JAYA! RAHAYU – WIDADA – MULYA.
Para Kadang Sutresna yang sangat kami mulyakan.
Mohon maaf, kami absen beberapa hari karena sedang ada muhibah ke Sungai Purba MAHAKAM, dan kerajaan Hindu yang tertua yakni Kutai (Karta Negara) walaupun sebetulnya ada yang mendahuluinya yakni sebelum Masehi dengan adanya kerajaan Medang Kamulan (Purwadadi, Jawa Tengah) dimana rajanya Sri Maha Punggung III (Sri Aji Saka) pada tahun 78 M telah menggubah Huruf Carakan ( HA – NGA), namun sayang itu tidak diajarkannya pada anak didik. Quovadis.
Saat ini, Hati Anda, hati saya, hati kita yang “masih kedunungan rasa ing pangrasa” tentu merasa betapa kita jengkel, marah, prihatin, terharu, berontak, dan atau sebaliknya apatis ? melihat segala kejadian di sekitar kita ini baik apakah itu erupsi dan tsunami politik seperti kasus : Bank Century, Gayus, permafiaan, joky napi, rekening gendut elit bayangkara Negara, gonjang – ganjing RUUK DIJ, coin untul presiden, angket mafia pajak DPR, yang segera diikuti isu pendepakan Golkar & PKS dari koalisator Sekgab penopang Pemerintah serta reshuffle KIB Jilid II dan dehumanisasi kasus Cikesik, Temanggung dll atas nama agama, hingga mendunianya “Pak SBY abused (of) power” yang dilansir oleh The Age & Sidney Morning Herald di tengah kedikdayaan alam yang meluluh lantakkan negeri matahari terbit dan atau negeri Sakura belum lagi derita dan ancaman dari ekses kecanggihan tehnologi manusia tentang “NUCLEAR”, yang toh apapun kehebatan manusia tak ada apa – apanya bila dibanding “senjatanya TUHAN yakni bumi, air, angin dan api”. Sic transic Gloria mundi!
Sungguhpun demikian kita salut pada “kemandirian dan harga diri bangsa Jepang yang menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai bangsa yang tersinari oleh energi Surya sebagaimana alegoris namanya”.
Sungguh ironis manusia yang didapuk sebagai Khalifah – NYA yang seharusnya mau dan mampu mengambil hikmah di balik itu semua namun justru ego & anarkisme kembali dipertontongkan oleh orang yang (selalu) merasa amat religius, holyman, paling benar & keakuan lainnya dengan menebar terror “BOOK BOMB”, di tiga tempat pada 15 Maret 2011 yang melukai 7 orang termasuk petugas kepolisian yang ceroboh. Buku Ancaman pembunuhan ratusan orang yang membuat bergidik bulu kuduk adalah kelanjutan dari cara – cara anarkis, memaksakan kehendak, ancaman bahkan terror gaya baru dengan mengobral paket parcelbook, dimana masyarakat masih saja menilai bahwa Negara absent untuk melindungi setiap warganya dan terkesan membiarkan “dehumanisasi” itu berjalan terus, yang dibantah oleh Pak Beye.
Sementara PANCASILA sebagai rahim kebudayaan, jiwa/nurani bangsa, alat pemersatu bangsa, dan multi guna & status lainnya pun telah diabaikan sendiri oleh para penyelenggara Negara. Depancasilaisasi dengan pengkerdilan Sila – Sila Pancasila melalui prodak amandemen UUD 1945 adalah bentuk pengkhianatan terhadap komitmen moral – spiritual bangsa yang telah diwariskan oleh Founding Fathers.
Para jawara Panitya Ad Hoc MPR 1999 – 2004 dan seluruh anggota MPR, merasa atau tidak, suka maupun tidak, sengaja maupun tidak, secara sepiritual telah berjamaah menghancurkan bangsa & negaranya sendiri! Bagaimana tidak? menghayati butir – butir Pancasila saja tidak mampu namun justru membuat “JUKLAK BARU”, dengan UUD 2002 namun diberinya stigma UUD 1945. Bentuk pembodohan rakyat, apa lagi tanpa mandate rakyat dan tidak termasuk agenda tuntutan reformasi pari purna. Anehnya Akang Amin Rais sebagai Ketua MPR pernah menyatakan kebanggaannya bahwa : “Amandemen UUD 1945 adalah maha karya MPR yang bijak bestari”. Tapi setelah melihat carut marut berbangsa dan bernegara ini yang semakin akut dan amandemen UUD sama sekali tidak membawa kemaslahatan toh akhirnya dia pun “binun”. Kita semua dilibatkannya untuk menjadi “
bangsa durhaka” – membuat “dosa kolektif bangsa”! Wahai anggota MPR 1999 - 2004, tidakkah engkau sadari atas maha karyamu itu ? Menyesal tidak cukup! Minta ampun sudah sewajarnya! Namun siapa yang berani jujur ?.
