Monday, March 28, 2011

NATION'S VISION: WORLD'S FOOD SUPPLIER, WORLD'S TOURIST DESTINATION and WORLD'S LUNGS

VISI BANGSA :
GUDANG PANGAN DUNIA, TUJUAN WISATA DUNIA dan PARU PARU DUNIA

NATION'S VISION:
WORLD'S FOOD SUPPLIER, WORLD'S TOURIST DESTINATION and WORLD'S LUNGS

by. Ir. Hendarmin Ranadireksa



I . Umum

Pada 2 Juli 1997 dunia dikejutkan oleh jatuhnya mata uang Bath-Thailand. Dunia menyaksikan, bagaikan reaksi berantai, satu-demi satu ‘macan-macan Asia’ terguncang oleh krisis dalam kadar dan intensitas berbeda. Singapura dan Hong Kong seakan hanya terguncang beberapa saat. Taiwan dan RRC bahkan hampir tidak tepengaruh krisis. Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan Indonesia terkena dampak cukup parah. Namun berbeda dengan 3 negara yang telah disebut terdahulu, yang telah mulai pulih, Indonesia seakan berjalan di tempat. Krisis mata uang (rupiah) berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut kemudian menjadi krisis politik, dan berujung pada jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32-tahun. Terbukti kemudian pondasi perekonomian yang sebelumnya diyakini sangat kuat, konon katanya jauh lebih kuat dari Thailand , ternyata jauh lebih rapuh.

Kepercayaan diri atas kuatnya cadangan devisa ternyata ‘menyesatkan’ karena besarnya cadangan devisa didasarkan pada capital inflow bukan dari net ekspor . Krisis kemudian meluas ke segala arah menjadi apa yang kemudian dikenal dengan istilah krisis multi dimensi. Hampir tidak ada sisa ruang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak diterjang badai krisis.

Ekonomi porak poranda dengan lumpuhnya ‘jantung perekonomian’ yakni sektor perbankan. Sektor riil yang merupakan barometer ekonomi juga mengalami hal yang sama. Ledakan pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja a.l. memunculkan pengangguran usia produktif yang sampai saat ini masih berkisar pada angka 38,5 juta jiwa . Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan bertambah dari sebelum krisis sebesar 25 juta jiwa menjadi 100 juta jiwa diantara periode 1997-1998 (periode terjadinya krisis) . Indonesia mendapat bantuan internasional (IMF) lewat program yang dikenal dengan istilah Social Safety Net atau Jaring Pengaman Sosial (yang pelaksanaannya banyak diselewengkan itu). Indonesia yang sempat menduduki posisi menengah-bawah sebagai negara dengan penghasilan sedang yakni dengan pendapatan perkapita sebesar US$ 1100.-/tahun sertamerta merosot menjadi negara dengan penghasilan rendah kembali dengan pendapatan perkapita tidak lebih dari US$ 400.- . Utang luar negeri pemerintah dan swasta yang telah mencapai angka US$ 136 M dan kredit macet BLBI sekitar Rp 600 trilyun diatas nilai jaminan yang konon hanya bernilai tidak lebih dari Rp 200 trilyun saja .
Mitos Indonesia yang kaya raya akan potensi sumber daya alam (SDA) harus mulai ditinggalkan. Kebiasaan menjual SDA apa adanya tanpa nilai tambah hanya karena ingin mempertahankan pertumbuhan’, telah menempatkan SDA pada posisi rawan. Hutan tropis Indonesia yang merupakan 1 dari 3 sumber oksigen dunia di gelang Khatulistiwa (yang lainnya adalah hutan Brazilia di Amerika Selatan dan hutan Kenya di Afrika) terus menyusut sekurang-kurangnya 1,6 juta HA/tahun yang kalau dibiarkan akan habis dalam jangka waktu 10 tahun . Dalam situasi krisis yang makin tidak menentu, penebangan dan penjarahan tidak makin berkurang tapi justru makin menghebat. Yang terkena tudingan adalah mereka yang paling lemah memiliki posisi tawar, petani perambah hutan. Sementara itu di Kalimantan Timur saja 1000 alat berat masih terus dengan rajin melakukan tugasnya, membabat hutan . Hal yang sudah tentu mengundang keprihatinan dunia seperti apa yang diperingatkan oleh CGI tahun 2000 di Tokyo, agar Indonesia lebih serius menangani masalah hutan atau himbauan yang ditujukan kepada para ‘pemilik hutan’ dalam konferensi PBB 13-24 Nopember 2000 di Den Hag, untuk tidak selalu mengkomersialkan hutan . Tanpa sadar Indonesia sedang melakukan ‘bunuh diri’ terhadap industri kayu-nya sendiri.

