Saturday, April 2, 2011

6. B. VISI EKONOMI (1)

(Meningkatkan Daya Beli Bangsa)

Dicuplik dari Hendarmin Ranadireksa, "VISI BANGSA. Gudang Pangan, Tujuan Wisata, dan Paru-paru DUNIA", Permata Artistika, 2000)

1.  Landasan Konstitusi: Pasal 33 UUD 1945 (original)

1.1   Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan
1.2   Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
1.3   Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang tercantum dalam penjelasan tentang UUD Negara Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun II No. 7 tertanggal 15 Februari 1946).

“Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonoiman disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai negara. Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunkanan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”.

Persiapan amendemen konstitusi masih terus dilakukan untuk kemudian akan disahkan dalam SU-MPR Agustus 2000. Semoga amendemen konstitusi tidak mengubah pasal-pasal diatas menjadi sesuatu yang lain sama sekali. Koperasi, BUMN dan Swasta tidak hanya dikenal di Indonesia, banyak negara maju sampai saat ini masih memberlakukan ketiga pelaku ekonomi dalam kehidupan perekonomiannnya.[i]

2.  Tiga Pelaku Ekonomi: Koperasi , BUMN, dan Swasta
(Menempatkan Koperasi, BUMN, dan Swasta di tempatnya masing-   masing).

Di penghujung abad dua puluh memasuki era globalisasi , peran swasta di seluruh dunia meningkat tajam. Perekonomian negara dalam iklim pasar bebas praktis didominasi peran swasta. Dua pelaku ekonomi lainnya koperasi dan BUMN, di sejumlah negara, pelahan tetapi pasti, mulai terpinggirkan. Hal yang mudah dimengerti karena BUMN yang  terikat struktur kepemilikan tidak mungkin bisa bergerak selincah swasta. Dalam iklim persaingan global fungsi BUMN bukan lagi sebagai penggerak roda perekonomian nasional. Di sejumlah negara BUMN malah lebih sebagai beban bagi perekonomian negara ketimbang sebagai penghasil keuntungan, atau lebih sebagai cost center ketimbang profit center. Banyak negara, khususnya di negara dengan sebutan ‘dunia bebas’, tidak lagi menempatkan BUMN dalam peta pembangunan perekonomiannya. Untuk melakukan penghematan dan/atau untuk memperoleh produk dengan kualitas dan harga bersaiang, sejumlah negara memilih kebijakan melakukan swastanisasi BUMN.[ii]


 Artinya  pembangunan ekonomi lebih dipercayakan pada peran swasta.

Maraknya kebijakan menswastakan BUMN, di ‘dunia bebas’ di era tahun tujuhpuluhan, tidak terlepas dari keberhasilan Margareth Thatcher, Perdana Menteri Inggris, memulihkan perekonomian negaranya melalui langkah tersebut. Tatcher menilai BUMN dalam prakteknya adalah beban bagi negara. Kinerja lamban, kualitas dan produktivitas rendah karena pengelola, yang umumnya birokrat, hampir tidak memiliki jiwa wiraswasta (entepreneurship). BUMN hanya dapat bertahan hidup atau berkembang karena bertumpu pada kebijakan proteksionis dan/atau monopoli yang diberikan negara. Produk BUMN di sektor industri manufaktur praktis tidak memiliki daya saing karena mahal dan berkualitas rendah. Produk BUMN di sektor jasa, bila tanpa proteksi, juga tidak mungkin bisa bersaiang karena dikerjakan asal-asalan, mahal, dan kualitas pelayanan yang selalu buruk. BUMN, dalam praktek, umumnya digunakan sebagai pundi-pundi pendapatan tambahan, langsung atau  tidak langsung, kalangan elit penguasa. Dengan fungsi semacam itu BUMN sejatinya hanya membebani konsumen, karena konsumen yang notabene adalah rakyat, harus membeli produk dan/atau pelayanan selain buruk juga mahal. Dalam praktek BUMN tidak memberi kontribusi berarti di sektor perpajakan.