Maka ambiguitas rezim Pak Beye hanyalah salah satu akibat dari pengkhianatan dasar Negara tersebut. Sayangnya Pak Beye tidak ada nyali untuk mengeluarkan Dekrit guna kembali pada PANCASILA & UUD 1945 Pra - amandemen. Sedangkan kedudukan beliau juga sebagai “PANGLIMA TERTINGGI YG SAPTAMARGAIS” yang paling bertanggung jawab terhadap PANCASILA & UUD 1945. Kesalahan pendahulunya Pak Harto yang menyalah gunakan SUPERSEMAR hendaknya jangan terulang kembali!
Memang Perubahan adalah keabadian itu sendiri dan merupakan sunatullah bahkan dalam literature Hindu terdapat sesanti “Pantarae”. Hanya mestinya perubahan yang dilakukan oleh elit negeri ini adalah perubahan yang ‘PERFECTION PERFECTED”! Menyempurnakan yang telah sempurna sebagai konsekwensi “Negara berdasarkan atas KETUHANAN YG MAHA ESA”!
PANCASILA, yang oleh tahta Vatikan dinyatakan “sebagai maha karya & sumbangan terbesar bangsa Indonesia ini di bidang ‘spiritual’ bagi dunia sementara bangsa Barat sumbang sih terbesarnya adalah bidang “tehnologi”. Maka tidaklah aneh bila NPKRI ini hanya dapat ditatalaksanakan dengan pijakan “philosophie, religie & watenshaap”. Keduanya itu harus dapat seiring sejalan dan saling melengkapi maka tatanan dunia baru (yang diidam-idamkan dan diperjuangkan oleh Bung Karno) sebagaimana amanat Preambule UUD 1945 itu pasti dapat terwujud.
PANCASILA, sejatinya adalah idiologi dunia “jalan tengah”, bukan sebagai Negara agama dan bukan pula sebagai Negara sekuker. Bahkan PANCASILA itu sendiri begitu ajaibnya yang juga dapat berfungsi sebagai “ALAT UKUR KWALITAS BERBANGSA & BERNEGARA”, measurement quality tool!. Dengan “Key answering” menggunakan Sila II, Kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. SIMBULISME FUNGSI JARI - JARI
Keelokan jari – jari tangan, kelimanya memiliki fungsinya masing – masing demikian juga kerja sama antar jaripun memiliki nama dan fungsinya sendiri – sendiri seperti :
Ibu Jari (Jempol) sebagai simbulisme yang serba hebat, baik, luhur dst.nya. Karena sebagai lambang kebaikan bagi komunitas Kraton Jogya atau Solo dijadikan penunjuk, sekalipun jari telunjuk itu ada. Inilah kesantunan.
Jari telunjuk merupakan penunjuk terhadap sesuatu secara umum, yang secara filosofis ke empat jari lainnya terlipat seperti yang selalu dilakukan bagi umat muslim yang sedang bersembahyang pada atakhiat awal dan akhir selalu dilakukan. Kita hendaknya sadar bahwa ibarat kesalahan orang lain itu hanya satu namun diri kita sering tidak merasa bahwa telah berbuat kesalahan lipat 4! Maka pada saat salam menengok ke kanan dan ke kiri. Ada apanya di kedua samping kita tersebut ?. Apakah kepedulian kita dan tanggung jawab kita bila melihat tetangga kanan – kiri kita sedang menderita, kesusahan & lain sebagainya ? Juga ingat bahwa di kanan – kirimu itu ada penjaganya, birokrat – NYA, yang selama ini tidaklah kita sadari atau bahkan tidak kita imani sedangkan dalilnya jelas!
c. Jari tengah adalah lambang yang tertinggi yang disebutnya panunggul.
Jari manis, adalah jari yang merupakan tempat untuk memperindahnya dengan cincin.
e. Kelingking adalah simbul sosok yang terkecil, simbul rakyat jelata.
Lima tetapi satu,satu tetapi lima, lima untuk satu, satu untuk lima! Nyaris identiok dengan Pancasila. Dengan kedua tangan dan kedua kaki maka jumlahnya 20, alegoris yang merupakan sifat TUHAN, & jumlah huruf Jawa dll.
