Wednesday, March 30, 2011

SELAMAT TAHUN BARU 2011

SOLIDARITAS BARU
Oleh : Bayu Dwihanto Kuncahyono

Hari gini bicara solidaritas ? Atas dasar fakta-fakta apa, hingga solidaritas perlu diangkat ke permukaan ruang publik ? Solidaritas dalam pengertian seperti apa ? Pakai bahasa apa ? dengan cara seperti apa solideritas disampaikan? Dimana solideritas bisa kita sajikan sebagai sebuah bentuk layanan masyarakat yang "serta merta" , ketika ada yang memerlukannya ?.

Waduh, belum mulai menyampaikan pikiran, sudah diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan tajam kritis dan mengesankan bahwa solidaritas tak perlu lagi ada dalam tata masyarakat yang sudah sedemikian hedonism ini, Tapi, apa dasarnya untuk ditiadakan ? Bagaimana jika kesan "tidak perlu lagi ada" itu, kita jadikan motif untuk mengadakannya. Solidaritas, sudah menjadi begitu mewah bagi sebuah harapan, karena begitu sulit untuk mengadakannya.

Ranah gagasan solideritas

Tenang, mari kita merambah ke ranah gagasan/ide. Atas dasar fakta-fakta paling aktual. Kit mengharap, agar dapat menjawab berondongan pertanyaan di atas. Bukan untuk sekedar menjawab, tapi memang pertanyaan itu memerlukan jawaban yang menghidupkan kehidupan yang kongkrit. Hali ini juga bukan seperti menjawab pertanyaan ujian sekolah. Tapi kita mencari jawaban yang menghidupkan hidup sekolah kehidupan ini. Rumit juga rupanya, untuk memaknai "solidaritas" ! . Yach, memang kita perlu sedikit tenang dan hening.

Dengan ketenangan, kita bisa melihat fakta dengan jernih. Dengan tenang, kita bisa melihat apakah 'solidaritas" memang diperlukan secara "on line" dalam ruang publik. Kemudian makna "solidaritas" yang seperti apa dan tijauan dari segala aspek tentang "solideritas" dapat terpikirkan lebih dahulu, sebelum dilakukan, serta diwujudkan maknanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Solidaritas, biasanya muncul karena perasaan yang sama dan senasib. Makna ini sering kali berkonotasi nasib yang tidak menyenangkan: termarginalisasi, terekploitasi, terciderai hak-hak dasarnya, dan lain sebagainya. Sehingga rasa ketidakadilan mengkristal dalam masyarakat dengan sedemikian rupa, menjadi keluhan yang tersumbat.

Solideritas, biasanya juga muncul karena ada inisiasi yang mencerahkan, kemudian memunculkan harapan penuntasan ketidakadilan yang membeku itu dapat dicairkan. Nah, kita menemukan empat kata kunci: keluhan, inisiasi dan pencerahan serta harapan penuntasan keluhan. Padahal untuk empat hal ini pada pengalaman sejarah umat manusia, diiringi kehadiran pemimpin yang padat isi kepemimpinannya. Maka untuk sementara lengkaplah analisa kita bahwa solidaritas memiliki lima elemen yang memunculkannya : keluhan publik, inisiasi, pencerahan dan pemimpin serta harapan penuntasan keluhan.

Sejarah juga telah menunjukan bahwa kepemimpinan itu bisa perorangan atau dalam bentuk kolektif . Untuk yang terakhir ini, kita sebagai bangsa masih terseok seok untuk menerapkannya dalam banyak tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekalipun kita sebagai bangsa yang sudah memiliki dasar nilai tentang kepemimpinan kolektif ini.

Singkatnya , masih banyak warga negara bangsa kita yang berpandangan bahwa kepemimpinan itu adalah bertumpu pada satu orang saja. Yang artinya untuk memahami sila keempat dari Pancasila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan " ini belum "tuntas".

