Saturday, April 2, 2011

3. VISI POLITIK (1)

Fajar demokrasi mulai menyingsing dan sistem demokrasi telah menjadi kesepakatan. Namun berbeda dengan Orde Baru yang memiliki visi dan konsep jelas bagaimana dan dengan apa membangun bangsa, tatkala mereka mengambil alih kekuasaan dari tangan Orde Lama[i], reformasi reformis tidak siap dengan cetak-biru (blue print) bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara harus ditata berdasarkan prinsip demokrasi. Hal mana terlihat dari deskripsi kaum reformis terhadap materi tuntutan tidak satu suara. Artinya penumbangan kekuasaan terjadi tanpa grand design. Yang terlihat dan dirasakan masyarakat pasca tumbangnya rezim Orde Baru hanyalah eforia kebebasan. Kebebasan dilaksanakan seakan demi kebebasan itu sendiri.

Namun di atas segala kekurangan itu, prestasi besar gerakan reformasi adalah keniscayaan atas keberhasilannya ‘melengserkeprabonkan’ Jenderal Besar H.M. Soeharto dari singgasana kepresidenannya. Dampak runtuhnya kekuasaan Soeharto, yang merupakan titik sentral kekuatan Orde Baru maka runtuh pula doktrin rezim yang dengan keras ditanamkan pada masyarakat yang  oleh rezim digunakan sebagai landasan pembenar dalam berkiprah di era kekuasaannya. Mereka menanamkan doktrin, bahwa “Dwi fungsi ABRI adalah panggilan sejarah“, bahwa “disiplin ala militer baik untuk meningkatkan kinerja birokrasi”, bahwa “demokrasi bukan budaya bangsa”, bahwa “Indonesia harus menegakkan demokrasi yang sesuai dengan kepribadiannya”, bahwa “UUD 1945 sudah sempurna”, dll.

Keberhasilan mendesakralisasi UUD 1945, substansinya adalah kembalinya kedaulatan ke tangan rakyat.[ii] Artinya, setelah hampir empat dekade direnggut dari tangan rakyat, gerakan reformasi berhasil, dan ini yang terpenting, menghadirkan kembali demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuasaan bukan lagi di puncak piramid (kedaulatan penguasa). Agar kedaulatan rakyat tidak kembali tercerabut, dibutuhkan pijakan ajeg dan kongkret, konstitusi negara. Dengan luruhnya kesakralan UUD 1945, maka konstitusi yang sebelumnya diperlakukan layaknya kitab suci itu dimungkinkan untuk diubah dan/atau diamendemen. UUD 1945 tidak bisa lagi dipertahankan sebagai tameng penguasa untuk menjustifikasi gaya kepemimpinannya yang represif. Konstitusi yang oleh dua rezim terdahulu (Soekarno dan Soeharto) telah digunakan sebagai alat pengabsah kediktatorannya.

Tuntutan reformasi yang menghendaki perombakan total batang tubuh UUD 1945 bertolak belakang dengan keengganan MPR, yang sebagian besar anggotanya masih produk Orde Baru. Tuntutan keras reformasi dilakukan melalui unjuk rasa tak kenal jeda, di halaman Gedung MPR.[iii] Kaum reformis menghendaki perombakan total atas seluruh batang tubuh UUD 45. Alasannya, karena konstitusi tersebut terbukti selalu mengantar kekuasaan pada kediktatoran.[iv] Pihak lain, khususnya dari penganut islam fundamentalis, yang selama Orde Baru tidak bisa menyuarakan aspirasinya karena kuatnya represi, kembali memunculkan tuntutan agar Pembukaan UUD 1945 diganti dengan Piagam Jakarta yang materi isinya bernuansa islami. Sementara kaum status quo, yang menyadari sudah tidak mungkin lagi mempertahankan kemurnian UUD 1945, mengusulkan modus amendemen.