3. KERJA SAMA JARI - JARI :
Bila semua jari disatukan maka disebut “mengepal” dan daya kepalan ini maha dahsyat. Dalam mitos bagaimana Mas Karebet, Jakatingkir yang kemudian menjadi Sultan Hadi Wijaya, dengan kepalan tangannya mampu menghancurkan kepala banteng yang sedang mengamuk!. Oleh sebab itu disitulah alegegoris dari persatuan dan kesatuan. Sungguhpun demikian kita tidak boleh sekali kali meremehkan yang kecil seperti “Sang Kelingking”, karena yang paling kecil ternyata menjadi penentunya. The real kingnya. Rakyat adalah sang pemilik kedaulatan itu sendiri, maka para elit penyelenggara Negara jangan sok karena akan terkena karmanya. Maka bagaimana “pekik merdeka” senantiasa dengan mengangkat kepalan tangan. Ibarat esensi air, pasir, semen, koral (batu split), besi. Bila masing – masing terpisah sama sekali tidak mempunyai daya guna yang luar biasa. Namun bila semuanya disatukan, berpadu dengan ukuran yang tepat dan pas akan menjadi tiang beton yang akan mampu menyangga beban ratusan ton beratnya. Maka filosofi “tiang beton”, nampaknya menggantikan filosofi “Sapu Lidi”. Oleh sebab itu hendaknya yang menjadi air jadilah air yang baik jangan ingin menjadi pasir. Sebaliknya yang menjadi pasir pun jadilah pasir yang baik jangan ingin menjadi semen! Dan seterusnya. Dalam kitab Weda terdapat sesanti “Dharma eva hota – hanti” yang selalu disitir oleh Bung Karno yang artinya kuat karena bersatu – bersatu karena kuat!
Bila ke lima ujung jari itu disatukan guna mengambil sesuatu namanya “jumput” seperti untuk biji – bijian, beras, kedelai dll. Nah kalau untuk makan dengan ke lima jari namanya “muluk”.
Bila ujung ibu jari dengan ujung jari telunjuk disatukan untuk mengambil sesuatu namanya “jimpit”. Sebaliknya bila telunjuknya untuk menyakiti maka dinamakan “slenthik”.
Bila ujung ibu jari dengan ujung jari tengah merupakan simbulisme dalam samadi.
Bila jari telunjuk dengan jari tengah didirikan maka artinya simbolisme “VIVA”, jayalah! Atau symbol metal!
Bila kelingking yang didirikan maka simbulisme “Ah, kecil”!
4. SIMBOLISME PANCASILA
Nah dalam rangka memasyarakatkan dan memudahkan pengertian PANCASILA dimana saat ini telah banyak dilupakan oleh anak – anak bangsanya apa lagi penghayatannya yang tentu amatlah minim apa lagi ada sebagian umat Islam yang mengharamkannya, sehingga bangsa ini tercerabut dari akar – akar budayanya sendiri akibatnya nuraninya gelap gulita karena terperosok dalam ego kebenaran. Maka tidaklah aneh bila sejak bangun pagi hingga mau tidur yang disuarakan adalah rasa permusuhan, rasa kebencian yang absen rasa kasih sayang. Sedangkan TUHAN SERU SEKALIAN ALAM, adalah maha Rahman & maha Rakhim, yang justru tidak dihayati, terefleksi sedikitpun Kemahaan – NYA tsb.
PANCASILA yang merupakan rahim kebudayaan adalah “jati diri bangsa” yang identik dengan telapak tangan yang terlihat adanya rajah yang merupakan sesuatu yang melekat pada diri kita sebagai adi kodrati mahkluk – NYA, yakni diri kita masing – masing. Maka sungguh ironis bila rajah telapak tangan kita, jusru kita gadaikan atau tukarkan dengan rajah tangan orang lain. Bisa jadi itulah kekufuran, ketidak syukuran kita kepada Sang Khaliq.
Alegoris Sila – Sila Pancasila sebagai berikut :
a. Sila I, KETUHANAN YANG MAHA ESA, dapat disimbulkan dengan Ibu jari, Thomb atau mother of fingers. Mengapa ? Ibu jari atau jempol mimiliki filosofis sebagai ibu atau mataram (mother, muther,mater). Yang dalam budaya kearifan Nusantara juga dinamakan sebagai “Wikuning Rasa”.
Wiku adalah identik dengan kaum Brahmana, penghayat ajaran TUHAN, Bahman yang digolongkan sebagai kasta tertinggi.