Bukankah pada sila tersebut yang memberi dan menegaskan bahwa wujud kepemimpinan di negeri ini adalah kolektif yang berkerakyatan, yang berhikmat kebijaksanaan, yang bermusyawarah dalam perwakilan, yang selanjutnya tentu harus berkeTuhanan YME, yang berperi kemanusiaan, yang berpandangan Persatuan Indonesia, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Bisa saja kekurang pahaman akan "kolektifitas" inilah yang sering menjadi salah satu faktor yang memunculkan angan – angan tradisional. Angan-angan yang tidak sepenuhnya bermanfaat baik tapi juga tidak sepenuhnya bermanfaat buruk . Tidak sepenuhnya baik, sebab jika angan ini yang muncul dalam masyarakat, berarti kita dihadapkan fakta bahwa masyarakat bangsa kita "masih kurang percaya diri" karena sesungguhnya yang menjadi angan-angan mereka itu adalah "kemauan dan kesanggupan" diri mereka sendiri.

Sebaliknya, bermakna tidak begitu bermanfaat buruk, maksudnya adalah bahwa "angan" untuk sebuah kepemimpinan itu masih ada. Namun mereka hanya berhenti sampai di angan saja, dan bukan mereka segera bertindak mendeteksi keberadaan keluhan publik, melakukan inisiasi dan melahirkan pencerahan serta bekerja bersama untuk harapan penuntasan keluhan.

Maka ,selayaknya dimaklumi dan pahami jika kita melihat fakta , misalnya :muncul angan-angan akan datangnya Ratu Adil, Satrio Piningit dan lain sebagainya. Yang pasti dari angan yang tak sepenuhnya baik dan buruk itu, menunjukan sebuah gambaran harapan bahwa kepemimpinan yang dipahami adalah bahwa kepemimpinan itu mesti "satu orang".

Makna lain dari fenomena ini, adalah ketidakpercayaan pada diri sendiri, pada sesamanya, dan pada kesepakatan - kesepakatan kolektif menjadi menipis dan akumulasi dari semua itu, muncul dipermukaan ruang publik. Fenomena Ini adalah persoalan yang memang fakta tanpa harus kita keluhkan, namun jelas memerlukan pendekatan kultural yang arif untuk menyampaikan kepada mereka tentang konsep kemasyarakatan. yang mungkin jika kita sederhanakan penyampaiannya adalah dengan mengatakan kepada mereka "andalah sesungguhnya Ratu Adil atau satrio Piningit itu, jika anda mau melakukannya secara bersama-sama dengan dasar-dasar, kerakyatan, permusyawaratan, kebijakan dan mulai belajar untuk percaya mewakilkan "

Selayaknya, kita juga jangan berkecil hati, jika "solidaritas" yang muncul, hanyalah "solidaritas" yang tampak sebagai normatif formalistik. Solidaritas normatif formalistik yang tidak memaknakan solidaritas menjadi hidup, menghidupi dan menghidupkan.

Apalagi mewujud menjadi sebuah sistem yang OnLine dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebaiknya juga tidak mengeluh. Karena, menurut pandangan saya, bahwa keluhan atas realitas yang terjadi dalam masyarakat, hanya akan membesarkan peluang rasa ketidakadilan itu mengkristal, karena mengangatkan kehadiran seorang sosok pemimpin imajiner. Dan lebih parah lagi jika beranggapan bahwa Kebekuan atas rasa keadilan hanya bisa cair karena hadirnya satu sosok itu saja.

Kenyataan ini sungguh luas dalam masyarakat kita. Hal ini pula, dapat kita peroleh dengan menganalisa beberapa benturan kepentingan yang tampak jelas mampat saluran komunikasi untuk mencapai pemecahan masalah dengan semangat "solidaritas" yang ideal. Misalnya dapat terlihat dalam banyak kasus : penggusuran, pemulangan TKI secara massal dan lain sebagainya.

Pada kasus-kasus diatas kita tidak menyaksikan kehadiran "kepempimpinan" dalam wujud perorangan maupun kolektifitas. Sehingga yang tampak dipermukaan adalah sekelompok warga negara yang tercerai berai dalam wujud formal penindasan.

