KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
VERSUS KESETANAN YANG DEGIL DAN BIADAB
Pernyataan Pak Beye untuk yang kesekian kalinya dimandulkan oleh prahara kemanusiaan dan alam, simak saja pernyataannya di hadapan Rapin TNI & Polri di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta pada 21 Januari 2011. Beliau menyatakan bahwa : “Saya senang, saya
bersyukur.Sejak 2004 tidak ada pelanggaran HAM.
Juga seiring digelarnya “Pekan Kerukunan Antar Umat Beragama se Dunia” (The World Inter Faith Harmony Weeks”, di Istora Senayan yang sungguh sangat semarak pada Minggu, 7 Februari 2011, ironisnya justru di barat daya Jakarta yang berjarak k.l. 135 km telah terjadi prahara kemanusiaan – amuk massa terhadap warga jemaat Ahmadiyah (JAI) yang menewaskan 3 orang dan 7 orang luka – luka di kampong Peundeuy, desa Umbulan, Kecamatan Cikesik, Pandeglang, Provinsi Banten. Bagaimana mungkin kita tega menghabisi nyawa saudara kita sendiri sementara masih ada sekedar menyembelih ayam saja tak berani ? Quovadis!
Seiring pencanangan Pak Beye atas “Hari Pers Nasional”, pada Selasa 9 Februari 2011 di Kupang, NTT telah terjadi pula tiga peristiwa yang memilukan yakni :
Di kota Temanggung, telah terjadi prahara perusakan & pembakaran setidaknya tiga gereja, beberapa mobil dan motor, tak ketinggalan kantor PN Temanggung rusak dan 9 orang luka – luka, oleh sebab amuk massa yang dipicu atas vonis sdr. Antonius Richmond Bawengan sebagai penyebar panflet yang dituduh menistakan agama (tidak hanya bagi umat Islam akan tetapi termasuk umat Katulik itu sendiri) & oleh salah satu majalah mingguan Islam disebutkannya secara provokatif sebagai “seorang pendeta” sekalipun dia bukanlah seorang pendeta, maka vonis hakim, yang dinyatakan ia bersalah & dituntut hukumaan 5 tahun penjara. Politisasi SARA justru dimunculkannya oleh elit agamawan. Sungguh demikian rapuhnya nurani dan nasionalisme anak – anak bangsa ini.
Di Kupang, demontran mahasiswa merangsek ke kediaman gubernur NTT, mereka menolak kehadiran Pak Beye karena dianggap gagal mensejahterakan rakyat.
Di Halmahera Selatan, seorang demontran tertembak dadanya dan 4 luka – luka bentrok dengan polisi yang menuntut pemekaran wilayah.
Dari bulan ke bulan dan tahun – ketahun kekerasan, anarkisme, dehumanisasi atas nama “EGO AGAMA” terhadap kaum minoristas dan beda keyakinan selalu saja hadir bahkan termasuk aspek “estetika” tidak luput menjadi bidikan. Patung Tiga Dara nan anggun di gerbang perumahan Harapan Indah, Bekasi terpaksa harus diturunkan, Patung Budha di Sumatera Utara bernasib sama belum lagi di tempat – tempat lain. Serta oleh sebab kecil lainnya pun sering terjadi amuk massa baik antar supporter, antar siswa & antar mahasiswa, antar kampong, antar penonton konser bahkan di tempat pencari keadilan sendiri seperti di pengadilan tak luput dari amuk massa.
Bahkan yang sangat amat menyedihkan dasar Negara “PANCASILA” dan Lambang “GARUDA PANCASILA”, oleh sebagian agamawan dan lembaga agama diberinya stigma “HARAM”. Quovadis! Yang Ironisnya mereka tidak ikut andil sama sekali dalam memerdekakan bangsa ini namun justru begitu jumawa seolah yang paling berkuasa & hanya dengan “ego mereka”, bumi Pertiwi ini dapat diciptakan menjadi bumi yang gemah ripah loh jinawi adil makmur kerta raharja! Syareat Islam mereka maknai secara sempit, mereka berfikir secara dogmatis ingin menegakkan hukum rajam, potong tangan, cambuk dll. Mereka menafikan bahwa hukum semacam itu diberlakukan hanya bagi “masyarakat jahiliah” yang merupakan conditio sine quanon, karena hanya dengan cara itu mereka yang tak kenal adab & agama akan jera. Kita masih saja disamakan dengan jahiliah. Bukankah agama (Islam) itu adalah akal ?.