Dalam liturgy umat Christiani merentangkan tangan, ,merupakan tanda penyerahan diri kepada kehendak Allah. Yesus merentangkan tangan di kayu salib. Dengan merentangkan tangan, orang membuka seluruh genggaman/kepalan tangan, dengan arti kita membuka seluruh genggaman/kepalan sebagai wujud menyerahkan yang kita miliki kepada TUHAN. Merentangkan tangan dilakukan oleh imam ketika mendoakan pembukaan dan penutup ekaristi, doa persembahan, doa Bapa Kami, dan Doa Syukur Agung, serta dilakukan oleh umat ketika menyerahkan hidup dan segala permohonan kepada Tuhan. Dalam Islam, disimbulkan dalam gerakan “ta’biratul ikhram”. Mengangkat kedua belah tangan sebagai tanda menyerah secara total atau esensi arti islam itu sendiri. Dalam peperangan, angkat tangan kepada musuh adalah menyerah!
Sebaliknya “Jempol atau Ibu Jari”, merupakan satu – satunya jari yang justru dapat melindungi jari – jari yang lain, atau dengan kata lain tak ada sebuah jaripun yang mampu menyentuh ibu jari (tanpa ridhonya/atau dalam keadaan tetap tegak)!, sebaliknya ibu jari dapat menyentuh mereka bahkan ia mampu menfungsikannya dalam hal numeric, hitung - menghitung dll. Dia satu – satunya jari yang hanya memiliki dua ruas (buku) yang menyiratkan adanya dua adi kodrati seperti baik buruk, mulia – nista dan seterusnya. Bisa juga lambang dari 20 Sifat TUHAN. Maka segala kebaikan – kebajikan – kebijaksanaan dll. Disimbulkan dengan “JEMPOL” yang tegak! Yang banyak digunakan para facebooker, di dunia maya ini.
Maka dalam pengertian inilah dapat kita nyatakan bahwa alegoris dari Sila I. Simbol “GOD” atau TUHAN! Namun sebaliknya bila dibalik berubah 180 derajat memiliki konotasi yang sebaliknya bisa “DOG (lambang nafsu Syaiton) atau HANTU”, jadi – jadian sebagai esensi yang tidak sempurna, menyimpang, sesat dan sebagainya. Oleh sebab itu sebagai sifat napsu yang diberikan kepada manusia kita diwajobkan untuk menatalaksanakan nafsu kita, jangan sampai nafsu amarah, nafsu luamah atau ada yang menggunakan istilah nafsu rendah janganlah justru dijadikan kusir diri kita, karena bila itu dijadikan panglimanya pasti kita disesatkan dan akibatnya kehidupan ini akan kacau balau sebagaimana para teroris yang justru bangga bila mampu membunuh banyak orang itu yang kini sedang merambah dan mengancam Negara Proklamasi Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.
Nah karena sempurnanya maka sidik ibu jari merupakan tanda pengesahan – mensahkan secara hakiki dengan “CAP JEMPOL”. Dalam ajaran Syiwa Buddha tatwa terdapat sesanti bahwa “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, sebutan-NYA beraneka ragam namun satu jua adanya dan tiada kebenaran (TUHAN) yang mendua”. Kebenaran TUHAN adalah mutlak sehingga amat muskil bahwa TUHAN sebagai sumber penerangan juga sekaligus merupakan sumber kegelapan! Siang dan malam hanyalah rasa kita saja yang terikat dalam ruang dan waktu dimana malam hanyalah suatu keadaan tata surya dimana sinar matahari tertutup oleh bulan sebaliknya bila mata hari itu dilihat dari ruang angkasa maka danya hanyalah terang terus adanya.
Disamping itu bila ruas ibu jari = 2 dan ruas 4 jari lainnya = 12 dan pergelangan tangan 1 maka jumlahnya = 17! Yang merupakan jumlah rakaat dalam shalat wajib 5 waktu bagi umat Islam dan begitu banyak makna – makna lainnya seperti tanggal turunnya wahyu Al – Qor’an, yang terhimpun selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari, juga jumlah rusuk laki – laki, lebar lintang geografis NPKRI (6 LU + 11 LS), jumlah huruf “REPUBLIK INDONESIA”, dan lain sebagainya.
SAMPURNA//BERSAMBUNG
Sriwidada Putu Gedhe Wijaya
March 22 at 9:51pm · Like · Report
Agus Suroto likes this.
No comments:
Post a Comment