Untuk kondisi seperti itu, tidak mudah menyodorkan "solidaritas" karena kesan perasaan tertindas secara individual yang tercerai berai dalam kolektifitas kelompok itu begitu kental, dan meninggalkan pengalaman traumatik yang tak mudah pula untuk disodori sebuah keyakinan akan sesuatu yang lebih baik. karena selalu ketergantungan dengan keberadaan figur seseorang tokoh imajiner mereka.

Tapi anehnya sering kali makna "solidaritas" muncul dan menunjukan kemudahan yang luar biasa, bahkan sudah menjadi semacam kalender event tahunan dalam masyarakat kita untuk menunjukan wujud "solidaritas". Misalnya : Grebek Desa, Bersih Desa pada masyarakat agraris di Jawa dan pelaksanaan sesembahan berkah laut pada masyarakat pesisir dalam masyarakat Jawa.

Contoh berikutnya, pelaksanaan acara adat dalam masyarakat Batak yang bersandar pada prinsip dalihanatulo, dimana ketika siapa yang menjadi bagian Uhut, Boru dan Hula-Hula bergabung dalam fungsi kerja mereka masing-masing. Contoh yang lain lagi misalnya : pelaksanaan kerja kelompok Banjar di dalam masyarakat Bali sangat disiplin dalam menjalankan tugas-tugas adat untuk mengurus subak, pelaksanaan ngaben dan lain sebagainya.

Contoh-contoh kegotongroyongan lain yang dapat diidentifikasikan sebagai sebuah keberadaan nilai "solidaritas" masih banyak tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan pada masyarakat di pulau-pulau Nusa Tenggara Barat maupun Timur.

Persoalannya, adalah mengapa hingga sejauh perjalanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara nilai "solidaritas" tetap saja menjadi sebuah angan warga bangsa ini, serta belum terimplementasi menjadi sebuah sistem yang On Line . Sehingga saluran-saluran kemacetan sebagai sebuah kesan maupun sebagai fakta ketidakadilan dapat terpecahkan dengan bijaksana, oleh warga bangsa Indonesia dengan tangan mereka sendiri yang terkonsep dalam kepemimpinan yang tersistem dan tumbuh dinamis.

Keadilan dan Solidaritas adalah dua kata dengan makna yang berkorelasi erat. "Keadilan" sebagai sebuah pencapaian luhur dan "solidaritas" merupakan wujud cara pilihan yang luhur untuk mencapainya.

Sehingga untuk mencapai sebuah keadilan bukan dengan cara, provokasi yang berkonotasi negatif, agitasi , distruktif yang banyak dan sering menimbulkan korban. Bahkan, seringkali keberhasilan pencapaian "keadilan" itu justru menjadi semu bagi sebagian golongan masyarakat dan sebaliknya menjadi seolah nyata bagi sebagian yang lain, karena cara-cara pencapaiannya yang tidak berlaku universal dan memuat nilai-nilai kemuliaan yang universal.

Dari ranah gagasan/ide ini, maka kita temukan bahwa solidaritas adalah nilai universal, solidaritas adalah sebuah keadaan yang memiliki mekanisme terwujudnya, solidaritas adalah wujud perjuangan atau upaya yang luhur untuk mencapai "keadilan", solidaritas adalah tata nilai potensial yang ada dalam kultur kita sebagai bangsa, solideritas faktanya masih merupakan ekspresi yang normatif formalitas. Solideritas masih menjadi sesuatu yang mahal untuk terwujud sebagai sebuah sistem pelayanan yang "on line".

Ini semua adalah fakta peradaban kita saat ini tanpa perlu menyajikan contoh-contoh kasus secara parsial dan memprihatinkan. Kita semua bisa mendeteksinya melalui banyak media yang rajin menyajikan berita-beritanya.

Selayang pandang solideritas.

