Visi Budaya, Nation & Character Building
Habis dan rusaknya sumber daya alam (SDA) baik yang sama sekali tidak terbarukan dan sumber daya alam, yang sesungguhnya, terbarukan seperti produk kayu hasil hutan, masih menyisakan sumber daya atau potensi lain, manusia! Manusia-lah sesungguhnya yang harus dijadikan tumpuan potensi bangsa dan bukan dipandang sebagai beban bagi hampir semua penguasa. Namun, 32 tahun pemerintahan Orde Baru berorientasi top-down, represif, dan otoritarian, artinya budaya yang menegasikan kritik, bermuara pada pemerintahan yang sarat KKN, menjamurnya budaya feodal dan dan budaya kelompok yang meminggirkan individuality. Kesemuanya telah merusak mental dan moralitas bangsa. Demikian pula budaya pragmatisme, ala Orde Baru, kemudian berujung pada ‘budaya’ yang berorientasi dan/atau menghargai sekedar pada ‘hasil’ dan bukan pada proses. Yang terakhir ini memerlukan penangkal dalam bentuk budaya pula. Budaya yang baik hanya bisa lahir dari pendidikan dan sistem pendidikan yang baik pula.
Bukan kompetensi penulis untuk membahas masalah budaya yang sungguh maha luas itu. Namun, atas dasar fakta dan logika sederhana saja rasanya sulit dipungkiri bahwa dari sejak kemerdekaan hingga tulisan ini dibuat, perhatian pemerintah terhadap pendidikan masih rendah. Ketidakjelasan sistem pendidikan nasional, selalu berubah-ubah, teras sekali tidak didasarkan atas visi tertentu, serba tambal sulam. Yang terjadi hanya trial and eror dalam sistem. Masih rendahnya anggaran pendidikan dan gaji guru, pelajaran sejarah yang serba direka hanya demi untuk mengagungkan kekuasaan, pendidikan budi pekerti yang hilang/dihilangkan di tingkat sekolah dasar, dan sejumlah lainnya yang tidak mungkin disebut satu demi satu adalah sebagian dari sekian banyak faktor yang menyebabkan pada merosotnya mutu pendidikan dan rendahnya produk yang dihasilkan. Kita tidak boleh terbuai prestasi bersifat individual yang sama sekali tidak mencerminkan keunggulan sistem.
Era globalisasi, yang sudah di depan mata, adalah era persaingan antar bangsa, persaingan SDM, yang tidak lain adalah ‘persaingan’ budaya. Hanya budaya kuat yang akan memenangkan persaingan. Mengutip keterangan pengamat sosial, politik, dan budaya, S. Nakajima, yang menyatakan bahwa pada dasarnya sejarah perjuangan hidup umat manusia berawal dari dua latar belakang budaya, yaitu budaya petani (bertani, berternak dan menangkap ikan sebagai nelayan) dan budaya dagang. Jepang, menurut beliau melakukan strategi pendekatan budaya dengan cara mentransformasi budaya petani, budaya mayoritas bangsa, ke dalam budaya industri. Budaya petani yang telah bertransformasi itu pulalah yang mewarnai budaya industri Jepang. Yang bagaimana “budaya petani” dan yang bagaimana “budaya pedagang” bisa tergambar dalam kisah sederhana dibawah ini:
Budaya Petani (termasuk Budaya Peternak dan Budaya Nelayan) dan Budaya Pedagang.
Si Dadap dan Si Waru hidup dari berjualan telur itik piaraannya. Pada suatu hari datang Si Polan yang, karena tertarik oleh kualitas telur Si Dadap, Si Polan menyampaikan tawaran menggiurkan. Si Polan bermaksud membeli itik Si Dadap dan berencana menjual telurnya, yang bagus tersebut, dengan harga yang lebih tinggi, juga untuk mata pencahariannya. Si Dadap menolak tawaran si Polan. Bagi Si Dadap, ia ke pasar untuk menjual telur bukan untuk menjual itik. Itik baginya sudah merupakan bagian dari hidupnya. Ia biasa bercakap-cakap dengan itiknya setiap pagi pada saat memberi pakan, ia biasa bercakap-cakap dengan itiknya ketika mengambil telur atau pada saat si itik pulang kandang. Si Dadap mencintai itik peliharaannya. Si Dadap mencintai pekerjaannya.
Gagal membeli itik Si Dadap, Si Polan melirik ke Si Waru yang kualitas telur-telurnya tidak kalah bagus dengan Si Dadap. Tawaran yang sama disampaikan pada Si Waru. Berbeda dengan Si Dadap, Si Waru menghitung ‘enteng’. Ia telah memiliki perhitungan berapa ongkos yang telah dikeluarkan untuk memelihara itiknya. Si Waru berpikir ekonomis. Ia membuat kalkulasi. Terjadilah jual beli antara Si Waru dan Si Polan.