Nah bagi masyarakat beradab tentu “syareat itu akan lebih berat” karena bagaimana bersyareat Islam yang sejatinya dengan menghayati laku hidup yang senantiasa ‘tunduk & patuh serta berserah diri secara total hanya keharibaan TUHAN SERU SEKALIAN ALAM’. Sementara kita sekedar mengalahkan musuh bebuyutannya sendiri yakni nafsu kita, sama sekali tidak mampu”. Maka tindakan merasa benar sendiri, menang sendiri, berhak sendiri dengan seribu satu manifestasi kekerasan tentu bertentangan dengan esensi arti islam itu sendiri yang diturunkan dalam rangka penciptaan suatu kehidupan seluruh sesama umat TUHAN yang rahmatan lil alamin.
Sayangnya para penyelenggara Negara, para aparatur Negara dan atau Pemerintahan Pak Beye tak mampu melaksanakan amanat UUD 1945 guna melindungi setiap warga Negara apa lagi mensejahterakannya. Bahkan pernyataan berbau satire “ ……. Bahwa keadaan amuk di tingkat jelata itu adalah reaksi yang terendap karena kelakuan para pejabat pemerintah yang moralnya kedodoran tetapi style jaim : di depan layar berpenampilan hebat seperti bintang, tetapi di belakang layar bejat seperti binatang” (Kompas, 2 Januari 2010, hal.2).
Diperparah lagi MUI sebagai lembaga penjaga moral bangsa sering mengeluarkan fatwa yang aneh – aneh, seperti pluralisme, golput, yoga haram hukumnya dll. yang justru memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa, kita sering alpa bahwa “Negara Proklamasi Kesatuan Republic Indonesia”, bukan berdasarkan atas agama melainkan atas “KETUHANAN YANG MAHA ESA” (pasal 29 ayat 1).
Bila anarkisme dan ego agama telah menggantikan budaya budi perketi luhur lalu siapakah yang harus dipersalahkan ?. Apalagi idiologi transnasional dengan jargon “Hidup mulya atau mati sahid” dengan slogan perjuangan “dakwah – jizyah & jihad”, selalu saja dihembuskannya dan didengung – dengungkannya ANUGERAH SURGA bagi para muda – mudi yang sedang mencari jati dirinya. Dan acara tahunan perekrutan via “Pesantren Kilat” adalah wacana yang amat sangat strategis . Akibatnya banyak kaum muda yang melupakan leluhur & budayanya sendiri dan justru mengagungkan serta kultus terhadap leluhur manca nagari. Bahkan maha karya founding fathers termasuk pengorbanan tidak saja air mata, harta dan darah bahkan nyawa oleh para pendahulu kita, para pejuang, para syuhada dan para pahalawan sama sekali tidak mereka hargai sama sekali. Quovadis.
Mengapa bangsa ini yang dahulu terkenal ramah tamah, menjunjung tinggi perbedaan – pluralisme – kebhinnekaan kini sontak dirasuki nafsu destroying nation ?. Bisa jadi , antara lain di bawah ini jawabnya.
Sejak pergantian rezim Orde Baru telah menjadikan Pancasila sebagai alat kekuasaan dengan memanipulasi sejarah.
Nation & character building telah diabaikan. Para penerus generasi bangsa yang sedang duduk di SLTA setiap 5 tahun sekali para pemilih pemula diharuskan menusuk Golkar bila ingin lulus & atau naik kelas termasuk seluruh pemangku pendidikan bila tak ingin dipindahkan atau dipecat. Inilah awal mula kehancuran suatu bangsa yang ditanamkan sikap mental “jalan pintas” sejak Orde Baru. Keadaan saat ini hanyalah sebagai panen raya atas apa yang disemai oleh penyelenggara Negara yang sedang berkuasa puluhan tahun silam.