SDA yang tidak terbarukan seperti timah yang sebelumnya menempati posisi no 2 di dunia sesudah Malaysia sekarang praktis telah habis. Minyak bumi yang tinggal 4,8 milyar barel, yang apabila tidak ditemukan sumber baru potensial, akan habis pada tahun 2007 . Atau batubara, nikel, tembaga, dan gas alam yang berskala dunia telah terikat kontrak jangka panjang dengan pihak asing. Terus menguras SDA yang tidak terbarukan berarti menutup hak generasi mendatang memanfaatkan untuk sesuatu yang mungkin jauh lebih berguna daripada sekedar menjual apa adanya tanpa nilai tambah.

Pembangunan yang tidak berbasis pada ekosistem tanpa RUTR jelas memberikan andil pada kerusakan lingkungan cukup parah. Hampir punahnya terumbu karang, yang menyimpan kekayaan biodiversitas, a.l. akibat cara penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit, lenyapnya hutan bakau pencegah abrasi laut yang terlindas oleh pembangunan real estate atau tergantikan fungsinya oleh tambak udang yang ribuan hektar (yang akhirnya hancur juga). Pabrik-pabrik yang dengan alasan biaya mahal enggan menggunakan alat pemroses limbah memberikan kontribusi pada pencemaran sungai yang masih banyak digunakan oleh masyarakat yang tidak mampu. Atau industri yang masih rajin menggunakan air tanah hanya untuk pendingin mesin karena enggan membayar biaya PAM. Pencemaran lingkungan, seperti diperingatkan oleh pakar lingkungan Otto Soemarwoto, pada gilirannya juga akan merusak manusia sendiri .

Kebijakan Orde Baru yang sentralistis, represif, dan yang tidak berorientasi pada kepentingan makro berdampak pada munculnya ancaman disintegrasi sosial bernuansa SARA, sampai pada ancaman (semoga bukan proses) disintegrasi bangsa dengan mencuatnya ke permukaan keinginan beberapa wilayah untuk melepaskan diri dari ikatannya dengan Republik Indonesia.

Sementara negara-negara tetangga seperti Malaysia negara yang sangat percaya diri, telah keluar dari goncangan krisis dan tanpa bantuan IMF. Mereka terus memelihara produk unggulan industri karet, kelapa sawit dan industri elektronik.

Dewasa ini mulai berkonsentrasi pada industri mobil dan telah melakukan serangkaian kebijakan strategis menghadapi persaingan sains dan teknologi di era global dengan membuka ‘Silicon Valley’ di kawasan baru, Ciberjaya; Thailand, yang juga berhasil keluar dari badai krisis, dengan bantuan IMF, konsisten dalam pengembangan bio-teknologi untuk menunjang sektor pertaniannya, negara yang sudah lama dikenal sebagai salah satu gudang pangan dunia, negara ‘Gajah Putih’ yang rajin mempromosikan dirinya menjadi salah satu dari tujuan wisata dunia; menyusul kemudian Vietnam, negara dengan sistim komunis yang telah memenangkan perangnya atas Perancis dan AS, namun tidak mabuk kemenangan, juga berkonsentrasi pada sektor pertanian dan telah mulai mengekspor berasnya. Di Asia belahan Utara, Korea Selatan, yang hampir lumpuh setelah diterpa badai krisis, juga dengan bantuan IMF, mulai menggenjot kembali perekonomiannya.