Masih kuatnya kelompok status quo di MPR terlihat dari betapa keras upaya mereka mempertahankan kemurnian dan/atau keutuhan UUD 1945. Terbukti kemudian betapa minimnya, hanya beberapa pasal dalam UUD 1945 yang diamendemen. Kalangan reformis, yang sejatinya juga tidak memiliki grand design konstitusi yang bagaimana yang dikehendaki, menilai alotnya proses amendemen akibat kegigihan mereka yang menghendaki tetap dipertahankannya keutuhan UUD 1945, sebagai upaya mengulur waktu, sebagai buying time. Sepertinya mereka menunggu eforia reformasi reda untuk kemudian melakukan ‘serangan balik’, menuntut kembali ke UUD 1945 asli.[v]

Bahwa dalam perkembangannya kemudian terbukti proses amendemen tidak mengacu, karena tidak memiliki, kerangka dasar terlihat dari tidak jelasnya mengapa suatu pasal harus/perlu diamendemen. Adakah sistem pemerintahan presidensial atau parlementer atau adakah pemilu proporsional atau distrik, apa landasan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), mengapa kehadiran DPD sebagai wakil rakyat yang mengakomodasi aspirasi kewilayahan tidak dibarengi dengan kewenangan apapun, selain sifatnya sebagai ‘badan penasihat’ DPR, mengapa lembaga ad-hoc semacam KPU, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, harus dimasukkan sebagai layaknya lembaga tinggi negara, mengapa MPR masih dipertahankan kalau pemilu presiden sudah dilakukan secara langsung, dll, dll. Yang mengemuka dalam perdebatan proses amendemen di MPR adalah kuatnya kehendak untuk mengebiri hak-hak presiden, sebagai presiden yang dipilih rakyat dalam sistem peresidensial dan di sisi lain kuatnya kehendak pemberian wewenang kepada DPR, layaknya parlemen dalam sistem parlementer. Produk amendemen pada akhirnya hanya merupakan resultan sejumlah kepentingan jangka pendek yang sifatnya, tentu saja, sementara.[vi] Sejumlah pakar menyatakan materi amendemen sifatnya parsial dan sporadis.

Ketidakjelasan juga terjadi pada bagaimana seharusnya menegakkan “demokrasi yang berkedaulatan rakyat”. Bahwa pemilu dalam demokrasi adalah keniscayaan, praktis tidak ada yang menyangkal. Namun bagaimana pemilu harus dilaksanakan tidak ada kerangka acuan yang jelas. Demokrasi dan pemilu, larut dalam eforia. Sebagai misal, menyongsong pemilu 1999, lahir tidak kurang dari 141 partai politik baru terdaftar di Departemen Kehakiman & HAM, ‘hanya’ 106 partai politik yang mendaftarkan diri ke KPU (Komisi Pemilihan Umum). Melalui segala upaya dan sejumlah argumentasi, hasil verifikasi KPU akhirnya meloloskan 48 partai yang layak menjadi peserta pemilu.[vii] Selanjutnya saat pemilu, sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat dilaksanakan, walau masih dirasakan ada kecurangan namun dibanding pemilu era Orde Baru, tentu masih lebih baik.[viii]

MPR hasil pemilu pertama memilih Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri (Mega). Wajar apabila ekspektasi publik terhadap rezim pemerintahan baru demikian tinggi. Pemerintah Gus Dur-Mega (awalnya) dipercaya sebagai pemerintahan yang tidak semata sah secara hukum namun juga memiliki legitimasi tinggi, karena lahir dari kepercayaan rakyat. Pemerintahan Gus Dur-Mega merupakan produk MPR yang angotanya dipilih rakyat dalam pemilu demokratis, bukan MPR produk pemilu rekayasa. Namun sesungguhnya, tanpa disadari, pemahaman berbangsa dan bernegara masih belum beranjak dari paradigma lama (terbentuk akibat doktrin/dogma selama 32-tahun) a.l. bahwa MPR adalah “lembaga yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat”.