System pemerintahan yang bersifat represif totaliter militeristik sehingga nafas demokrasi dibuat tersengal – sengal.
Kerukunan antar warga bangsa tercipta namun hanya semu belaka sehingga setelah rezim Pak Harto jatuh maka demokrasi dan tuntutan reformasi bagai air bah yang tak mungkin dibendung. Sayangnya tokoh reformatoris abai & dilaksankan secara kebablasan dan sesat jalan.
5. Dengan pembuatan UUD baru dengan label lama telah merubah wajah Indonesia menjadi federalisme dengan OTDA & OTSUS sehingga setidaknya telah 6 propinsi, 38 kabupaten dan 12 kota menggunakan syareat Islam. Di Bumi Manukwari tak mau kalah dengan “Syareat Kota Injili”, sehingga telah menjadikan NPKRI sebagai Negara yang amat liberalistic dalam seluruh segi kehidupan bangsa.
Pemilihan langsung yang diyakini oleh orang – orang yang gandrung terhadap American style konon mencerminkan demokratisasi justru membuahkan “oligarki kekuasaan dan KKN gaya baru”, yang justru sulit dibendung. Lebih dari 50% gubernur menjadi pesakitan demikian pula walikota dan atau bupati. Tak ketinggalan anggota DPRD dan DPR baik mantan maupun yang masih menjadi legislator banyak yang terjerat kasus hukum, tak ketinggalan para pejabat public dll.
7. Hedonisme & sektarianisme seolah justru memperoleh lahan yang subur bahkan aparat penyelenggara Negara abai atas tugas & kewajibannya dan terbuai gemerincingnya fulus sehingga berkubang dan bersimpuh mengabdi kepada para mafioso, makelar kasus, makelar hukum & keadilan dan makelar pajak serta seribu satu macam mafia lainnya. Kasus Anggodo & Gayus telah menohok seribu wajah daan citra Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia dan membalikkan tata nilai. Wajah Polri, Kejaksaan dan Kehakiman serta advokat menjadi bopeng – bopeng dibuatnya. Seolah Negara dikangkangi oleh para Mafioso sehingga hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas atau bahkan nihil, tuntutan jaksa dan putusaan peradilan bisa dipesan, kemerdekaan bisa dibeli oleh uang. Negara hukum berubah total menjadi Negara kumuh karena hukum yang berkeadilan, hukum yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa telah berubah menjadi “hukum yang kesetanan yang degil dan biadab”.
8. Amanat Bung Karno : “…..hendaknya bangsa Indonesia Bertuhan dengan kebudayaan tanpa adanya egoisme agama”. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, telah diabaikannya, sehingga semua berbau agama seperti kerukunan antar umat beragama, Forum komunikasi & Konsultasi Antar Umat Beragama!. Bangsa ini tidak konsisten dengan dasar Negara dan juklaknya UUD 1945, tidakkah lebih tepat dan afdol kata “agama” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa?”. Sehingga masyarakat adat dan suku – suku terasing ikut merasa dimanusiakan karena “seanimes” apapun anggapan kita bisa jadi penghayatan Berketuhanan Yang Maha Esa mereka lebih baik ketimbang kita yang sok agamis. Bandingkan dengan masyarakat adat Badui Dalam yang mampu menyatu dengan alam serta Karsa - NYA dan system barter (serba ihklas) yang tak mengenal KDRT sama sekali. Mengapa justru mereka lebih beradab ketimbang kita yang mengaku & merasa modern & agamis ini ?.
9. Bangsa ini dinilai oleh masyarakat dunia betapa bodoh dan miskinnya karena sekalipun berlabel SIII yang agamis, katanya belum dewasa dalam menerjemahkan dan menghayati keberagamaannya. Terbukti “rasa ing pangrasa sebagai human being, sebagai mahkluk spiritual” belumlah tumbuh sehingga tidak hanya kesolehan sosial akan tetapi kesolehan pribadi & keluarga pun absen karnanya.