Dunia juga mencermati proses penyatuan kembali antara Korea Selatan yang produk industrinya membanjiri pasar intenasional, dengan Korea Utara yang memiliki teknologi nuklir. Korea Utara yang dikenal sebagai negara pekerja keras namun dengan upah rata-rata hanya seperduapuluh upah rata-rata Korea Selatan. Dunia juga mencermati bagaimana India seakan bersaing dengan RRC, masing-masing memiliki teknologi nuklir, masing masing memiliki konsep besar untuk bisa bertarung dalam persaingan keras (dan kejam) di era globalisasi. India negara 1-milyar penduduk yang 350 juta diantaranya berada di posisi menengah, negara dengan jumlah penduduk yang memiliki buying power terbesar sesudah Amerika Serikat, telah lama dikenal sebagai pengekspor produk industri manufaktur untuk negara-negara berkembang, kini telah berhasil menempatkan negaranya sebagai salah satu pusat software dunia (Bangalore).

Sementara itu RRC, sang naga raksasa dengan 1,3 milyar penduduk yang sangat menyadari akan arti manusia sebagai potensi, menggeliat bangun dan mulai memacu pembangunannya. Cina yang berkonsentrasi pada pengembangan industri dengan ditunjang oleh a.l. kapasitas terpasang pabrik-pabrik bajanya yang sekarang mencapai angka 72 juta Ton/tahun yang salah satu produsen terbesar di dunia (Indonesia sekitar 4 juta Ton/tahun) . Nilai ekspor Cina yang pada pertengahan tahun tujuhpuluhan baru mencapai sekitar US$ 15 M (Indonesia sekitar US$ 22 M), yang 20 tahun kemudian telah naik drastis menjadi sekitar US$ 280 M temasuk didalamnya US$ 100 M nilai ekspor Hongkong (Indonesia tertinggi masih dibawah US$ 60 M). RRC juga berkonsentrasi untuk menempatkan dirinya sebagai tujuan wisata dunia di tahun 2020, yang sekarang telah menempati posisi no 6 dunia . India dan Cina yang oleh John Naisbitt diprediksi akan mendominasi abad 21

Negara-negara di dunia lebih khusus lagi di kawasan Asia-Pasific sedang bersiap menyongsong era Globalisasi lewat kesepakatan APEC yang akan mulai efektif tahun 2020. Terbatas dalam lingkungan regional, negara-negara Asean bersepakat untuk memulai lebih awal sebagai ‘ajang latihan’ memasuki era globalisasi tahun 2003, lewat kesepakatan AFTA. Namun menjadi pertanyaan besar sejauh mana kesiapan Indonesia? Bahkan kalangan pengamat memperkirakan (diberitakan luas di mass-media), Indonesia terancam masuk ke badai krisis kedua yang jauh lebih dahsyat dari apa yang pernah terjadi sebelumnya. Krisis Multi Dimensi tidak disikapi dengan kejelasan penyikapan. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) makin meluas di semua lini. Konflik horizontal dan konflik vertikal menjadi berita sehari hari. Hukum tetap dikeluhkan menjadi bagian dari alat kekuasaan. Indonesia tidak memiliki visi yang menjelaskan arah yang ingin dituju bangsa. Krisis Multi Dimensi tidak cukup hanya disikapi dengan pernyataan ambigu seperti ‘jangan terus mengungkit masa lalu’ atau ‘tinggalkan yang buruk ambil yang baik’. ‘Yang baik’ itu apa dan ‘yang buruk’ apa, semuanya memerlukan kejelasan sebelum mengambil keputusan strategis untuk melangkah.