Sebelum kita berselayang pandang tentang solideritas, selayaknya kita sepakat bahwa nilai-nilai universal itu, ada dalam potensi kultur bangsa kita, serta telah diletakan dalam dasar tatanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita.

Maksudnya, sekalipun di bawah nanti kita temukan contoh-contoh dari negeri asing maka tidak akan mengurangi keyakinan kita, bahwa kita pun sesungguhnya bisa melakukannya, dengan cara-cara kita, yang merupakan pengembangan wujud yang telah solideritas normatif formal yang cenderung statis.

Solideritas sering menjadi cara luhur untuk mencapai atau memecahkan ketidakadilan yang tersumbat atau mengkristas dalam kebekuan. Dalam abad yang lalu sebut saja : di India ada Mahatma Gandi, dengan gerakannya yang mampu menciptakan sub kasta "harijan" yang sebelumnya belum pernah ada dalam struktur kasta agama Hindu. Kemudian, menjadi spirit mayoritas rakyat India saat itu, serta dengan banyak inovasi kreatif dalam memperjuangkan tercapainya keadilan sekaligus mencapai kemerdekaan bangsanya.

Cara kreatif yang masih relevan, antara lain: gerakan swadesi India, yang menolak semua produk penjajah dan dengan disiplin berkehendak hanya menggunakan pruduk bangsanya sendiri.

Kemudian, ada semacam solideritas para mahasiswa Nederland Indiesch yang sedang menempuh pendidikan di Eropa, dan berjalan paralel dengan maraknya nasionalisme di Nederland Indiesch . Gerakan itu terus menggelinding bagai bola salju ketidakadilan, penindasan dan kolonisasi, hingga tuntutan dari gerakan yang dapat diidentikan dengan solidaritas itu menuntut kemerdekaan sebagai reaksi eksistensi hidup atau mati. Ini adalah pengalaman Indonesia.

Solideritas anti apartheit di Afika Selatan dengan tokoh Nelson Mandela. Sebagian besar waktu hidupnya ada di balik terali besi penjara. Kemudian gerakan anti perbedaan warna kulit dan perlakuan diskriminatif ini, meluas dan gaungnya hingga seluruh ruang publik dunia.

Ada yang menarik dari gerakan solidaritas ini. Dan saya memandang ada semacam kecerdasan pilihan cara, dari sebuah bangsa bernama Afrika Selatan, agar tidak terjebak pada situasi perang sipil, yang pernah terjadi sebelum Afrika Selatan berdiri, sebagai sebuah negara yang berdaulat.

Gerakan antiapartheit ini meloloskan mereka untuk tidak mengulangi Perang Boor pada masa lalu mereka. Walaupun fakta juga menunjukan terjadi friksi yang melibatkan kekerasan, namun dari sisi pencapaian gerakan itu masih dapat dipandang sebagai sebuah kecerdasan langkah dari sebuah gerakan solidaritas, yang mampu meminimalis korban . Sementara pencapaian tujuan solidaritas tersebut sangat nyata.

"Solidarinosc" dua puluh tahun yang lalu, yang dimotori Lech Walesa dari galangan kapal Gdank, Polandia . Gerakan itu mampu meruntuhkan sistem komunisme yang mencengkeram Polandia sejak berakhirnya perang dunia kedua.

Yang paling elegan dari gerakan ini dan patut dicatat adalah proses perubahan yang dilakukan dengan damai dan tanpa perang. Sekalipun Pemerintahan yang sah saat itu cukup dibuat repot dengan gerakan pemogokan – pemogokan buruh di negeri itu. Dan Sejarah mencatat "solidarinosc" mampu memenangkan kepentingan bangsanya sendiri, dibanding harus mempertahankan sistem komunisme Sovyet yang mencengkeram sejak usai perang dunia kedua.

Dari sudut pandang yang lain "solidarinosc" mampu menggeser makna "kuasa" dalam arti sempit selalu menggunakan senjata, menindas, dan memaksa dan represive lainnya menuju arah "kuasa" dalam konteks pengertian menjalankan dan mengelola efektifitas sistem "pelayanan" dalam menyuguhkan keadilan bagi bangsanya. Solidarinoch di Polandia sungguh ,Luar biasa !