10. Aparat Negara justru mempelopori tindak kekerasan seiring penangkapan bagi orang – orang disangka sebagai teroris, apakah tidak ada cara lain yang lebih persuasip sehingga nyawa warga bangsa tidak harus melayang. Apakah dengan gas air mata atau cara lain dan tanpa harus melibatkan media layar kaca?. Dan aparat Negara terkesan membiarkan terjadinya kekerasan terhadap warga minoritas termasuk JAI.
11. Program Pemerintah yang ambiguitas seperti adanya 4 pilar berbangsa & bernegara yakni “NKRI; PANCASILA; UUD 1945 & BHINNEKA TUNGGAL IKA”, yang tidak boleh diganggu gugat. Pemerintah seolah tutup mata atas semua kenyataan deviasi yang ada. Negara Kesatuan yang mana bila esensinya telah berubah menjadi negera federalism itu ? Pancasila yang mana bila Sila IV sudah tak dilaksanakan seperti unsure bangsa hanya diwakili oleh elit partai politik saja ? Perwakilan “Nihil”. Dan UUD 1945 yang mana bila UUD baru 2002 tetap diberinya label “1945”? (bentuk manipulative & pembodohan kepada rakyat). Dan Bhinneka tunggal ika yang mana bila sekedar melaksanakan kuwajiban rohaninya untuk sembahyang saja terancam keselamatan jiwanya ?. Ini hanya akan menambah kemunafikan dan dosa kolektif bangsa.
12. Keberadaan JAI di Indonesia jauh sebelum Indonesia Merdeka dan bahkan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dengan Yayasan PIRInya dengan berbagai lembaga pendidikannya, dan selama puluhan tahun tidak ada doktrin men “JAI”kan para siswa namun sekarang dijadikan politisasi yang mendudukkan “JAI” bagai anjing kurap yang boleh dihakimi sesuka masyarakat. Akibatnya apapun yang dilakukan mereka pasti akan dihakimi sesat – haram dan harus kembali masuk (baju) Islam bukan peri laku Islami seperti diuraikan di atas.
13. Bila partai Islam dan elit agamawan menuntut pembubaran JAI sementara ormas Islam ada yang ditengarai masyarakat sebagai biang keonaran bahkan secara politis justru mereka dijadikan bagian konstituen oleh oknom pejabat publik dalam melanggengkan kekusaannya, tidak mereka sadari akan mennyebabkan disintegrasi bangsa. Dan argumantasi mereka yang menggunakan barometer Pakistan sebagai tempat lahirnya Ahmadiyah yang telah membubarkan jemaat Ahmadiyah, mereka tidak paham bahwa Pakistan adalah berdasarkan agama sementara NPKRI berdasarkan Pancasila!. Yang memberi hak prerogratif setiap WNI untuk menjalankan ibadat sesuai agama dan kepercayaannya sebagai hak yang paling esensial. Lalu dengan dalih apa bila sesama warga Negara memaksakan kehendaknya pada mereka ?.
14. Niat dan upaya mengislamkan Negara oleh sebagaian warga bangsa akan menimbulkan keadaan keos karena mazab yang mana yang akan digunakannya ?. Apakah Sunni atau Siah atau yang lain ?. Itupun sudah menjadi masalah.
15. SKB tiga menteri nampaknya tidak disosialisasikan ke akar rumput.
16. Dan masih banyak akar masalah yang bisa disajikan di sini namun dari item tsb. kiranya sudah mewakilinya.
Lalu apa solusinya ? Mungkin di bawah ini bisa menjadi alternatif yakni a. l. :
1. Pemerintah & MPR berkenan segera mengeluarkan Dekrit untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 pra amandemen.
2. Dengan Pancasila yang telah teruji sebagai alat perekat bangsa harus disosialisasikan guna menumbuhkan rasa memanusiakan manusia atau mempertajam “rasa ing pangrasa”.