II. 4 MASALAH BESAR YANG HARUS DISIKAPI BANGSA

Dari paparan di atas yang menggambarkan beberapa aspek penting dari krisis multidimensi yang menimpa Indonesia, akhirnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa keseluruhan krisis yang menimpa Indonesia secara sederhana terbagi atas 3 (tiga) + 1 (satu) masalah besar, yakni:

1). Utang (utang luar negeri pemerintah & swasta dan utang dalam negeri berupa kredit macet BLBI dan rekapitalisasi perbankan).

2). SDA (Sumber Daya Alam) Yang Tidak Terbarukan telah habis, menipis, atau terikat kontrak jangka panjang dan kerusakan lingkungan.

3). Ancaman (tidak boleh menjadi proses) Disintegrasi Bangsa. Yang satu lainnya adalah.

4). Ancaman Globalisasi. Mengapa Globalisasi masuk dalam kategori ancaman? Globalisasi yang oleh sebagian besar masyarakat dunia disikapi positif karena melahirkan banyak peluang baru, ternyata di negeri ini disikapi dengan kegamangan, akibat Orde Baru sama sekali tidak mempersiapkan bangsa untuk bagaimana harus menyikapinya, ditambah dengan miskinnya informasi dan penyuluhan tentangnya (globalisasi).

Keempat Masalah Besar (3 + 1) tersebut memerlukan penyikapan utuh, tidak terpilah-pilah, dan harus segera, karena menyikapi hanya satu masalah bisa berakibat akan makin memperparah masalah yang lain  :

1. Utang (Utang Luar Negeri dan Utang Dalam Negeri).
Mengapa harus secara eksplisit menggunakan istilah utang dan bukan ekonomi? Istilah utang terkait langsung dengan kewajiban, angkanya jelas, artinya terukur. Utang, ditinjau dari segi apapun, baik dari pertimbangan etika moral maupun etika agama, harus dibayar. Karenanya ada sejumlah pertanyaan mendasar yang memerlukan jawaban/kejelasan, yakni, berapa besar utang, berapa besar cicilan, berapa lama membayar, bagaimana, dengan apa, dan siapa yang membayar. Konsekuensinya, pemerintah harus secara transparan menjelaskan program penyelesaian utang tersebut pada publik. Hal ini penting karena masalah utang ini kerap terabaikan dalam wacana publik. Publik perlu mengetahui, dana utang dari negara kreditor (sebutan lebih tepat daripada negara donor), kebanyakan bersumber pada agregasi dana obligasi masyarakat di negara bersangkutan. Maka gagasan atau kehendak untuk meminta penghapusan utang, sedikit banyak akan menyentuh kepentingan pemilik obligasi yang notabene adalah rakyat juga. Sementara di sisi lain, kondisi default bagi negara pengutang sangat berbahaya karena akan melahirkan rentetan kesukaran baru a.l. boikot ekonomi komunitas internasional yang muaranya adalah hengkangnya investor dari Indonesia, yang berakibat bertambahnya angka pengangguran.

2. SDA Srategis (berskala dunia) telah habis, menipis, atau terikat kontrak jangka panjang dan Kerusakan Lingkungan.
Sudah tiba saatnya kita tinggalkan slogan yang membius dan memabukkan, bahwa ”Indonesia kaya raya akan sumber daya alam” atau bahwa sumber daya alam Indonesia tidak terbatas. Fakta sesungguhnya SDA strategis yang tidak terbarukan, berskala dunia, telah habis, menipis, atau telah terikat kontrak jangka panjang. Habis dan/atau rusaknya hutan dan kerusakan lingkungan hidup, sudah banyak diulas media massa. Habis atau menipisnya SDA atau rusaknya hutan bukan hanya terjadi di Indonesia.

 Ia telah menjadi masalah global sebagaimana ditulis oleh Hamish McRae ”Beberapa sumber daya alam, seperti hutan tropis dan perikanan laut dalam, berada dalam bahaya serius karena dieksploitasi melampaui batas”. Ia juga memperingatkan bahaya negara yang selalu menggantungkan diri pada SDA mentah, bahwa ”kemerosotan harga bahan mentahlah yang mengurangi keunggulan ekonomi (dan kekayaan relatif) negara-negara yang secara trradisionil kaya sumber daya seperti Argentina dan Australia atas negara-negara miskin sumber daya seperti Jepang dan Swiss” .

