PERTAMA-TAMA, DPR perlu “dihargai”. Kedua, perlu “ongkos”. Sebab, baik sistem diktatorial maupun demokrasi, kesemuanya butuh anggaran. Itulah sebabnya mengapa ke-50 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Karawang ngotot dan habis-habisan memperjuangkan aspirasinya sendiri, lalu akhirnya berbuah manis. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011, uang rakyat sebesar Rp 100 miliar dialokasikan untuk 50 anggota dewan (artinya Rp 2 miliar per orang). Tambahan uang bernama “dana aspirasi” itu, yang tentu saja berada di luar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya, meluncur mulus tanpa hambatan, dan sudah “legal”, karena sudah disetujui oleh legislatif dan eksekutif.
Sesuai undang-undang, DPR memang punya “peluang” yang tidak boleh disia-siakan. Peraturan tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD/DPD mempersilakan lembaga yang bersangkutan untuk mengatur kedudukan protokoler mereka masing-masing. Aturan-aturan itu, tentu saja, harus dibikin bersama-sama pemerintah. Peraturan itu pun memungkinkan mereka menyusun anggarannya sendiri, supaya sifat dan martabatnya tambah “mantap”. Jadi, baik di dalam APBN maupun APBD, bisa terpampang mata anggaran khusus untuk lembaga-lembaga itu.
Supaya “peluang” yang tersedia itu tidak terbuang percuma, DPR pun biasanya membentuk panitia tersendiri yang berapat nonstop sampai “kemauan”-nya tercapai. Mereka menyusun aturan-aturan protokoler dan anggaran keuangan. Tapi, kali ini bukan untuk kemaslahatan para pencontreng, atau siapa pun, melainkan buat diri mereka sendiri. Sekali ini, mereka pasti bergumam, dan meminta segenap publik harap memaklumi. “Sebab, kalau bukan mereka sendiri, siapa pula yang sempat memikirkan martabat dan nafkah (tambahan) mereka? Pemerintah tentu kurang tempo, repot dengan urusannya. Apalagi rakyat,” begitulah, kira-kira, gumamannya.
Apa sih yang sebetulnya mereka inginkan? Kira-kira, begini. Demi martabat, aturan protokol untuk anggota DPR berikut pimpinannya harus jelas. Tak peduli yang “dipilih” murni atau yang “diputuskan” melalui Mahkamah Konstitusi (MK), mereka ingin dipukul rata bahwa semuanya adalah wakil rakyat. Kalau terhadap rakyat kebanyakan saja tidak boleh bertindak sembarangan, apalagi kepada para wakilnya. Dalam setiap acara resepsi, misalnya, harus tegas kursinya. Di mana presiden, di mana menteri, di mana gubernur, dan di mana beliau-beliau yang “para anggota” itu. Jangan sampai dibiarkan jongkok. Bukannya karena jongkok itu membahayakan jiwa, tapi hanya gelandangan dan yang berminat hajat besarlah yang biasanya berada dalam posisi itu. Atau, umpama -- atas tarikan takdir -- ada seorang anggota DPR dan seorang menteri yang hadir, padahal kursi cuma satu, siapa gerangan yang mustahak mendudukinya? Pilihannya harus cepat dan tegas, karena mustahil mempersilakan keduanya duduk bertumpuk seperti keong. Inilah bidang protokol, tatabudaya meletakkan seorang manusia pada proporsinya, supaya martabatnya tidak terombang-ambing, tapi persis terpaut pada skala pangkat dan penghasilan yang diperolehnya.