Masih ada beberapa upaya perjuangan yang menggema di ruang publik dunia, yang didasari "solidaritas" . Mereka sedang bergulat dengan pencapaian perjuangan mereka di beberapa negeri di muka bumi ini, di Myanmar dengan Aung San Sukye , di Tibet dengan karakter perjuangan Dalai Lama dan lain sebagainya. Semua itu boleh kita sebut dengan solidaritas bermotif politik intern sebuah negara dari sebuah bangsa. Begitu pun, juga mendapat ruang keprihatian pada ruang publik internasional..

Lalu, ada solidaritas yang menlitas batas-batas dari wilayah negara karena para "solideritaritator"nya memang tidak terikat enis kebangsaan. Namun lebih terikat pada suatu "tata nilai" . Menurut pandangan mereka "tata nilai" yang mereka perihatinkan itu perlu mendapat pengakuan. Kemudian, keberadaan mereka terpencar dalam teritotial dari berbagai negeri yang berbeda-beda. Ciri lain mereka adalah pengorganisasian cukup modern dan sangat memahami fungsi kepemimpinan kolektif dengan memiliki sistem organisasi yang cukup mapan. Misalnya Green Peace, WWF dan lain-lain.

Ada lagi, solidaritas yang terikat dengan dasar dan akar " tata nilai apa saja ( tapi bukan tergolong agama ) " dari sebuah sebuah etnis kebangsaan. Para "solidaritator"-nya memiliki kesamaan etnic kebangsaan yang sama, namun berada dan tersebar di banyak wilayah teritorial dari berbagai negara yang berbeda. Misalnya : Kelompok gerakan Fa Lun Gong, Kelompok solidaritas Yahudi, Komunitas Punk, Kelompok Mafia Italia dan lain sebagainya.

Kini semakin jelas, solidaritas bukan lagi sekedar atas dasar motif persamaan nasib buruk saja. Tapi, solideritas juga merupakan satu tata cara berineraksi sosial antar sesama para "solidaritator"-nya dan cara berinteraksi sosial dengan kelompok masyarakat diluar "solidaritator" untuk kemudian bergerak dalam berupaya mencapai tujuan-tujuannya. Begitulah selayang pandang singkat kita tentang solidaritas.

Solidaritas Baru Indonesia.

Yang paling aktual adalah reformasi dengan semangat anti KKN. Korupsi,Kolusi dan Nepotisme. Apakah ia sebagai perwujudan solidaritas baru Indonesia, setelah gema kemerdekaan tahun 1945 an dan semangat orde baru pada akhir pemerintahan orde lama . Ataukah itu semua hanyalah yel-yel yang menjadi slogan penyemangat pada umumnya jika terjadi sebuah atraksi di ruang publik, lalu segera menghilang ketika atraksi di ruang publik tersebut berakhir.

Maka analisa kita tertuju pada keberadaan tata nilai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, lalu menditeksinya dengan elemen-elemen yang memunculkan sebuah identifikasi "solidaritas" : keluhan publik, inisiasi, pencerahan dan pemimpin serta harapan penuntasan keluhan. Baik , mari kita lakukan penganalisaan itu.

Korupsi selama pemerintahan Orde Baru demikian menggurita dan tersistem yang begitu komplek hingga dapat diidentikan dengan penyakit kanker yang kronis dalam tubuh sistem kemasyarakatan ,berbangsa dan bernegara kita. Tapi apakah ketika itu muncul menjadi "keluhan publik". Jawabnya kita mungkin sepakat "Ya".

