Saturday, April 2, 2011

3. A. VISI POLITIK. (4)

8. Tentang Wawasan Nusantara.
Dengan diterimanya klaim Indonesia oleh PBB atas ZEE (zone ekonomi eksklusif) sejauh 200 Mil-laut yang dihitung dari pulau-pulau terluar Indonesia, maka luas daratan dibanding luas laut bisa mencapai 12% berbanding 88%. Artinya luas laut Indonesia meliputi mendekati empat perlima dari keseluruhan ZEE atau, setidaknya, tiga perempat ¾ wilayah Indonesia adalah laut apabila wilayah ZEE tidak masuk dalam perhitungan.[i] Adalah pada tempatnya Indonesia mencantumkan secara tegas dalam konstitusinya sebagai negara maritim. Menyebut diri sebagai negara maritim (dengan ribuan pulau-pulau besar kecil di dalamnya) lebih bernuansa keutuhan wilayah. Sebutan negara maritim lebih memberikan sugesti keutuhan wilayah ketimbang menyebut diri sebagai negara kepulauan (yang seakan terlepas satu dengan lainnya) yang dihubungkan oleh laut. Menyebut diri sebagai negara maritim akan berpengaruh kuat pada karakter, mental dan watak bangsa. Karakter pembangunan ekonomi negara maritim berbeda dengan negara kepulauan demikian pula visi pertahanan dan pengamanan wilayah negara maritim berbeda dengan negara kepulauan.


9.  Tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peran Militer.

Coreng moreng wajah militer (dh ABRI) di mata rakyat adalah  karena Orde Baru menempatkan militer ikutserta, bahkan dalam posisi menetukan, di ranah politik. Nuansa dalam dunia politik adalah pro dan kontra yang berujung pada adanya ‘pihak sini’ dan ‘pihak sana’. Konsep ‘dwi fungsi ABRI’ menyeret militer dalam kondisi itu. Militer, sebagai alat negara yang seharusnya bebas dari politik praktis mengubah diri menjadi bagian dari politik bahkan lebih dari itu menjadi unsur penentu kekuasaan. Militer berpolitik, menjadi alat politik dan unsur sekaligus alat kekuasaan. Tercipta kemudian penguasa yang dikomandoi dan dikendalikan militer dan rakyat yang harus tunduk dan patuh pada kekuasaan yang tidak lain adalah militer. Dalam kondisi semacam itu jelas posisi militer berseberangan dengan rakyat. sebagai unsur sekaligus alat kekuasaan dan lebih ditakuti ketimbang disegani. Militer menjadi terlepas dari hati dan simpati rakyat.

Militer dalam negara yang berdaulat mutlak harus ada. Noda hitam militer terjadi karena perannya di bidang politik. Oleh karenanya,  militer harus secepatnya keluar dari wilayah politik praktis, menjadi militer profesional dengan norma, aturan, dan perilaku yang juga profesional yang akan berhasil apabila didasarkan atas kehendak sendiri bukan akibat tekanan eksternal. Hal tersebut memang dimungkinkan karena militer menganut sistem hierarkhis dan sistem komando. Dengan demikian untuk menempatkan militer kembali menjadi tentara profesional, cukup statemen pimpinan tertinggi militer. Secara universal fungsi dan peran militer adalah garda terdepan negara sebagai pelindung bangsa dan penjaga kedaulatan negara dari ancaman serangan musuh yang datang dari luar. Musuh militer adalah musuh bangsa. Dalam fungsi itu militer membutuhkan kepercayaan rakyat. Maka di dalam negeri militer harus sudah mengakhiri kesan adanya musuh di dalam negeri yang sejatinya tidak lain adalah bagian dari rakyat itu sendiri.

