamina tertutup bagi publik dan laporan tahunan keuangan Pertamina tidak pernah iumumkan.

Kepentingan Soeharto dan tentara sangat besar terhadap Pertamina . Seperti apa yang dikatakan oleh Richard Robison bahwa Pertamina menjadi semacam saluran dimana pemerintah memperoleh pendapatan untuk membiayai ongkos-ongkos politiknya. Dipertengahan tahun 1970an setengah dari pendapatan negara berasal dari Pertamina. Pendapatan ini meningkat pada permulaan 1980-an menjadi 2/3.

Tatkala Pertamina bangkrut pada tahun 1975-1976, ditemukan utang tidak kurang dari USD 10 milliar. Dalam persidangan yang dilakukan terhadap asisten pribadi Ibnu Sutowo, ditemukan bahwa ia adalah bagian dari jaringan keuangan yang besar yang meliputi Ibnu Sutowo, Liem Sioe Liong, Ibu Tien, Soeharto, dan keluarganya. Keruntuhan Pertamina juga membuat Soeharto harus berkompromi terhadap tehnokrat yang mendukung Barat dan lembaga keuangan internasional yang selama ini mengkritik Pertamina sebagai pusat keuangan Orde Baru.

Pada bulan Januari 1970 beberapa organisasi mahasiswa Indonesia turun ke jalan-jalan untuk memprotes korupsi yang terjadi di dalam tubuh pemerintahan. Presiden Soeharto pada saat itu segera mengumumkan pembentukan Komisi IV, dimana mantan wakil presiden M. Hatta ditunjuk sebagai penasehat presiden untuk tersebut. Di dalam pidato tahunan di Hari Kemerdekaan presiden meninjau rekomendasi yang diberikan oleh Komisi dan dengan tegas menyatakan bahwa “tidak ada keragu-raguan lagi. Saya sendiri akan memimpin perjuangan melawan korupsi.”

Akan tetapi, meskipun mendapat jaminan untuk diberantas oleh Soeharto sendiri, toh praktek korupsi tetap berlangsung dan semakin parah. Pada saat itu mantan wakil presiden M. Hatta sempat berujar bahwa praktek korupsi sudah menjadi budaya masyarakat dan susah untuk dihilangkan.

Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme bukan hanya terjadi di kalangan pejabat militer dan aparat birokrasi Orde Baru, namun juga telah menjalar pada keluarga Soeharto sendiri. Dipertengahan tahun 1970-an dikenal istilah “Madame Ten Percent.” Istilah ini muncul karena setiap ijin investasi baru harus mendapat restu dari istri Soeharto, Ny. Tien Soeharto, yang biasanya meminta imbalan saham 10-15%. Ny. Tien Soeharto pula yang pada saat itu memiliki ide untuk membangun proyek mercu suar Taman Mini Indonesia Indah, dengan memakai dana negara dan menempatkannya sebagai asset keluarga Soeharto.

Meskipun dalam sistem politik yang diterapkan oleh Indonesia mengenal lembaga kontrol pemerintahan, seperti DPR, BPK, ataupun Kejaksaan Agung dan Badan Penertiban Aparatur Negara, akan tetapi lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Perangkat hukum yang dibuat untuk melakukan pemberantasan korupsi, UU No. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, tidak berfungsi seperti yang diharapkan.

Di tahun 1990 Jendral M. Yusuf sebagai Ketua BPK telah menyerahkan hasil pemeriksaan tahunan yang dilakukan BPK atas APBN 1988/1989 kepada ketua DPR. Dalam acara tersebut M. Yusuf mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya menemukan banyak penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pemakaian dana-dana pembangunan.