Uraian di atas tidak dimaksudkan sebagai justifikasi atau pembenaran atas kebijakan masa lalu. Uraian tersebut hanya ingin mempertegas perlunya penghematan penggunaan SDA, khusus nya yang tidak terbarukan, karena SDA kini tidak lagi menjadi faktor keunggulan negara. ”Today the basis of the world is shifting from natural recources to advanced technology” seperti ditulis Kenichi Ohmae . Dengan kata lain, SDA yang tidak terbarukan harus dalam kontrol dan pengawasan ketat negara. Utang luar negeri dan dalam negeri pada prinsipnya bisa, dan harus bisa dibayar melalui pemanfaatan asset yang tidak akan pernah habis yang dimiliki bangsa, asset abadi bangsa. Untuk itu diperlukan paradigma baru.

3. Ancaman Disintegrasi Bangsa
Ancaman disintegrasi bangsa adalah buah dari kebijakan sentralistis dan represif, serta kebijakan pembangunan yang tidak berorientasi pada kepentingan makro. Karena itu, penyelesaiannya bukan pada akibat namun harus pada penyebab. Kebijakan ekonomi yang selalu berorientasi pada kepentingan mikro dan kebijakan yang masih berpegang pada pola sentralistik adalah penyebab. Kendati telah digulirkan kebijakan otonomi daerah (otda) pasca runtuhnya Orde Baru, namun format yang menempatkan sekaligus otonomi di provinsi dan di tingkat kabupaten/kota, telah mengakibatkan kemandulan fungsi pengawasan gubernur atas kabupaten/bupati.

Ditambah dengan masih tetap dikuasainya sektor keuangan oleh pemerintah pusat, maka otonomi daerah yang berlaku hingga kini masih belum mengubah sifat pemerintahan yang sentralistik.
Ancaman disintegrasi bangsa adalah masalah aspirasi yang lebih bernuansa sosiologis/politis, bukan masalah keamanan dan/atau pertahanan. Menyelesaikan ’ancaman disintegrasi’ tidak bisa dengan pendekatan keamanan dan atau dengan cara-cara represif. Penyelesaiannya harus bijak. Digunakannya pendekatan keamanan hanya mengundang bahaya lebih besar, yakni akan bertambahnya korban sesama bangsa. Sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga.

4. Ancaman dan peluang Globalisasi.
Globalisasi adalah keniscayaan, sebagai dampak dari revolusi informasi, buah dari kemajuan sains dan teknologi. Globalisasi telah menjadikan batas negara menjadi ’maya’. Uang, barang, manusia, dan bahkan budaya bergerak ‘bebas’ melintasi batas-batas wilayah negara. Kapital di tangan kapitalis yang sebelumnya masih dikecam penganut paham kiri, kini bagaikan gadis manis, menjadi rebutan. Negara-negara (berkembang) berlomba merayu agar sang kapital mau hinggap dan menetap di wilayahnya, tidak terkecuali China dan Vietnam, walau kedua negara tersebut tetap menggunakan label komunis.

Ukuran ’keberhasilan’ dalam era globalisasi ditentukan oleh sejauh mana negara dipercaya pemilik kapital untuk menanamkan modalnya. Para pemilik modal akan melihat daya tarik suatu negara bukan dari faktor keamanan dan kepastian hukum semata. Mereka akan melihat, sejauh mana suatu wilayah memiliki daya beli, tempat mereka akan menjual produknya, dan seberapa jauh produktivitas, intelegensia, dan etos kerja suatu bangsa. Target investor adalah tercapai dan terjaminnya produk berkualitas tinggi namun tetap murah agar bisa bersaing di pasar internasional. Keunggulan kompetitif jauh lebih diminati dari sekedar keunggulan komparatif seperti a.l. upah buruh murah.

No comments:

Post a Comment