Saturday, April 2, 2011

Perlu Ada Jeda Tambang

Harian FloresStar, Jumat 11 Maret 2011, Perlu Ada Jeda Tambang

Maumere, FS - Manajer Program Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT Herry Naif menyatakan, perlu adanya jeda tambang di Wilayah NTT.

Jeda itu diperlukan agar kerusakan alam akibat penambangan tidak semakin meluas. "Herannya seiring dengan itu pemerintah NTT malah akan menggodok peraturan gubernur (pergub) tentang pertambangan. Fakta ini terungkap pada salaah satu berita media lokal yang dirilis, senin (1/3/11)lalu. Ada pertanyaan kritis, apakah pergub ini akan mendukung program sebelumnya?" kata Herry dalam siaran persnya yang diterima Flores Star di kantornya di Maumere di kabupaten Sikka (Kamis, 10/3/11).

Menurut Herry, NTT merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari aas pulau Timor, Flores, Sumba, Alor, Lembata dan beberapa gugus pulau kecil lainnya.Propinsi ini dikenal memiliki panorama yang indah. Namun, dalam sudut pandang kebencanaan, propinsi cukup rentan dengan ancaman banjir, tanah longsor, kekeringan dan keterbatasan pangan.

karena itu, kata Herry tidak heran bila kemudian dalam kepemimpinan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, ada begitu banyak program yang dirancang untuk mewujudkan NTT sebagai propinsi jagung, ternak, cendana, garam dan masih banyak julukan. Semua itu kemudian dikenal dengan program Anggur Merah (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera).

Program itu, lanjut Herry, Pelaksanaannya membutuhkan lingkungan yang lestari. Pengembangan jagung, ternak dan cendana semuanya tergantung pada penciptaan iklim mikro dan pembangunan bio-region menjadi penting.

"Artinya, semua program pembangunan harus dilihat dalam satu kesatuan dengan alam. Tidak serta merta pengembangan potensi sumber daya alam disekat dalam ruang lingkup garapan," Ujarnya.

Terhadap persoalan itu, Walhi NTT menyatakan tidak ada sinergitas program yang dicanangkan gubernur NTT dengan rancanangan pergub. Pasalnya pertambangan akan merusak bentangan alam, hidrologi dan bahkan menyebabkan tailing yang merusak lingkungan.

Tidak hanya itu, kata Herry Naif Walhi NTT menyatakan peraturan itu bagian dari sikap pragmatis yang mendominasi sehingga tidak didorong program-program yang bersentuhan dengan kebutuhan rakyat seperti pertanian, peternakan dan pariwisata. Terlebih lagi NTT merupakan daerah yang tiap tahunnya menjadi pelanggan kekurangan pangan.

Menurut dia, Kapasitas masyarakat NTT belum bisa diharapkan untuk menjadi pengelola tambang. Karena itu bila ini dipaksakan maka masyarakat NTT hanya akan menjadi penonton.

"Bila dilibatkan masyarakat NTT hanya sebatas sebagai pengumpul atau menjadi buruh tambang. Dengan demikian seluruh pendapatan dibawa keluar daerah. Kalau alasan peningkatan pendapatan asli daerah PAD yang didapat. Semestinya yang perlu dipikirkan adalah peningkatan pendapatan masyarakat dengan intensifikasi pertanian dan pengembangan ternak yang masif dilakukan di NTT" Ujarnya. (aly)