Dari paparan di atas amat nyata tetap ada hal yang perlu terus diwaspadai segenap anak bangsa. Indonesia masih berada dalam iklim pertarungan antara mereka yang berkehendak mengubah paradigma membangun bangsa dengan mereka yang tetap bersikukuh mempertahankan paradigma lama yang ditanamkan Orde Baru. Pendukung reformasi masih harus menghadapi kalangan satus-quo yakni berorientasi pada kepentingan sempit, mengedepankan kepentingan golongan, mengelola kekuasaan melalui penguasaan sumber dana dan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Sementara di sisi lain adalah kenyataan untuk mempertahankan keutuhannya negara telah mendekati limit batas ketahanannya. Reformasi total, yang dituntut mahasiswa, masih harus melalui jalan panjang.

Krisis demi krisis yang dialami bangsa tidak terlepas dari akibat sistem yakni, konstitusi yang berlaku dan diberlakukan. Dalam konteks politik, perlu terlebih dahulu menetapkan apa yang hendak dicapai. Diperlukan visi, visi politik, sebelum masuk pada ranah perdebatan pasal konstitusi. Visi politik harus menjawab terlebih dahulu bentuk negara yang bagaimana yang dikehendaki. Perlu dijauhkan kesan fait a compli; perlu pemahaman bersama atau kesepakatan tentang arti dan substansi kedaulatan rakyat selanjutnya, bagaimana menterjemahkan kedaulatan rakyat dalam konstitusi; kapan dan dimana rakyat dapat mengekspresikan kedaulatannya. Untuk itu perlu dibuka wacana seluas dan sebebas mungkin untuk mengkaji setiap gagasan atau ide agar tidak salah dalam mengambil keputusan.

Perlu keberanian untuk melihat secara jernih apakah bentuk negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial sudah final. Tidak hanya Indonesia, kekuasaan presiden dalam sistem presidensial cenderung membesar, bahkan menjadi terlalu besar, karena kewenangan eksekutif yang memang memusat pada satu figur, Presiden. Perlu dikaji mengapa hampir semua negara, kecuali Amerika Serikat, yang menerapkan sistem presidensial banyak yang terjebak pada pemerintahan otoriter atau diktator ? Mubarak di Mesir, Hafez Assad di Siria, Sadam Hossein di Irak, Marcos di Filipina, Sing Man Rhee di Korea Selatan dan, sudah tentu di Indonesia, adalah sekedar contoh. Pemicunya, umumnya presiden, dalam sistem presidensial, selaku kepala pemerintahan, salah kaprah menggunakan hak prerogatif, yang seharusnya hanyalah kewenangan yang melekat pada fungsi kepala negara. Hak prerogatif kerap dijadikan tameng kebijakannya yang tidak populer atau yang bertentangan dengan akal sehat. Di sisi lain, sistem parlementer-pun, tanpa kematangan pemahaman, juga mudah terjerumus bagi terjadinya kudeta militer. Pakistan dan Thailand adalah salah satu contoh. Perlu dikaji, mengapa negara seperti Amerika Serikat dengan sistem presidensialnya, Jepang dan negara di Eropa Barat dengan sistem parlementer-nya bisa melaksanakan pemerintahan secara normal dan stabil. Kembali, diperlukan keberanian dan kelapangan dada untuk mengakui pasti ada sesuatu yang kurang tepat – untuk tidak dikatakan salah – dalam menerapkan dan/atau memahami sistem secara benar.