Diantaranya ditemukan penyertaan modal pemerintah dalam BUMN yang tidak jelas statusnya. Dilaporkan pula penemuan penanganan kredit macet yang tidak didasarkan atas ketentuanketentuan yang berlaku. Berbagai proyek pemerintah di daerah yang tidak efektif dan efisien juga ditemukan. Juga ditemukan instansi-instansi yang melakukan pengeluaran yang tidak pada tempatnya, misalnya melakukan pembelian barang untuk waktu lama. Sayangnya laporan BPK ini tidak disiarkan seluruh isinya dari tahun ke tahun untuk diketahui masyarakat.

Praktek korupsi ini terus tumbuh subur selama Orde Baru. Ditemukannya sumber penghasil devisa yang baru pada awal tahun 1980-an dari sektor kehutanan, menjadi ajag penjarahan baru bagi Soeharto dan kroni-kroninya. Setelah runtuhnya masa kejayaan “Oil Boom,” pada akhir tahun 1970-an, maka hutanlah yang menjadi primadona pensuplai kocek keuangan Orde Baru. Di awal tahun 1980-an kita mengenal istilah “Green Gold” atau emas hijau. Hasil hutan yang dieksport oleh Indonesia menjadi penghasil devisa nomor dua setelah minyak dan gas bumi.

Berdasarkan catatan yang dilakukan oleh peneliti asal Amerika Serikat, David W. Brown, hingga akhir tahun 1995, luas HPH yang ada di Indonesia berjumlah 62 juta hektar. David W. Brown yang melakukan penelitian tentang hutan tropis di Indonesia juga mencatat bahwa ada lima perusahaan besar pemegang konsesi HPH, yaitu Barito Pasific, Djajanti, Alas Kusuma, Kayu Lapis Indonesia (KLI), dan Bob Hasan group. Kelima pengelola HPH tersebut mengontrol area seluas 18 juta hektare. Luas tersebut berarti merupakan 30 persen dari luas seluruh HPH yang ada yang dikelola oleh sekitar 585 perusahaan pemegang konsesi hutan.

Berdasarkan laporan penelitian tersebut, ternyata diantara lima perusahaan HPH swasta terbesar, dua diantaranya menyerahkan sebagian saham dan pengelolaan pada keluarga Soeharto.

Kedua perusahaan tersebut adalah Kelompok Barito Pasific dan Kelompok Bob Hasan. Dengan praktek semacam itu diduga kedua kelompok besar ini telah menyumbang miliaran dollar ke dalam kocek keluarga Soeharto.

Salah satu contoh kedekatan Soeharto dengan pengusaha-pengusaha swasta tersebut dapat dicontohkan oleh kasus Prajogo Pangestu. Hubungan antara Barito Pasific dengan mantan presiden Soeharto dimulai pada tahun 1980-an, saat Barito membeli hak atas 35 konsesi kayu yang dimiliki oleh perusahaan lain. Hal ini dapat terjadi karena campur tangan Soeharto.

Barito Pasific bahkan mendapatkan kemudahan pinjaman dari tiga bank milik pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya, Bapindo, dan Bank Dagang Negara. Pada tahun 1991 Barito Pasific mendapat subsidi dari perusahaan hutan milik negara, Inhutani II, sebesar US$ 45 juta dan pinjaman dari Bank Bumi Daya sebesar US$ 550 juta.

Berdasarkan laporan joint committee antara Bank Indonesia dengan Menteri Keuangan pada tahun 1994, Barito Pasific adalah perusahaan swasta yang memiliki utang terbesar di bank-bank pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut jumlah utang Barito Pasific kepada bank pemerintah adalah Rp 3,8 trilliun. Rangking ini turun pada tahun 1999 ke posisi nomor tiga di belakang dua anak laki-laki Soeharto.

Namun David Brown percaya bahwa berdasarkan data yang ada di Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA), Barito Pasific adalah konglomerat keenam yang memiliki utang besar pada bank-bank milik negara. Selain mendapat kemudahan pinjaman dari bank-bank milik negara, konsesi-konsesi yang dimiliki oleh Barito memang telah memberikan peghasilan yang melimpah bagi Parjogo Pangestu. Dari penghasilan tersebut Prajogo mampu menghidupkan dan membesarkan bisnisnya, serta membiayai hubungan-hubungannya dengan Soeharto.

