(Dicuplik dari Hendarmin Ranadireksa, "VISI BANGSA. Gudang Pangan, Tujuan Wisata, dan Paru-paru DUNIA", Permata Artistika, 2000)
A. Gudang Pangan Dunia.
Dunia akan selalu dihadapkan pada kebutuhan pangan yang dari waktu ke waktu terus meningkat, akibat terus meningkatnya populasi. Di sisi lain masyarakat internasional tidak mungkin mengelak dari tuntutan moral untuk menyikapi kemiskinan di belahan dunia ketiga akibat iklim yang tidak menunjang, atau akibat tanah yang kurang subur, atau akibat kendala terbatasnya lahan pertanian yang memenuhi persyaratan ekonomis, ataupun produk sistem pemerintahan yang korup. Dunia, terlebih khusus PBB, prihatin akan kerawanan pangan yang melanda sebagian umat manusia. Pangan adalah komoditas yang tidak semata berfungsi sosial, namun juga memiliki nilai ekonomis tinggi. Pangan memiliki nilai strategis. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang, dan kini Korea Selatan dan Cina, sangat serius dalam membangun dan mengembangkan sektor pertaniannya. Negara di Asia Tenggara, tetangga Indonesia yang berada di gelang katulistiwa, seperti Thailand sejak sebelum PD II, telah memilih pertanian sebagai fondasi perekonomiannya. Thailand dikenal dunia sebagai negara di kawasan Asia Tenggara yang menguasai bio-teknologi.[i] Tidak hanya di sektor pertanian, Thailand, sebelum akhirnya disusul Cina, sejak beberapa waktu menduduki peringkat pertama sebagai negara penghasil laut terbesar dunia. Menyusul kemudian Vietnam, negara pemenang perang, namun tidak mabuk kemenangan, sangat cepat memulihkan diri dari luka-luka akibat peperangan. Vietnam mengikuti jejak Thailand, juga memulai pembangunannya dari sektor pertanian.[ii] Beras Vietnam kini memasuki pasar internasional, yang salah satunya adalah Indonesia, sebagai salah satu negara pengimpornya.
Dua pertiga rakyat Indonesia adalah petani dan nelayan dan dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut. Sepanjang tahun cahaya matahari menyinari bumi persada yang membentang luas yang tanahnya memiliki tingkat kesuburan amat tinggi. Secara obyektif pilihan pembangunan yang menempatkan sektor pertanian dan sektor kelautan[iii] sebagai prioritas utama adalah pilihan yang paling masuk akal. Dalam kaitan itu, Indonesia tidak boleh mengulang kebijakan keliru Orde Baru, yang mungkin akibat budaya seragam yang melekat dalam kultur militer, juga menyeragamkan makanan pokok beras bagi seluruh penduduk Indonesia. Dampak kebijakan yang menjadi boomerang karena, seperti kemudian terbukti, berujung pada kesulitan negara memenuhi kebutuhan beras sebagai makanan pokok bagi rakyatnya. Maka ke depan, kebijakan pertanian perlu memperhatikan budaya setempat. Rakyat setempat harus dibebaskan untuk memilih makanan pokok yang sesuai dengan kondisi alam setempat, seperti sagu untuk Maluku dan Papua dan mungkin jagung untuk makanan pokok masyarakat Madura. Keragaman fertilitas tanah di beberapa wilayah tertentu berkait langsung dengan penentuan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi setempat.
Namun mentargetkan pembangunan hanya untuk sampai pada swasembada pangan tidaklah cukup. Indonesia harus berani lebih jauh memasang target. Sumber daya manusia, sinar matahari diatas tanah subur dan laut luas membentang, yang berada di dalam wilayah sendiri, adalah modal awal yang patut bahkan, harus bisa dimanfaatkan secara benar. Sangat disadari, dalam memilih produk unggulan yang bertumpu pada pertanian dan kelautan, di era globalisasi yang menganut perdagangan bebas, tidaklah mudah. Indonesia harus mampu dan sanggup bersaing, agar komoditas negara bisa menembus pasar internasional. Dengan sentuhan teknologi dan manajemen modern dan, tidak alergi untuk bekerja sama dengan pihak asing, produk pertanian dan hasil laut Indonesia akan mampu bersaing di pasar internasional. Terlalu banyak komoditas pangan bernilai tinggi, dari lahan di darat maupun dari hasil laut, yang menghasilkan devisa yang menjanjikan bagi negara.