Herry Naif
March 12 at 8:12am · Like · Dislike · Report
Sonny Djatnika Sunda Djaja, Edi Estebe, Liani Berlian and 4 others like this.
Anton Isdarianto SETUJU. Kegiatan pertambangan, walo menghasilken devisa besar, punya dampak merusak kelestarian alam. Axioma ini berlaku dimana saja di seluruh ujung bumi. Kebijakan pemerintah yang tidak seimbang, yang terfokus pada pencapaian economic growth, sungguh bukan tindakan yang strategis berjangka panjang.......Lagipula, siapakah penikmat sebenarnya dari kegiatan pertambangan itu? Masyarakat sekitar kah?. Kebijakan pembangunan ekonomi memang sungguh perlu, namun Prof Dr Emil Salim dulu pernah mengingatkan kita tentang bencana alam yang bisa ditimbulkan oleh pembangunan ekonomi yang tidak mengindahkan keseimbangan alam. Pembangunan harus dilakukan sesuai dengan kaedah2 Sustainable Development.........Dalam sebuah seminar saya catat, dari pencemaran udara di negeri kita, 70% disebabkan oleh kegiatan2 industri (termasuk pertambangan) dan juga, alih fungsi lahan terbuka hijau dan persawahan menjadi lahan untuk kegiatan non-pertanian / non-vegetasi, telah mencetak kontribusi besar dalam pencemaran alam dan udara. Nah, Quo Vadis?.....Wainting for Godot kah?
March 12 at 8:41am · Like ·  2 people
Anton Isdarianto I mean, Waiting for Godot bukan Wainting for Godot. Artinya, sebuah penantian nan tak berujung. Penantian yang sia-sia.
March 12 at 8:47am · Like
Hendarmin Ranadireksa Eksploitasi apapun (tambang, hutan, lahan) acuan utamanya harus untuk wilayah ybs (pendidikan, infra struktur, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan). Untuk itu OTDA HARUS HANYA SAMPAI DI TINGKAT PROVINSI, KARENA HANYA DITINGKAT ITU WILAYAH DI BAWAH PUSAT MEMILIKI POSISI TAWAR KUAT (kecuali Indonesia, di dunia ini tidak ada otda kabupaten).

Tugas & Kewajiban negara (pemerintah pusat) adalah “Membuat dan membakukan RUTR untuk seluruh wilayah Indonesia” yang dengan itu harus tergambar secara jelas potensi wilayah dan interdependensi antar wilayah yang muaranya adalah potensi sekaligus kekuatan negara (politik, ekonomi, budaya).

Sudah harus dibuang slogan usang 'Negara Kesatuan Sudah Final’ yang dalam prakek lebih banyak digunakan menindas dan/atau untuk pembungkus syahwat konspirasi penguasa dan pengusaha Jakarta (bekerja sendiri atau bekerjasama dengan asing) untuk mengeksploitasi SDA Tidak Terbarukan.

SDA Tidak Terbarukan bukan hanya milik generasi masa kini (apalagi hanya milik pejabat dan/atau pengusaha kroni), SDA Tidak Terbarukan adalah juga milik generasi yad. Jangan sampai terkesan tabiat penguasa lebih buruk dari penjajah yang paling buruk sekalipun!

Salam.-
March 12 at 8:58am · Like ·  3 people
Anton Isdarianto Bravo, P.Hendarmin.....Namun, dengan mengatakan "NKRI sudah usang", apakah lantas mau dibikin negara federasi?.....Mohon pencerahan. Sebab miturut hemat saya, dalam NKRI pun kita bisa membenahi agar masing2 daerah bisa mendayagunakan keunggulan potensi daerah masing2 to the maximum level............Misalnya, saya setuju dengan gagasan OTDA yang hanya sampai tingkat propinsi. Selain itu miturut saya adalah MUTLAK PERLU untuk memiliki aparat negara dan pejabat negara yang ber-ETIKA, paham akan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas. Juga mutlak perlu adanya KPK yang profesional dan bersih dibentuk daerah2.......Ini semua tanpa perlu merobah bentuk NKRI. Salam.-
March 12 at 9:08am · Like ·  3 people
Hendarmin Ranadireksa Maaf numpang. @Anton Isdarianto.

Tentang NKRI.