Tapi adakah sebuah langkah "inisiasi" atas tata nilai yang telah menjadi penyakit kanker itu ?, Mungkin yang satu ini kita akan lebih sepakat jika mengatakan " ya dan tidak ". Kenapa , Bukankan tak berselang lama setelah gema reformasi. Muncul lembaga KPK dan banyak Pejabat Pelayanan Publik yang di jebloskan ke dalam penjara. Untuk fakta terakhir ini, kita pun sepakat untuk mengatakan "betul". Tapi, pertanyaannya apakah munculnya lembaga, peraturan perundangan dan tindakan nyata atas pelanggaran korupsi yang dilakukan adalah sebuah langkah lengkap untuk upaya inisiasi pada tata nilai korupsi yang memuakan perasaan publik ?. Pada pertanyaan ini mungkin kita sepakat untuk jawab " sedang dalam proses inisiasi"

Kemudian apakah muncul sebuah "pencerahan" pada diri reformis saat itu yang juga mengurat mengakar dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita atas penyakit yang selama ini mereka nyatakan sebagai "keluhan yang sangat membuat tidak nyaman dan merasa kesakitan" . Jawaban bagi penggambaran setelah masa yang disebut reformasi ini dan khusus untuk "pencerahan". Maka jika boleh menebak jawabnya adalah "tidak".

Mengapa tidak ada kehadiran "pencerahan" setelah "inisiasi" yang beregulasi dengan meragukan ? Jawabnya adalah dengan fakta bahwa baik dimasa reformasi maupun sebelum reformasi masyarakat dengan segala perangkat dan instrumennya masih sering terditeksi melakukan tindak korupsi dan tidak menyadari bahwa itu adalah korupsi. Artinya apa, dengan penditeksian atas keberadaan " pencerahan " setelah reformasi maka kita berani menyimpulkan memang "korupsi" bukan atau belum dirasakan sebagai sebuah penyakit bahkan masih dirasakan sebagai kenikmatan perilaku bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang setiap rezim merasa perlu untuk memodifikasi teknik-tekniknya agar terkesan bukan sebagai sebuah pelanggaran tata nilai.

Karena korupsi apakah juga memunculkan sistem kepemimpinan yang kemudian menjadi aranger dari penuntasan : keluhan publik, proses inisiasi, pencerahan dan langkah – langkah penuntasan keluhan publik menuju tercapainya harapan bersama sebuah "solidaritas" reformis. Jawabnya yang mendekati tepat adalah " tetap saja bahwa korupsi masih merupakan keluhan publik sekaligus keluhan figur perseorangan maupun kolektifitas kepemimpinan " aneh bukan ?

Berikutnya pendektesian dengan munculnya upaya penuntasan masalah keluhan publik sehingga menciptakan sebuah harapan bagi "solidaritas" reformis. Jawaban dari hasil penditeksian ini, maka mungkin kita menjawab "penuntasan keluhan publik (korupsi) hingga memunculkan harapan bagi tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada keadaan yang lebih baik, tetap saja tidak ada ketegasan visi yang menggambarkan tata kehidupan seperti apa yang menjadi sebuah harapan ? "

Selanjutnya untuk mendeteksi dua yel reformasi : Kolusi dan Nepotisme dengan elemen-elemen yang memunculkan sebuah identifikasi "solidaritas" reformis. Sepertinya anda-anda sekalian dapat melakukan sendiri proses penganalisaannya. Bahkan , mungkin anda-anda dapat melakukannya dengan lebih cermat.

Namun saya yakin, bahwa reformasi yang telah bergulir menjadi semacam statue quo bagi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang saat ini berlaku tampaknya kita akan sepakat bahwa tidak atau samasekali tidak menghadirkan satu tata nilai "solidaritas baru" .

Yang tetap ada adalah "solidaritas" yang telah tersedia dari tata nilai tradisional yang terus terdesak oleh padatnya agenda kepentingan yang semakin menggerus esensi nilai "solidaritas" tradisional yang menjadi warisan kekayaan budaya kita sebagai masyarakat, berbangsa, dan bernagara.