Maka, dengan kondisi objektif seperti itu, membayangkan dan mencita-citakan Indonesia sebagai gudang pangan dunia bukan utopia. Indonesia harus merasa terpanggil, sebagai sesama warga dunia, untuk ikut berkontribusi mewujudkan dunia yang lebih baik. Dampak langsung dari keberhasilan Indonesia dalam program adalah ‘terkuasainya’ wawasan nusantara, yang selama ini lebih dilihat sebagai kepemilikan diatas kertas dan lebih banyak dinikmati nelayan asing, Thailand, Taiwan, Korea, Jepang, dll. Dalam fungsi dan posisi semacam itu, Indonesia akan dijaga eksistensinya oleh komunitas internasional. Indonesia harus berani menempatkan dirinya menjadi bagian dari Gudang Pangan Dunia.
[i] Birma, hingga era tahun ‘50-an adalah juga gudang beras dunia, namun pemerintahan militer telah melumpuhkan sistem ekonomi dan pertanian negara tersebut.
[ii] Dunia mengenal bangsa Vietnam sebagai pejuang tangguh, ulet, disiplin, dan cerdas. Vietnam, adalah negara Asia yang berhasil melumpuhkan kekuatan Perancis (1955) dan Amerika Serikat (1975), saat kedua negara tersebut berusaha menaklukkan negerinya. Vietnam juga menggagalkan serbuan Cina (1979) saat tentara negara tersebut masuk ke negerinya. Sebelum memukul mundur pasukan Cina, Vietnam ‘sengaja’ memberi kesempatan pasukan Cina masuk beberapa kilometer ke dalam wilayah Vietnam. Catatan: Deng Xiaoping menutupi kegagalan penyerbuan yang gagal tersebut sebagai, sengaja untuk ‘memberi pelajaran’.
[iii] Dalam sejarahnya, Indonesia belum pernah memiliki konsep pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pertanian dan kelautan, yang didasarkan atas visi tertentu. Kemiskinan laten yang mendera petani dan nelayan sampai dengan lebih dari setengah abad usia kemerdekaan merupakan fakta yang tak terbantahkan. Obsesi ingin segera menjadi negara maju berbasis industri – khususnya sejak Orde Baru – diterjemahkan dengan memprioritaskan industri manufaktur tanpa konsep jelas. Pembangunan diartikan terlampau sempit, terkesan cenderung ‘tanpa jiwa’, hanya pada upaya meningkatkan dan/atau menjaga laju pertumbuhan dengan sebesar mungkin meraih investor.
Industri manufaktur memang marak. Kawasan industri dibuka di mana-mana, khususnya di pantai utara Jawa yang celakanya, dengan mengorbankan lahan pertanian subur yang sudah tertata baik. Penguasa secara sadar atau tidak seakan menanamkan pemahaman bahwa pertanian adalah bagian dari masa lalu, era agraris, yang sudah harus ditinggalkan. Pertanian dipahami sebagai ‘keterbelakangan’, tidak produktif dan tidak menguntungkan pembangunan. “1-juta ton beras sama harganya dengan satu buah pesawat terbang. Mengapa harus bersusah payah menanam padi?”, adalah kalimat terkenal yang sering diucapkan B.J. Habibie, Menristek yang juga merangkap sebagai Direktur Utama industri pesawat terbang IPTN. Sebuah statemen yang bukan hanya kurang mendidik bahkan lebih dari itu cenderung menyesatkan, karena langsung atau tidak langsung menggerus kebanggaan dan harga diri petani.
Hendarmin Ranadireksa
Wednesday at 2:31pm · Unlike · Report
You, Denni Hopkins Full II, Heris Erlina Indah and 2 others like this.
No comments:
Post a Comment