UUD 1945 (original) nyata memiliki kelemahan apabila digunakan sebagai rujukan untuk melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa UUD 1945 tidak sempurna, sejak awal diakui dan dinyatakan para founding fathers yang ikut secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam pembuatan UUD tersebut.[ix] Pasal-pasal UUD 1945 terlalu sederhana, mudah ditafsirkan berdasarkan kehendak dan selera yang memiliki posisi tawar kuat, penguasa. Dalam UUD 1945 tidak tergambar di mana letak kedaulatan rakyat. Sekedar contoh, tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang mencantumkan kata pemilihan umum (pemilu). MPR dan DPR terkesan seperti Volksraad era Hindia-Belanda yang keanggotaanya tidak hanya dipilih namun bisa pula ditunjuk. UUD 1945 menyatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” (pasal 1 ayat 2, UUD 1945). Bagaimana mungkin kedaulatan bisa diwakilkan dan/atau tidak dilaksanakan oleh pemiliknya sendiri? Bila mencermati semua pasal dalam UUD 1945 maka nyata sekali MPR diposisikan sebagai lembaga tinggi dan tertinggi negara yang memiliki segala kekuasaan yang ada dalam negara. MPR layaknya ‘lembaga super’. Dimana letak checks and balances?  Adakah dalam kenyataannya demikian? Sejarah mencatat, Soekarno dan Soeharto justru menempatkan MPR sebagai lembaga yang sepenuhnya berada dalam kendalinya.

Terlepas bagaimana nanti bunyi pasal demi pasal yang nanti akan dihasilkan MPR, perlu dipertimbangkan dan dikaji lebih dalam, hal-hal sebagai berikut:


[i] Orde Baru memiliki visi, konsep, dan program pembangunan cukup jelas dan dilaksanakan dengan konsisten.  Namun ternyata  setelah berlangsung lebih dari tiga dasa warsa, visi dan konsep dimaksud terbukti gagal. Perekonomian Indonesia tidak mampu menghadapi terjangan krisis. Fondasi perekonomian negara yang sebelumnya diyakini kuat ternyata keropos. Modal pembangunan yang lebih ditumpukan pada menjual sumber daya alam, apa adanya, tanpa nilai tambah, sejatinya mencerminkan kemalasan, tidak ingin berfikir jauh ke depan. Kesemuanya berujung pada kerusakan lingkungan; utang luar negeri  yang kemudian menjadi ‘jeratan utang’; demikian pula pembangunan  industri (PMA & PMDN) tanpa visi, tidak mampu memilah dan memilih mana industri yang ramah lingkungan dan mana  industri yang merusak lingkungan.


[ii] Kedaulatan Rakyat adalah kekuasan tertinggi dalam negara demokrasi pemilu dan  referendum adalah implementasi kedaulatan rakyat. Rakyat berdaulat membuat atau tidak membuat UUD. Rakyat berdaulat membuat ‘Konsensus Nasional’. Rakyat berdaulat memilih pemimpin dan/atau wakil-wakilnay di pemerintahan. Konsekuensi logis kedaulayan rakyat adalah pelaksanaan pemilu harus mudah, tidak boleh ada hambatan karena alasan biaya, misalnya. Uang negara sejatinya adalah uang rakyat karena berasal dari pajak rakyat, pemerintah hanyalah pelaksana pengelola uang rakyat. Substansi kedaulatan rakyat adalah rakyat memiliki kebebasan, tanpa pengaruh apapun atau siapapun, mengekspresikan dirinya sebagai  warga negara berperan serta dalam menentukan masa depan dan nasib negara. Dalam pemahaman ini nomenklatur “kedaulatan rakyat”memiliki substansi makna.


[iii] MPR, adalah lembaga satu-satunya yang ditetapkan konstitusi yang bisa mengubah dan/atau menyempurnakan undang-undang dasar. [Vide: UUD 1945, Ps. 37: (1), (2)].


[iv] Pemerintahan pertama berdasarkan UUD 1945 (13 Agustus-14 November 1945) hanya memiliki organ eksekutif langsung di bawah presiden/wakil presiden. DPR, DPA, MA, BPK, MPR belum ada. Tidak ada checks and balances. Pemerintahan kedua berdasarkan UUD 1945 produk Dekrit 5 Juli 1959, mengantar Soekarno ke kediktatoran. Pemerintahan ketiga berdasarkan UUD 1945 adalah di era Orde Baru, juga mengantar Soeharto menjadi diktator. Orde Baru yang bertekad di awal kekuasaannya, “akan mengoreksi secara total kesalahan Orde Lama dan akan melaksanakan Pancasila dan UUD1945 secara murni dan konsekuen!”