NKRI adalah istilah yang baru muncul di era pertengahan Orde Baru (awalnya dikumandangkan Ali Murtopo/Opsus), sebelumnya sebutan untuk Indonesia RI saja (UUD-RI bukan UUD-NKRI, AURI bukan AUNKRI, ALRI bukan ALNKRI, ADRI bukan ADNKRI, KBRI bukan KBNKRI, dll). Saat istilah itu dimunculkan, saya sudah merasakan (dan memang kemudian terbukti) hanya akan menjadi alat pembenar (justifikasi) rezim untuk mencengkeram wilayah. Segala yang berbeda dianggap anti NKRI atau di-cap mau membentuk negara sendiri. Jadi tidak ada kaitan NKRI dengan federasi (Jepang adalah negara kesatuan tetapi provinsi/perfectue) di sana kuat!)

Tentang KPK.

KPK (dengan kewenangan yang begitu luar biasa) dimaksudkan sebagai ‘shock therapy’ thd kebejatan lembaga penegak hukum akibat dikuasai mafia hukum dan mafia peradilan. KPK dibentuk (pasca runtuhnya Orde Baru yang korup) semangatnya bukan sebagai lembaga tetap (ad-hoc), sifatnya sementara. Harus ada batasan waktu sampai berapa lama KPK ada (misal maksimal 5 tahun). Setelah itu fungsi penegakan hukum harus kembali ke lembaga semula (sesudah diadakan pembersihan total).

Maka UU pembentukan KPK & Tipikor di tingkat provinsi dan kabupaten (yang kekuasaan dan independensinya sudah dibuyarkan itu) harus dicurigai sebagai upaya sindikat mafia untuk membiaskan fungsi penegakan hukum. (menambah panjang rantai penegakan hukum dan berebut fungsi dan kewenangan)