3. Sudah saatnya para ulama dan Kyai serta pemuka agama seyogyanya berkenan merevitalisasi pemahaman beragama sesuai tuntutan jaman dan memberikan pengajaran yang mencerahkan bukannya justru menanamkan benih permusuhan terhadap sesame manusia yang beda agama & keyakinannya.
4. Pemerintah hendaknya tegas dan berani menegakkan keadilan khususnya bagi ormas apapun namanya yang mengharamkan PANCASILA sebagai dasar Negara harus ditindak dan dibubarkan karena itu anugerah TUHAN yang telah diperjuangkan dengan darah & nyawa.
5. Bagi umat Islam yang ingin beramar ma’ruf nahi munkar hendaknya dengan niat suci dan jalan kebenaran serta cara yang pener (tepat) dan bersih/suci. Setidaknya harus bertanya pada diri pribadinya seperti apakah penghayatan keberagamaan kita sudah benar dan lebih baik dari mereka ?. Pendek kata menggunkan tolok ukur “Rasa Ing Pangrasa”.
6. Sejahat dan sejelek apapun mereka tidaklah pada tempatnya bahwa kita sebagai sesama manusia karena “EGO” telah berani menghakimi mereka sesat, haram, kafir, syirik dan musrik. Itu adalah domain TUHAN itu sendiri.
7. Melestarikan & mengembangkan budaya adi luhung bangsa adalah hal yang amat sangat mendesak jangan biarkan budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya dan karakter bangsa menggantikan jati diri bangsa.
8. Mutlak diperlukan adanya gerakan penyejuk dan memperkuat persatuan & kesatuan bangsa di tengah suasana ketegangan seiring tragedy Cikesik & Temanggung & sebagainya.
9. Mari kita rindukan & ciptakan suasana damai dan saling menghormati antar sesama anak bangsa apapun agama dan suku serta ras & golongan. Jaman dulu sebagai oto kritik atas penghayatan keislaman masyarakat ada buku berjudul “Gatholoco & Dharma Gandhul” yang amat sangat melecehkan kaidah Islam seperti kata syarengat yang diterjemahkannya dengan “yen sare jengat” dan kata – kata kerata basa yang lebih seronok lainnya toh tidak pernah terjadi amuk massa. Ternyata ego dan nafsu eyang – eyang kita jaman dulu telah begitu pandai mengelolanya, karena politisasi tidak hadir tidak seperti saat ini. Gara – gara pelaku penistaan agama didramatisir sebagai seorang pendeta maka massa begitu mudahnya terprovokasi.
10. Polri hendaknya mengoptimalkan kembali peran Babinsa dengan petugas yang cerdas dan handal karena menghadapi kecanggihan I.T dan derasnya arus informasi sehingga mampu mengelola keberagaman dengan baik & efektif.
11. Memerangi kebodohan dan kemiskinan akan jauh lebih bermanfaat ketimbang sekedar ego mendirikan Negara agama.
12. Pesantren Kilat hendaknya didampingi team pemantau dari pihak sekolah dan wakil dari wali murid sehingga bila terjadi brain storming pada anak – anak kita akan cepat terlihat dan segera dapat menetralisirnya.
13. Agama janganlah dijadikan panglima dan politisasi demi ambisi pribadi ataupun kelompok melainkan untuk dihayati dengan baik dan benar serta suci. Mari kita tempatkan bahwa budaya lah yang harus kita jadikan panglima setelah politik & ekonomi serta agama gagal mewujudkan Sila V. Pancasila dan atau amanat penderitaan rakyat.