[v] Saat buku ini ditulis amandemen masih dalam proses. Namun saat tulisan ini diedit ulang, terbukti sinyalemen tentang kegigihan kalangan satus-quo mempertahankan kemurnian UUD 1945 original benar adanya. UUD 1945 dari tahun ke tahun diamendemen. UUD 1945 hingga tahun 2002 telah mengalami empat kali amendemen. Sejak amenedemen keempat kalangan status-quo kembali gigih memperjuangkan agar UUD 1945 original, kembali diberlakukan.


[vi] Terbukti, saat edisi ulang ini ditulis kembali, amendemen pertama tidak memuaskan kaum reformis. Mereka menuntut amendemen atas UUD 1945 harus dilanjutkan. Menyusul setelah itu, amendemen kedua (2000), amendemen ketiga (2001) dan, amendemen keempat (2002). Di titik ini (amendemen keempat) muncul ‘serangan balik’. Kalangan status quo, yang sejak semula tidak menyetujui amendemen menuntut agar UUD 1945 dikembalikan ke bentuk aslinya. Dalih yang dikemukakan, UUD amendemen keempat telah menyimpang dari semangat pendiri republik saat mereka merumuskan konstitusi tersebut. Kini berkembang empat wacana menyikapi UUD 1945. Pertama, yang tetap menghendaki perombakan total batang tubuh UUD 1945; kedua, yang menghendaki cukup diamendemen bertahap hingga bisa diterima semua pihak; ketiga yang menghendaki tetap diberlakukan UUD 1945 Amendemen IV beberapa waktu yang, apabila terbukti masih masih ada yang kurang bisa diamendemen kembali; keempat yang menghendaki nilai-nlai islam, khususnya syariat islam, masuk ke dalam materi pasal dan/atau dalam pembukaan/mukadimah konstitusi (kembali ke Piagam Jakarta).


[vii] E-mail. redaktur@kpu.go.id


[viii] Pemilu juga diklaim sebagai prestasi rezim Habibie hal yang sesungguhnya kurang tepat karena pemilu adalah tuntutan reformasi. Pemilu adalah tuntutan rakyat yang sudah bosan dengan pemilu model lama. Rakyat menghendaki kedaulatannya kembali ke tangannya. Habibie melaksanakan tuntutan rakyat tersebut.


[ix] Pernyataan penting anggota BPUPK terkait dengan perubahan UUD. (Vide RM. A.B. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004)

a. H.Agoes Salim.
“………jangan kita memandang Undang-Undang ini sebagai satu Undang-Undang sakti. Baiklah ada perubahan seperti Undang-Undang biasa…”. (cetak tebal oleh penulis)

b. Moh. Yamin, 15 Juli 1945.
“……Mr. Yamin mengkritik sistematik UUD buatan Panitia yang disebutnya tidak beraturan, bahkan disebutnya melanggar tertib hukum. Dia memajukan sistematik dan pembagian kekuasan yang berlainan dengan sistematik panitia Soepomo….” (h. 48). (cetak tebal oleh penulis)

c.  Soepomo.
“……Saya insaf sedalam-dalamnya, bahwa rancangan panitia itu jauh dari sempurna, memang kita hanya manusia belaka dan bukan ahli. Oleh karena itu kami mengakui betul-betul, bahwa pekerjaan kami tidak sempurna. Kami mencoba merancang undang-undang dasar yang bersifat ‘soepel’. Apa yang sekarang termuat dalam rancangan kami, barangkali tidak akan ketinggalan jaman……” . (h. 361)

d. Ketua PPKI, Ir. Soekarno, (18 Agustus 1945), terkait dengan perubahan UUD saat diremikannya UUD RI 1945.
“……Tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang (kita) buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ‘ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara dalam keadaan tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Udang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna……”. (cetak tebal oleh penulis)


Hendarmin Ranadireksa
Wednesday at 3:05pm · Like · Report
Denni Hopkins Full II, Mbah Barong and Hamdhi Anwar like this.

No comments:

Post a Comment