Proteksi dan monopoli yang dinikmati BUMN juga dinilai menditorsi prinsip persaingan bebas murni yang mensyaratkan bersaing secara fair. Melalui persaingan setiap pengusaha dipaksa untuk menghasilkan produk bermutu tinggi, harga murah, dan desain indah. Kesemuanya hanya mungkin dicapai melalui kerja keras, perhitungan teliti, hemat, efektif dan efisien. Untuk menghasilkan produk bermutu tinggi swasta didorong untuk melakukan penelitian dan pengembangan atau R&D (research and development). Produk bermutu tinggi dan harga murah adalah hal yang dikehendaki konsumen, artinya konsumen memang membayar apa yang menjadi haknya.

Seakan tidak ingin ketinggalan kereta Indonesia periode tahun 90-an, melalui kebijakan deregulasi perekonomian Indonesia 1989 yang lebih dikenal lagi dengan ‘Gebrakan Sumarlin’, membuka pintu lebar bagi swasta untuk masuk ke lahan bisnis apapun termasuk ke lahan yang sebelumnya merupakan lahan garapan koperasi dan/atau BUMN. Dari hari kehari  swasta, yang ironisnya, justru banyak memperoleh fasilitas negara,  makin kuat mendesak dan menggeser peran BUMN dan koperasi (terlebih karena koperasi telah lama diposisikan sebagai wadah usaha khusus bagi masyarakat kecil dan lemah).

Pasca Orde Baru, sebagaimana telah dilakukan negara-negara ‘bebas’, swastanisasi BUMN terus digalakkan. Masalahnya, adakah kebijakan swastanisasi BUMN telah melalui tahap pengkajian matang, ataukah terjadi oleh sebab dan/atau latar belakang kepentingan lain. Benarkah kebijakan swastanisasi BUMN murni tekanan IMF (sejarah berbangsa dan bernegara mencatat seringnya penguasa menciptakan ‘kambing hitam’ yang dengan itu mereka terbebas dari kesalahan), ataukah akibat tekanan kapitalis asing yang bekerja sama dengan konglomerat dalam negeri, menunggangi kebijakan swastanisasi BUMN sebagai entry point bagi masuknya kembali capital flight dalam bentuk usaha lain (usaha lama mereka telah berada pada BPPN karenanya tidak mudah untuk kembali ke tangan mereka). Atau, kebijakan swastanisasi BUMN lebih diakibatkan karena Indonesia tidak memiliki struktur perekonomian jelas bahkan terkesan, semrawut. Maka wajar saja dalam kondisi seperti itu tidak mungkin memperoleh hasil kajian yang bisa dipertanggungjawabkan. Kebijakan yang kemudian diambil, kebijakan apapun, sangat ditentukan kondisi dan situasi yang ada.

Koperasi, BUMN dan swasta, dari sejak Orde Baru berlanjut di era Habibie dan, masih berlanjut lagi di era Gus Dur-Mega, hingga kini (saat tulisan ini diedit ulang)tetap tidak berubah, diposisikan seakan berada dalam satu level yang sama. Sejalan dengan iklim persaingan bebas di era globalisasi koperasi, BUMN dan swasta, ketiganya memiliki lahan garapan sama selanjutnya  dipersilakan bersaing secara fair. Sepintas kebijakan tersebut terlihat adil dan wajar dalam arti, ketiga pelaku ekonomi telah diberi kesempatan yang sama. Maka bila dikemudian hari koperasi ataupun BUMN kalah bersaing dengan swasta mereka dan/atau masyarakat, tidak boleh lagi menyesali karena negara telah memberikan kesempatan sama. Namun benarkah demikian? Apabila dicermati lebih dalam, maka akan ternyata tidak mungkin koperasi dan BUMN mampu bersaiang dengan swasta. Dalam iklim persaingan bebas koperasi dan BUMN hampir selalu terlambat merebut peluang usaha.