Pada tahun 1991 Barito telah mengeluarkan uang sebesar US$ 220 juta untuk mem-bail out Bank Duta. Bank Ini merupakan milik Nusamba, yang meupakan sebuah holding dengan 80 persen saham dimiliki oleh tiga yayasan terbesar mantan Presiden Soeharto.

Konglomerat yang lain Salim Group, yang juga merupakan pemegang konsesi hutan terbesar ke enambelas, ikut membantu Barito Pasific mem-bail out Bank Duta. Barito Pasific juga memberikan dukungan, melalui Barito Pasific Delta Mustika, saat Soeharto memerintahkannya untuk mem-bail out Astra, yang saat itu terkena ancaman bangkrut akibat kegagalan proyek bank pedesaan antara Bank Summa dengan Nahdlatul Ulama.

Keuntungan yang diperoleh Barito Pasific dari konsesi kayu juga dipergunakan untuk membangun kerjasama bisnis dengan dua orang anak Soeharto. Pabrik pulp milik Barito Pasific, PT. Tanjung Enim Lestari, yang bernilai sekitar US$ 1.1 milliar, telah memberikan sekitar 15% saham kepada anak perempuan Soeharto, yang juga mantan Menteri Sosial, Siti Hardijanti Rukmana., alias Mbak Tutut.

Mbak Tutut juga memiliki saham sekitar 35% pada PT. Musi Hutan Persada, yang mengelola perkebunan penghasil kayu untuk diolah sebagai pulp. Tutut serta Prajogo Pangestu juga memiliki perkebunan gula yang sangat luas di Sulawesi.

Keterlibatan Barito dalam bisnis dan politik pun terbukti dalam pemilihan umum 1999. Sebuah laporan yang dimuat di dalam majalah Far Eastern Economic Review menyebutkan bahwa dari sekitar Rp 350 milliar yang dihabiskan oleh Golkar pada Pemilu bulan Juni 1999, sebesar Rp 80 milliar merupakan kontribusi pemilik Barito, Prajogo Pangestu. Selain itu Prajogo juga diduga telah melakukan transfer ke rekening milik mantan Jaksa Agung Andi Ghalib.

Dari berbagai sumber Internet.


Aida C'est
December 28, 2010 at 1:16am · Like · Report
Aida C'est, Lubna Faris, Herlin Delly and 3 others like this.
Affetto Sena akan menarik lagi bila di sertakan sejarah Culturstelsel dan Domein Verklaring dalam Praktik Politik Agraria, yang melahirkan banyak korupsi era tersebut hingga menjadi Indonesia.
December 28, 2010 at 2:12am · Like · 1 person
'Oesman Junus pengalaman saya pribadi, memang jepang paling pinter dgn kelakuan koruptif semua ada biaya untuk entertaint, dan berjenjang yg hebatnya seperti sudah diatur dan baku, ini barangkali yg mau diterapkkan oleh Suharto, semua hrs lewat yayasannya, tapi menjadi liar oleh para reformis gadungan
December 28, 2010 at 6:21am · Like
Aida C'est <>dan hari ini sudah menggila korupsi, sehingga ada trend bila tidak memungut sesuatu dari rakyat ya tidak makan nanti, tetaplah rakyat dan warganegara sebagai alat dan objeck negara dan pemerintahannya. padahal bila tak ada rakyat dan warganegara bagaimana ada pemerintah dan negara? ini yang sebaiknya semua kita mencerdaskan diri sebagai warganegara dan rakyat.
December 28, 2010 at 3:58pm · Like
Basri Hasan Kesimpulan? Pancasila pakai lagi? UUD45 pakai lagi?
December 28, 2010 at 6:55pm · Like
Aida C'est <>Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini.

Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indones...See More
December 28, 2010 at 9:39pm · Like

No comments:

Post a Comment