Di era perjuangan mempertahankan kemerdekaan laskar rakyat, eks pasukan pembela tanah air, eks militer Hindia-Belanda, yang kemudian menjadi tentara resmi, dicintai rakyat karena merekalah yang bertempur menghadapi tentara pendudukan/tentara Belanda. Militer, di manapun di dunia, adalah alat negara yang mampu menggugah bawah sadar masyarakat untuk mencintai dan berbakti bagi nusa dan bangsa. Defile, pawai bendera, latihan perang baik sendiri ataupun bersama-sama negara lain yang ditayangankan TV adalah bagian dari cara memelihara jiwa patriot dan cinta tanah air. Tidak bisa lain militer harus kembali menjadi kebanggaan dan dicintai rakyat. Militer harus kembali menjadi garda terdepan pertahanan negara.    

10.  Tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peran Polisi.

Dalam keadaan damai, polisi adalah aparat negara yang berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai institusi yang lebih tiga dekade berada dalam naungan ABRI, tidak mudah bagi polisi untuk sertamerta mengubah gaya dan perilaku yang kemiliter-militerannya. Kendati ABRI telah dipisah menjadi militer (TNI) dan polisi (Polri) namun budayamiliter masih kental dalam kehidupan kepolisian. Tanda pangkat dan kepatuhan pada komandan masih menggunakan cara-cara militer. Padahal sangat jelas polisi seharusnya merupakan bagian dari supremasi sipil. Kedudukan institusi kepolisian yang langsung di bawah presiden (kebijakan pemerintahan Abdurrahman Wahid) setelah sebelumnya ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (kebijakan pemerintahan Habibie), menjadikan institusi tersebut tidak berbeda dengan ABRI yang berdwifungsi. Polisi layaknya ABRI (minus TNI) yakni institusi top-down (kultur militer) yang berada wilayah bottom up (kultur sipil).

Kekuatan dan/atau kewibawaan polisi tidak boleh terletak pada adanya garis komando dan/atau karena dilengkapi dengan senjata api. Kekuatan polisi sesungguhnya terletak pada fungsinya selaku alat negara yang menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban berdasarkan undang-undang. Keamanan dan ketertiban bukan hanya kebutuhan presiden (selaku kepala negara dan kepala pemerintahan) namun dibutuhkan oleh semua penyelenggara negara dan terlebih utama lagi, dibutuhkan rakyat. Sebagai misal, selaku alat negara yang melaksanakan fungsi keamanan dalam suatu lingkungan hunian, petugas kepolisian tidak sekedar harus mengenal seluk beluk wilayah, lebih dari itu, ia harus mengenal dan dikenal baik oleh masyarakat setempat. Maka adalah janggal apabila polisi bisa dan biasa menerima untuk ditempatkan dan/atau bertugas di manapun dalam wilayah negara, sebagaimana layaknya militer. Selaku alat negara untuk melaksanakan ketertiban yang bekerja untuk dan atas nama negara (undang-undang) seyogyanya tidak menjadi soal bagi polisi adakah akan ditempatkan ‘di bawah’ pimpinan kampus (rektor), walikota, ataupun gubernur. Selaku alat negara untuk melaksanakan fungsi keamanan (anti narkoba, puslabfor, penyelidikan & penyidikan, penyelundupan, penjaga pantai, dll) yang operasinya meliputi seluruh wilayah negara maka polisi berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Untuk fungsi tugas lintas negara maka tergantung pada kebijakan negara masing-masing (di bawah Departemen Pertahanan atau, Departemen Luar Negeri atau, departemen Dalam Negeri).

11.  Tentang Badan Intelejen Negara.

Badan Intelijen Negara yang fungsi dan tugasnya berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan negara mutlak harus di bawah Presiden. Sedangkan badan intelejen yang fungsi dan tugasnya untuk keamanan masyarakat sipil cukup di bawah Departemen Dalam Negeri.


[i] Lihat Bab 6.

Hendarmin Ranadireksa
Wednesday at 3:17pm · Like · Report
Denni Hopkins Full II, Mbah Barong and Hamdhi Anwar like this.

No comments:

Post a Comment