Namun demikian tetap patut menjadi renungan, adakah sesungguhnya "solidaritas baru Indonesia", jika ternyata hasil indentifikasi dengan proses analisa kita terhadap jalannya reformasi menunjukan kenyataan bahwa reformasi yang sedang bergulir ini hanyalah "slogan-slogan" dari histeria massa yang muncul hanya karena atraksi di ruang publik bernama Indonesia. Maka tampaknya tanpa perlu bersikap berlebihan dalam bereaksi, bahwa kita sebagai bagian masyarakat, berbangsa, bernegara Indonesia masih pantas menciptakan satu wujud kongkrit dari "solidaritas baru Indonesia".

Hingga suatu ketika dengan penuh kesadaran kita akan : mendeteksi keluhan publik, aktif melakukan inisiasi, menebarkan pencerahan, giat sepenuh hati dalam kebersamaan menuntaskan persoalan keluhan publik, hingga dari pengalaman-pengalaman itu menemukan harapan, sekaligus semakin mapan pemahaman kita akan rasionalitas keberadaan pimpinan dalam formasi perorangan maupun kolektif yang sesuai dengan landasan negara kita. Maka, saat itu kita tidak sedang meneriakan yel-yel. Tapi, sungguh sedang melakukan dan menyambut "solidaritas baru Indonesia".

maka aku tawarkan !

1. a revolution human capital
2. How to digging the potential hidden
3. The Cultural transforms machine
4. The New state building structure for change Trias Politic paradigms
5. New Human development Index-How to measuring New Human Development Index and ...
6. The Greatest point is The Balance and harmony for Human on the world.
7. Menuju Indonesia Mulia dan Memuliakan

salam
BAYU DWIHANTO KUNCAHYONO
cah angon dolan


Bayu Dwihanto Kuncahyono
December 31, 2010 at 3:34pm · Unlike · Report
You, Ayu Schaefer, Asrianty Purwantini, Effendi Saman and 2 others like this.
Hendarmin Ranadireksa Kutip, "...mendeteksi keluhan publik, aktif melakukan inisiasi, menebarkan pencerahan, giat sepenuh hati dalam kebersamaan menuntaskan persoalan keluhan publik, hingga dari pengalaman-pengalaman itu menemukan harapan, sekaligus semakin mapan pemahaman kita akan rasionalitas keberadaan pimpinan dalam formasi perorangan maupun kolektif yang sesuai dengan landasan negara kita. Maka, saat itu kita tidak sedang meneriakan yel-yel. Tapi, sungguh sedang melakukan dan menyambut "solidaritas baru Indonesia..." SEPAKAT! Salam.-
December 31, 2010 at 3:54pm · Like · 3 people
Bayu Dwihanto Kuncahyono ‎@ Pak Hendarmin Ranadireksa : ..ada kunci dan ketemu kuncinya,nggih ? ...hehehehe...SELAMAT TAHUN BARU 2011. Tuhan memberkati ketulusan seluruh komponen bangsa Indonesia . amin.
December 31, 2010 at 4:38pm · Like · 1 person
Bayu Dwihanto Kuncahyono ‎@ Pak Suriswanto Fath : ... seingat saya , saya pernah memproklamasikan sebuah kebangkitan bersama untuk kita semua RAKYAT INDONESIA tidak terjebak dalam "solideritas dangkal" saya SEPAKAT...sekali lagi dalam berkomunikasi massa pun saya t...See More
December 31, 2010 at 5:00pm · Like
Aida C'est <>Berpuluh puluh desember telah lewat
beribu lebih kejadian manis dan pahit
mengukir kenang atas ingat

sebelum desember kesekian lebih berlalu
...See More
December 31, 2010 at 6:54pm · Like
Bayu Dwihanto Kuncahyono ‎@ mbak Aida C'est : kembali kasih ...next year / tomorrow we'll made betters.
December 31, 2010 at 7:48pm · Like
Bayu Dwihanto Kuncahyono ‎@ Pak Suriswanto Fath : ...Bissmillah siap !
December 31, 2010 at 7:49pm · Like

No comments:

Post a Comment