Ini, kemudian, berimbas ke soal anggaran khusus. Martabat akan bisa lebih tegak berdiri kalau ditunjang oleh ongkos-ongkosnya yang cukup. Tahun 2010, setiap anggota DPRD Karawang “hanya” menerima “dana aspirasi” (di AS disebut pork barrel bills atau “dana gentong babi”) sebesar Rp 650 juta, atau sepertiga dari yang akan diterimanya tahun ini. Di mata mereka, angka itu -- tampaknya -- belum memadai. Dengan anggaran yang “hanya segitu”, urusan jadi agak seret. Mau cicil mobil mewah, rumah elit, bermanis-manis dompet kepada “yang mulia partai”, berakrobat mengisi gentong-gentong mesjid, serta menjaga keharmonisan dengan sahabat-sahabat dari media dan LSM setiap bulannya hampirlah mustahil, karena honorarium akan habis ditelan proyek-proyek pencitraan semacam itu, tanpa ada yang terbawa pulang ke rumah ataupun tertitipkan di bank-bank. Padahal, tanpa kegiatan pencitraan itu, bagaimana mungkin seorang anggota dewan bisa dikagumi oleh para mustahik pemilihnya? Belum lagi urusan kesehatan. Di mata mereka, apa yang diterimanya sekarang dianggap masih terlampau sederhana. Kalau untuk sekadar sakit yang enteng-enteng, seperti pusing kepala dan mules, bolehlah. Tapi fasilitas itu belumlah memadai kalau untuk “sakit gigi”. Padahal, melihat rata-rata umur anggota DPR, gigi mereka itu cenderung sudah perlu perawatan intensif. Sebab, secara profesi, mereka itu kan perlu bicara dan senyum banyak-banyak. Peranan gigi sangatlah menentukan. Mereka pun, tentunya, sudah tak pantas lagi setiap bulannya menggendong karung beras dan gula pasir dalam kantung plastik, seperti para anggota DPR tempo doeloe. Ini bisa bertautan dengan martabat.
Pembaca, untuk dipermaklumi, pada kepentingan di titik-titik itulah para anggota dewan kemarin berjuang habis-habisan mendapatkan “gentong babi”. Padahal, sebagaimana ditulis Tajuk Rencana harian Pikiran Rakyat Bandung (20/1), apa yang disebut “dana aspirasi” itu -- secara internasional -- sudah menjadi bahan olok-olok. Istilah dana “gentong babi” itu sendiri, yang diluncurkan di AS, mengingatkan pada majikan-majikan kulit putih yang memberi hadiah daging babi kepada para budak kulit hitamnya yang dinilai rajin. Secara politis, istilah itu sama dan sebangun dengan yang digunakan untuk praktik permintaan atau bancakan dana dari legislatif bagi para konstituennya.
Tak terasa, DPR hasil Pemilu 2009 kini sudah memasuki tahunnya yang kedua. Sebagian anggotanya sudah mulai beruban, sebagian lagi tambah gemuk berkat dimakan usia atau makan waktu, dan satu-dua (mungkin) kena wasir gara-gara rajin rapat hingga lewat tengah malam. Memang, dari sekian banyak “bunga mawar” yang menghiasi gedung-gedung rakyat itu, tentu terselip juga beberapa kembang plastik. Ini, tentu saja, bisa merusak pemandangan dan mengganggu martabat. Bahkan, keberadaan kaum “pembaca koran terbalik” itu (seringkali) justru cenderung lebih menarik perhatian publik. Tapi, dari seribu pisang, selalu ada saja satu yang dempet, dan mencuri perhatian karena ketidaksamaannya itu.
Ironisnya, ketika sudah bicara soal pernikahan martabat dan anggaran, segenap “bunga mawar” dan “pisang normal” pun -- entah kenapa -- segera mengubah ujudnya menjadi “kembang plastik” lalu saling berdempetan. Rohani serta syaraf mereka yang tadinya bugar mendadak kram. Kata hatinya sontak bercerai dengan bunyi mulutnya. Tidakkah mereka sadar, bahwa keberadaannya di ruangan ber-AC itu telah mengorbankan banyak keringat publik yang sudah merasa lelah nyontreng, bahkan ada pula yang sampai kena gebuk, kena tahan, kena jepit pintu mobil, kena timpa alat pengeras suara, dan kena tilang polisi karena melanggar rambu lalulintas sewaktu mau ikut pawai kampanye? Ataukah perjuangan meraup “dana aspirasi” itu memang merupakan bentuk lain dari “rasa iba” dan “terima kasih” mereka kepada rakyat pemilihnya, yang -- seperti hantu -- terus menghinggapi tengkuk dan seakan siap mencekik lehernya kalau saja mereka alpa melakukan tugas-tugas legislatifnya? Entahlah, jangan-jangan itu sekadar eufemisme menuju “cita-cita sejak kecil” menjadi calo anggaran dan kontraktor pembangunan “jembatan” yang menghubungkan rakyat dengan pemerintah.