Pejabat birokrasi yang ditempatkan di BUMN, yang bukan tipe pengusaha adalah satu hal, tetapi yang paling mencolok adalah perbedaan kecepatan dalam proses pengambilan keputusan (decision making process). BUMN, dan koperasi, praktis tidak bisa mengimbangi kecepata swasta saat diperlukan untuk mengambil keputusan strategis. Swasta yang secara teoritis bisa dikelola  cukup oleh seorang komisaris dan seorang direktur atau, berapapun banyaknya komisaris dan/atau direksi, tetap saja jauh lebih sederhana ketimbang struktur organisasi dan mekanisme kerja BUMN dan/atau koperasi. Mekanisme kerja swasta dimulai dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) (selanjutnya diselenggarakan berkala setiap akhir tahun) untuk mengesahkan rencana kerja tahunan yang diajukan direksi dan komisaris. Setelah RUPS, pemegang saham mempercayakan tugas sehari-hari kepada direksi dengan pengawasan komisaris. Direksi dan komisaris umumnya satu kantor, atau setidaknya, mudah dihubungi karena keduanya memiliki memiliki kepentingan sama, melaksanakan amanat RUPS.

Hal berbeda terjadi pada BUMN dan koperasi. Di BUMN program kerja direksi untuk memperoleh persetujuan RUPS atau sekedar untuk memperoleh persetujuan komisaris tidak sederhana, panjang, dan kadang berbelit. Komisaris BUMN umumnya adalah menteri negara, dalam fungsi dan status ex officio, berkait dengan ruang lingkup kegiatan BUMN. Demikianlah komisaris BUMN terdiri dari Menteri Keuangan, Meneteri BUMN, dan menteri departemen terkait. Untuk memperoleh persetujuan kebijakan, direksi BUMN harus memperoleh persetujuan dari seluruh anggota komisaris, yang celakanya, masing-masing sibuk dengan tugas harian selaku pejabat negara, pembantu presiden. Apabila untuk suatu kebijakan diperlukan rapat koordinasi, maka dapalah dibayangkan berapa lama waktu diperlukan agar dicapai kesesuaian waktu seluruh komisaris yang memiliki jabatan rangkap secara resmi tersebut. Untuk memperoleh tandatangan persetujuan komisaris, direksi perlu waktu, energi, dan kesabaran ekstra. Kelambanan pengambilan keputusan juga terjadi di ‘unit usaha’ koperasi. Proses pengambilan keputusan di koperasi harus melalui rapat dan persetujuan anggota (minimal anggota koperasi adalah 20 orang). Masing-masing anggota memiliki suara sama. Pengambilan keputusan layaknya RUPS di swasta. Maka hanya dari proses pengambilan keputusan saja jelas terlihat swasta jauh lebih cepat.[iii]

 Mudah dimengerti mengapa swasta begitu mudah melakukan ekspansi usaha baik dalam hal pengembangan core business maupun ekspansi yang bersifat diversifkasi. Swasta kembali karena struktur usaha yang dimiliki memang lebih lincah dan lebih luwes. Swasta lebih mudah melakukan deal dengan para pembuat dan pengambil keputusan. Namun demikian, keleluasaan swasta untuk melebarkan sayap tidak semata vertikal namun juga horizontal berupa diversifikasi usaha, berdampak negatif.  Seperti telah diuraikan terdahulu, pengembangan usaha dalam bentuk diversifikasi adalah pengembangan usaha tanpa basis pengalaman usaha. Dalam skala raksasa jadilah ia sebagai konglomerat-konglomerat yang tumbuh dan berkembang lebih pada pengandalan fasilitas, kemudahan maupun proteksi tertentu.

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia (juga negara-negara lain di Asia khususnya Thailand dan Korea) telah membuka mata bahwa konglomerat, yang semula diagung-agungkan sebagai motor penggerak ekonomi negara ternyata penyebab utama krisis. Menggelembungnya utang swasta dalam waktu hanya enam tahun sejak ‘Paket Sumarlin II’ digulirkan 1991, melampaui jumlah utang 32 tahun pemerintah. Hal yang berujung pada menumpuknya utang jatuh tempo, utang swasta dan utang pemerintah. Fenomena tersebut memperlihatkan dengan nyata betapa ‘rakus’ kalangan swasta tertentu dan betapa kemudian disadari kepercayaan yang membuta menyebabkan alpa menyediakan sistem mekanisme agar mampu mengendalikannya.