14. Bhinneka tunggal ika harus diajarkan sejak dini dan egoisma agama seyogyanya hendaknya dibuang jauh – jauh.
KESIMPULAN
Anarkisme dan egosentris oleh elit agamawan dengan mempolitisasi agama sehingga eskalase politik kekerasan yang terefleksikan justru dengan bangganya disebut sebagai teroris, sekalipun ajal akan segera menjemput dihadapan regu tembak karena diyakini sebagai mati sahid versi dirinya. Mereka tidak sadar bahwa ratusan saudaranya telah mendahului menjadi korban sehingga citra Islam Indonesia secara keseluruhan berhasil digebyah uyah seolah berpenampilan garang, kejam & tak ada rasa perikemanusiaan yang kian hari justru kian menggurita yang telah menjauhkan Islam bagi masyarakat. Oleh karenanya ada sebagian yang justru memutuskan mengaku dirinya tidak beragama melainkan BERTUHAN karena merasa malu bahwa kekerasan sejak abad XV telah menorehkan sejarah kelam seiring berakhirnya hegomoni kerajaan Nasional Majapahit, toh di jaman modern ini justru semakin brutal. Dan kini sejarah itu terulang kembali berdaur ulang dimana pada yaman Prabhu Angka Wijaya atau lebih terkenal dengan nama Prabhu Brawijaya V atau Pamungkas ternyata identik dengan Pemerintahan Pak Beye yang runtuh dengan berkembangnya Islam transnasionall (Pancasila tidak lagi sebagai dasar Negara hanya sebatas slogan dan lipservice belaka).
Maka bila pernyataan Pak Beye tentang pembubaran ormas Islam yang sering menjadi biang kerusuhan hanya sebagai wacana dan jargon pencitraan dirinya maka Balkanisasi di Nusantara ini bisa saja terjadi. Dalih tak ada bukti sungguh naïf bukankah mereka adalah anti PANCASILA ?.
Peringatan suara kenabian yang telah digitakan oleh para rohaniawan/pemuka agama serta pernyataan forum rektor se Indonesia serta para pakar dan spiritualis seharusnya rezim Pak Beye mau mendengar dan melaksanakannya bila tidak ingin NPKRI ini menyusul nasib pendahulunya kerajaan nasional seperti Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit.
Demikianlah hasil perenungan dalam mengatasi masalah SARA yang semakin menggurita sejak 1999 yang lalu. Mari jangan biarkan Sila – Sila Pancasila berubah menjadi :
Sila I : KEUANGAN YANG MAHA KUASA.
Sila II : KESETANAN YANG DEGIL & BIADAB.
Sila III : PERSATUAN MAFIOSO INDONESIA
Sila IV : KESEKARATAN MASYARAKAT DALAM
PERWAKILAN/PERMUSYAWARATAN DALAM PERSEKONGKOLAN OLEH
HIKMAH KEKUASAAN
Sila V : KEBATILAN BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA!
Oleh sebab itu ada baiknya mencermati wasiat Bung Karno dalam mempertahankan ajaran Gajah Mada dengan Sandhi Yudha Gajah Kencana serta leadership PM. Gajah mada : “Itulah nilai – nilai luhur bangsa maka janganlah kita terpengaruh oleh kebudayaan asing yang berbau Eropa, Arab, Amerika, Jepang, India dan Israel, kendatipun agamanya/ajarannya kita anut akan tetapi tetaplah kita harus melestarikan kebudayaan nenek moyang karena kebudayaan adalah mencerminkan kepribadian suatu bangsa. Kita adalah bangsa yang besar , akan tetapi untuk memelihara nilai suatu kebesaran tidak tumbuh seperti jamur. Karena nilai yang besar haruslah senantiasa kita gali, kita perjuangakan sampai menjadi akar dan watak yang hidup dalam diri kita”.
MARI BUDAYA KITA JADIKAN PANGLIMA DAN ALAT DEPLOMASI SEHINGGA HUMAN BEING, RASA ING PANGRASA, MEMANUSIAKAN MANUSIA ITU TUMBUH SUBUR DI BUMI NUSANTARA INI.
Jaya – jaya – jaya Wijayanti! Surodiro jayaningkanangrat swuh brastha tekap ing ulah dharmastuti. SAMPURNA!
Permohonan maaf dan sungkem kami
Jakarta, 11 Februari 2011
Pemulung
Sriwidada Putu Gedhe Wijaya
February 10 at 11:17pm · Like · Report
Tjiwie Sjamsuddin likes this.
No comments:
Post a Comment