Sekadar mengingatkan, dulu -- di tahun 1960-an -- Senator Arizona, Barry Goldwater, melejit istimewa gara-gara berani mengumpat administrasi John F. Kennedy sebagai sudah “tuli, bisu, dan buta”. Kini, di sini, rakyat pun sudah berani melakukan hal serupa, termasuk terhadap para wakilnya...
* Yukie H. Rushdie, kolumnis dan esais, tinggal di Bandung
Yukie H. Rushdie
January 20 at 8:29am · Unlike · Dislike · Report
You, Hudson Hutapea, Andy Syoekry Amal, Andi Mattalatta Pawiseang and 9 others like this.
Wid Sumartopo Mas Yukie, kalau menurut para wakil rakyat itu sendiri, kenapa mereka mengejar dana tersebut?? Ada bisik-bisiknya kah??
January 20 at 3:13pm · Like · 1 person
Ade Muhammad Pak Wid, aku sudah tag gambar gambar essensial dari FIS yang menjelaskan Visi Baru - Sistem Baru - Orang Baru ... silahkan Bapak lihat lihat, sangat terbuka untuk kritik, sanggahan, bantahan atau perdebatan ... terimakasih
January 20 at 7:25pm · Like · 2 people
Yukie H. Rushdie @ Pak Wid: Anggaran tersebut, menurut beberapa anggota DPRD, adalah untuk (1) penjaringan aspirasi konstituen, (2) penyusunan aspirasi konstituen, (3) jembatanisasi aspirasi konstituen dengan pemerintah. Setidaknya, baru 3 hal itu yang say...See More
January 21 at 8:43am · Like
Wid Sumartopo Hahaha, konstituen itu amorph -- tanpa bentuk. Interaksi para wakil terpilih dengan pemilihnya (unidentified kan?? azas LUBER) mestinya dibiayai partai pengusungnya, sebagai biaya mendudukkan orangnya di DPR.
January 21 at 8:54am · Like · 1 person
Yukie H. Rushdie @ Pak Wid: Nah, itu dia. Hahahaha, paling-paling juga (akhirnya) disalurkan untuk kepentingan partai dan keluarganya. Ini betul-betul "demokrasi". Dananya dari "rakyat", oleh (wakil) "rakyat", untuk (keluarga besar wakil) "rakyat"... Sudah pada di-ACC tuh, Pak. Malah, untuk Anggota DPR-RI nilai pengajuannya, konon, mencapai Rp 15 Miliar per orang...
January 21 at 9:00am · Like · 2 people
Wid Sumartopo parpol berubah jadi broker.. kiri-kanan untung.. pantas, banyak yg berlomba masuk threshold.. BEP pendirian partai tuh brapa ya, kapan dapat ROI.. untuk itu ga perlu ambisi politik dong, cukup business target..
kalau politisi sudah tak berv...See More
January 21 at 9:11am · Like · 1 person
Yukie H. Rushdie @ Pak Wid: Saya setuju dengan pandangan Anda, Pak. Sekarang ini, orang ramai-ramai pengen bikin partai gurem itu bukan untuk menang, koq. Karena, yang dicari adalah "subsidi parpol peserta pemilu"-nya (dulu, kalo gak salah, Rp 1 M). Banyak Ketua Umum Parpol, yang partainya gak dapet 1 kursi pun (bahkan kemudian bubar), tapi bukannya bangkrut malah bisa beli rumah dan mobil baru. Aneh bin ajaib...
January 21 at 9:48am · Like · 2 people
Ade Muhammad sistem yang membuat seperti itu ... jawabannya adalah sistem juga yg tidak seperti itu
January 21 at 9:53am · Like · 1 person
Yukie H. Rushdie Selain dari "subsidi parpol peserta pemilu", partai pun bisa "berladang" dari dana Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu) yang dikeruk lewat para calon. Apalagi dulu, ketika masih berlaku sistem nomor urut. Dagang "nomor sepatu"-lah mereka. Untung-untungan aja. Padahal yang kerja kerasnya sih para calon. Setelah ada yang duduk di gedung dewan, gaji pokoknya 50% mesti disetor ke partai pula. Alhasil, para anggota dewan pun sibuk cari "sampingan"...
January 21 at 9:54am · Like
Yukie H. Rushdie @ Ade: Betul. Semua itu mesti dirunut hingga ke "titik api"-nya, tidak bisa hanya meniupi "asap"-nya belaka...
January 21 at 9:56am · Unlike · 1 person
No comments:
Post a Comment