Cita-cita menciptakan ‘Indonesia Incorporated’, seperti telah disinggung di atas, lahir hanya atas dorongan ingin serba instan, tanpa kajian matang, yang ternyata merupakan andil utama dalam ‘menciptakan’ budaya KKN yang dikutuk itu. Masih tetapkah anggapan yang dianut selama ini bahwa swasta, khususnya konglomerat, bekerja lebih efisien dibanding dengan koperasi dan BUMN. Mengapa mereka, swasta dalam ujud konglomerat, dengan amat cepat bisa meranjah hampir di semua sektor perekonomian bangsa bahkan, boleh dikata, praktis telah menenggelamkan peran koperasi dan BUMN. Pertanyaannya adalah apa dan di mana letak keunggulan Swasta dibandingkan Koperasi dan BUMN.

Ada sesuatu yang harus didudukkan pada tempatnya. Adalah tidak masuk akal menempatkan koperasi dan BUMN, yang lamban mengambil keputusan, sejajar dengan swasta yang lebih cepat dalam mengambil keputusan, di atas bidang datar, di arena yang sama. Selanjutnya, dengan dalih telah memberi kesempatan sama, ketiga pelaku ekonomi diminta bersaing secara sehat. Koperasi, BUMN dan swasta bukan hanya di Indonesia. Banyak negara, termasuk beberapa negara maju, hingga kini masih menggunakan pola tiga pelaku ekonomi. Namun, ketiga pelaku ekonomi tidak dalam arena yang sama. Masing-masing memiliki lahan garapan sendiri yang menghasilkan sinergi dalam kesatuan ekonomi bangsa. Indonesia, seyogyanya mempertahankan struktur perekonomiannya tetap menggunakan model tiga pelaku ekonomi, koperasi, BUMN dan swasta, sudah tentu setelah segala sesuatunya ditempatkan pada tempat yang seharusnya.



[i] Pasal 33 UUD 1945 Amendemen IV tahun 2002 berbunyi sbb,

(1)     Perekonomian disusun sebagai usaha bersama ber­dasar atas asas kekeluargaan.
(2)     Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)     Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4)     Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasio­nal.
(5)     Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
  [ii] Berlawanan dengan hal tersebut di Indonesia swastanisasi BUMN dalam banyak hal justru berakibat pada mahalnya produk yang dihasilkan. Swastanisasi PDAM Jaya dan  swastanisasi pembangkit listrik  adalah sekedar contoh.

 [iii] Undang-undang Koperasi No. 25 Tahun 1992 menjelaskan bagaimana koperasi dibentuk dan dikelola. Ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasalnya seperti tidak berbeda dengan swasta biasa, ada rapat anggota (semacam RUPS di swasta), ada pengurus (semacam Direksi di swasta), dan ada pengawas (semacam dewan komisaris di swasta), namun dalam pelaksanaannya tetap saja koperasi selalu lamban. Professional business man lebih memilih mendirikan swasta biasa daripada koperasi yang status hukumnya untuk perbankan-pun masih dipertanyakan (perbankan terikat oleh perundang-undangan a.l. mengaruskan adanya appraisal, fesibility study, adanya agunan untuk kredit, dsb.  UU tsb konon akan diganti/diperbaharui dengan undang-undang koperasi yang baru yang konon akan diselsaikan sebelum berakhir tahun 2008. Catatan: Apabila mencermati kementerian/departemen tempat dibinanya koperasi, Departemen UKM (Usaha Kecil Menengah) dan Koperasi, maka jelas sokoguru perekonomian tersebut memang diposisikan sebagai usaha kecil/mengah.

Hendarmin Ranadireksa
Wednesday at 5:36pm · Unlike · Report
You, Denni Hopkins Full II, Mbah Barong and Hamdhi Anwar like this.

No comments:

Post a Comment