Salam.-
March 12 at 9:46am · Like ·  2 people
Suriswanto Fath Menyebut Indonesia dengan "RI" sdh tercermin bentuk "kesatuan", krn konstitusi kita jelas2 menyebutkannya. Namun bentuk "kesatuan" memerlukan kearifan pemerintah utk berbagi kekuasaan dgn struktur dan sistem yg benar demi tercapainya sistem pemerintahan yg efektif dan efisien bagi kesejahteraan rakyat dr Sabang sampai Merauke.
March 12 at 11:02am · Like ·  4 people
Radhar Tribaskoro NKRI berbau militeristis. Muatannya adalah sentralisasi dan homogenisasi. Maunya kekuatan pusat bisa merambah kemana-mana (sentralisasi). Maunya semua orang seragam kehendak dan perilakunya (homogenisasi). Negara kesatuan seperti ini memiliki watak fasis.
March 12 at 11:16am · Like ·  4 people
Anton Isdarianto ‎@ P.Hendarmin : Saya setuju bila sebutan negara kita adalah RI saja, sepanjang spirit yang inheren didalamnya adalah memang negara kesatuan. Tentang KPK, akan menjadi masalah lagi, seandainya sbg lembaga ad hoc, KPK pada saat berakhirnya m...See More
March 12 at 2:35pm · Like ·  4 people
Herry Naif Kwan-kawan semua itu kondisi yang dialami di NTT, bahwa kami belum menemukan pemimpin yang cerdas dan konsisten untuk perubahan rakyat. Bahwa ada begitu banyak slogan program yang menghanyutkan seperti ANGGUR MERAH (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera) tetapi apa yang terjadi bila pertambangan itu terus didorong.
Kondisi ini diperparah bahwa kedatangan RI I menjanjikan 5,7 Triliun. Apa ini sungguh kiat suci untuk mendongkrak ketertinggalan ataukah ini asupan untuk menggolkan segala program pusat yang sudah dinegosiasikan dengan pihak asing terutama dengan investasi. A
Bila kondisi ini yang tejadi bisa dibayangkan NTT yang sudah diidentifikasi sebagai wilayah ekologi genting akan menjadi apalagi namanya? Persoalan Pencemaran Laut Timor sampai hari ini tidak jelas ujung pangkal penyelesaian. Di tambah lagi persoalan tambang dan persolaan ekologi lainnya.
Herannya selalu yang dipersalahkan adalah rakyat. Misalnya ketika terjadi bencana banjir di TTS Gubernur NTT tanpa malu-malu menyatakan bahwa rakyat perlu menjaga lingkungan, harus melestarikan lingkungan. Padahal di sekitar situ ada lokkasi tambang mangan. Perntanyaan rakyat yang salah atau negara melalui grupnya..
March 12 at 2:53pm · Like ·  2 people
Hendarmin Ranadireksa ‎@Anton Isdarianto. Dengan berat hati saya harus menyatakan KPK dalam wajahnya yang sekarang adalah KPK yang sudah diamputasi oleh lembaga eksekutif & legislatif (Tipikor sudah lebih dulu). KPK dan Tipikor hanya jadi mainan. Harapan saya hanya pada perombakan seluruh sistem dan institusi kenegaraan... Wallahualam.- Salam.-
March 12 at 2:59pm · Unlike ·  5 people
Anton Isdarianto ‎@ P.Hendarmin : Setuju. Kita ambil sebagai asumsi, Obyektif (Tujuan) kita adalah Perombakan Seluruh Sistem dan Institusi Kenegaraan........ Ada beberapa "metode" yang terhampar di depan mata kita untuk mencapai tujuan ini: 1. Dengan Coup d...See More
March 12 at 4:20pm · Like ·  1 person
Herry Naif KPK jugatidak bisa diharaapkan. Selama ini belum ada kasus yang terselesaikan sebai contoh. Jadi tidak ada manfaatnya
March 12 at 7:27pm · Like
Sonny Djatnika Sunda Djaja NTT dan NTB kesuburan tanahnya memang kurang menguntungkan.... Bukan tambang yang harus jeda, tetapi tambang harusnya berbasis kesejahteraan masyarakat setempat.... Pengelolaan Tambang Berbasis Masyarakat-lah yang saat ini dibutuhkan.....
March 12 at 7:34pm · Like
Richard Adinegoro NKRI = facsist !
March 12 at 11:51pm · Like ·  1 person
Herry Naif Bung SDSD, Siapa bilang itu kan hanya pelabelan bagi NTT. Tetapi memang tidak pernah ada sebuah pola pendekatan yang tepat untuk pengembangan sektor-sektor potensi yang bersentuhan dengan rakyat.Misalnya pertanian dan peternakan. Smua itu dilakukan krn warisan. bukan krn bantuan teknologi tepat guna dan rama lingkugna kan.
March 13 at 12:24am · Like ·  1 person
Sonny Djatnika Sunda Djaja NTT dan NTB cukup banyak LSM, NGO dan GO yang membantu, sebagian besar dana LN, dengan pesan sponsor tentunya.... sering teknologi yang diberikan adalah impor dan cukup baik.... Masalahnya tambang disana juga banyak dilakukan atas sponsor pusat.... Bijaklah memanfaatkan anugrah SDA sebaik-baiknya dan peliharalah lingkungan karena itu tugas manusia.... Jangan dengarkan suara yang datang dari luar.... jangan percaya bahan tambang non-renewable.... Rakyat perlu makan, saat negara belum mampu, rakyat bisa usaha sendiri... Hanya demi lingkungan, haruskah rakyat dikorbankan? Contohlah green peace di LN, mereka berhitung dengan baik, meloloskan tambang selama SDA akan mensejahterakan warga selama dikelola dengan baik.....
March 13 at 12:55am · Like ·  1 person
Herry Naif Iya berarti anda sepakat dengan saya kan, bahwa sektor2 lain pun pasti membantu hidup rakyat. Ini hanya karena pengembangannya yang penuh dengan Korupsi kan. Makanya rakyat (petani) tidak merasakan dampaknya.........
March 13 at 12:58am · Like ·  2 people
Anton Isdarianto Jadi, mau ada proyek apapun, mau proyek pertambangan kek, pertanian, atawa perkebunan kek, itu kan harus memenuhi syarat dan akedah "pembangunan berkelanjutan" kan?, dan juga, proyek2 tsb musti diawasi KPK agar korupsi yang terjadi bisa dih...See More
March 13 at 7:00am · Like
Anton Isdarianto Pembangunan berkelanjutan = Sustainable development. Sebuah konsep pembangunan yang hirau kepada masalah lingkungan dan kelestarian alam.
March 13 at 7:02am · Like
Hendarmin Ranadireksa Tidak mudah menjawab itu. Akan saya jawab semampunya.

1. Tentang Kudeta (coup d’etat). Produk kudeta adalah penguasa tiran. Jangan terulang lagi era ’Demokrasi Terpimpin’ ala Sekarno (1959-1966) yang muaranya inflasi 650% dan lilitan utang LN (US$ 2,5 M thd kemampuan ekspor yang ‘hanya’ US$ 0,5 M), jangan terulang lagi era ‘Demokrasi Pancasila’ era Soeharto (1966-1998) yang muaranya adalah anjloknya kurs rupiah thd USD dari US $1,- : Rp 2500,- hanya dalam beberapa bulan anjlok menjadi 1 : 15.000,- juga lilitan utang LN/DN (Utang LN: Pemerintah UD$ 140 M + Utang Swasta US$ 135 M; Utang DN Rp 650 T thd kemampuan ekspor k.l. USD 60 M).

Sejauh yang saya pelajari, sifat dan latar belakang pengkudetaan di mana-mana sama, memandang enteng masalah ekonomi. Umumnya sang pengkudeta meyakini bahwa pembangunan ekonomi bisa diatur lewat pola komando. Namun, fakta empirik berbicara lain. Belum ada contoh pengelolaan ekonomi dengan sistem komando ’ berhasil menghadirkan kesejahteraan.

Nasib pengkudeta juga rata-rata sama (kekecualian tentu saja ada), pengkudeta dikudeta penggantinya atau runtuh oleh aksi massa yang lelah menunggu tidak kunjung hadirnya kesejahteraan.-

2. Tentang Revolusi. Revolusi bukan produk desain. Revolusi berkait dengan ‘matang’ atau tidaknya iklim politik (luar dan dalam negeri). Revolusi umumnya terjadi pada sistem pemerintahan/politik yang tertutup/represif. Karenanya, menurut hemat saya (bisa saja salah), sulit bagi munculnya revolusi di Indonesia (produk gerakan reformasi th 1997/1998 adalah keterbukaan / transparansi). Pemerintah yang tidak paham ini masih mencoba melakukan kebohongan-kebohongan publik, yang ujungnya ya akan ketahuan juga (pers tidak bisa dibungkam lagi).

3. Cara konstitusional. Sepertinya alternatifnya tinggal ini. Namun sekedar menyandarkan harapan pada rezim pengganti hampir pasti akan menuai kekecewaan. Persoalan paling mendasar yang dihadapi negeri ini (sejak merdeka) bukan pada pemimpinnya melainkan pada ketidakadaan visi bangsa (ke mana arah & tujuan negara, dengan apa negara membangun, dll). Hanya setelah ada visi bangsa maka visi politik, visi ekonomi, dan visi budaya bisa dibuat.

Akan ternyata dalam bahasan / analisis lebih lanjut, sebaik apapun visi akan tidak mungkin berjalan dalam sistem bernegara yang seperti ini. Kepemimpinan yang baik (pilihan rakyat) hanya bisa diharapkan pada sistem yang jelas dan jernih, bukan pada sistem yang ruwet dan/atau serba tidak jelas. Catatan: Hampir semua negara memulai perubahan secara fundamental dengan terlebih dulu merombak (menyempurnakan, atau apapun namanya) konstitusinya.

Forum ini dimaksudkan FIS untuk menggali, menganilisi, mengkritisi, adakah tawaran visi bangsa dan perbaikan konstitusi memiliki dasar pijakan kuat atau sebaliknya.

Salam.-
March 13 at 10:47am · Unlike ·  3 people
Anton Isdarianto SETUJU.
March 13 at 11:29am · Like

No comments:

Post a Comment