Dari hasil penjualan itik, Si Waru membeli bibit itik baru dan dari kelebihannya Si Waru juga membeli tomat. Si Waru kemudian berjualan telur itik dan berjualan tomat. Dalam perjalanan waktu Si Waru menjadi kaya raya. Masyarakat mengenal Si Waru sebagai pengusaha bermacam-macam jenis usaha. Bahkan Si Waru telah meninggalkan bisnis telur itik karena kualitas dan harganya tidak bisa bersaing dengan telur itik Si Dadap.
Kembali kepada Si Dadap yang begitu cinta pada itiknya. Si Dadap yang tekun memelihara itik-itiknya lambat laun mengenal banyak hal tentang itik. Mulai dari pakan yang bagaimana yang disukai itik, pakan yang menyebabkan itik bertelur lebih banyak, penyakit apa yang biasa menyerang, obat-obat apa yang paling cocok, bulan-bulan apa itik kurang berproduksi dan lain-lain. Si Dadap rajin mencatat dan mengevaluasi. Dengan perkataan lain Si Dadap menguasai dunia dan seluk beluk peritikan. Si Dadap menjadi pengusaha sukses dari hasil menjual telur itik.
Si Dadap dan Si Waru adalah pencerminan dua karakter berbeda dengan latar belakang budaya yang berbeda pula. Si Dadap dilatarbelakangi budaya tani, setia pada bidang yang digeluti dan setia pada proses (berorientasi pada proses). Si Dadap tidak pernah berpikir mengalihkan usaha walau pernah suatu saat terjadi penyakit sampar itik yang menyerang itik-itiknya. Dari sisi pandang tertentu Si Dadap bisa saja dinilai statis. Namun satu hal adalah pasti bahwa hanya dari kultur dan karakter seperti Si Dadap-lah bisa lahir budaya yang berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi dalam arti substansial. Menghargai R & D bahkan, lebih dari itu, merasa perlu adanya R & D hanya bisa tumbuh subur apabila masyarakat memiliki mental ‘Si Dadap’.
Si Waru adalah pencerminan dari budaya pedagang. Berpikir cepat, dinamis, ingin cepat meraih sukses, rajin mencari peluang, dan berani mengambil resiko. Grafik kehidupan budaya pedagang umumnya fluktuatif. Kiat keberhasilan pengusaha pedagang umumnya sulit ditiru karena kondisi dan situasi yang tidak mungkin sama. Kiat keberhasilan hanya bisa memberikan inspirasi. Keberanian mengambil risiko mental pedagang atau mental wiraswasta sejatinya adalah mental spekulasi yang berakar pada budaya judi. Dinamika masyarakat dinamika bangsa sangat diwarnai oleh dinamika swasta. Amerika Serikat dengan heterogenitas bangsanya memupuk kedua macam budaya sekaligus, memupuk budaya IPTEK yang berakar pada budaya tani dan juga memupuk dengan sadar mental kultur berani mengambil resiko antara lain dengan penghargaan pada kultur judi. Film-film Hollywood, tidak lepas dari fungsinya sebagai sarana pendidikan untuk bangsanya, secara konsisten menggambarkan keberpihakan pada kedua latar belakang budaya tersebut, budaya petani dan budaya pedagang. Film-film Hollywood yang bertema pertanianan atau peternakan ceritanya selalu memperlihatkan keberpihakannya pada petani atau peternak. Petani atau peternak selalu digambarkan sebagai figur baik dan lugu, yang umumnya berceita tentang tanah miliknya yang diakali pengusaha pengembang/real estat/investor industri, yang selalu digambarkan sebagai figur licik rakus dan jahat; Hollywood juga menggambarkan kejantanan cowboy dan/atau jagoan ala James Bond dari keberaniannya berjudi. Judi adalah ukuran sekaligus lambang kejantanan dari keberaniannya mengambil resiko, secara dingin.
Bangsa Indonesia perlu mengembangkan dua kultur budaya tersebut, yakni budaya setia pada bidang yang digeluti yang pada gilirannya mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan budaya berani mengambil resiko tanpa harus terjebak pada negatifnya kultur judi. Dua kultur budaya melalui manajemen yang baik akan, atau bahkan harus, menghasilkan sinergi bangsa.
2. Budaya Intelektual adalah Budaya Kritik
Manusia adalah ‘hewan yang bertanya’, demikian kata Satre, seakan melengkapi “saya berfikir karena itu saya ada” (cogito ergo sum) yang dikemukakan sebelumnya oleh filsuf Rene Descartes. Dari pernyataan tersebut jelas apa yang membedakan manusia dengan hewan apalagi dengan makhluk lainnya. Bertanya adalah berpikir. Budaya intelektual – dapat juga dikatakan budaya IPTEK – adalah budaya berpikir, bertanya adalah bagian dari berpikir kritis. Budaya kritis akan melahirkan budaya kritik. Produk-produk kualitas tinggi, memiliki daya saing tinggi, yang kini menguasai pasar dunia adalah produk yang lahir dari negara yang memupuk budaya kritik. Budaya kritik hanya dapat tumbuh berkembang dalam negara demokrasi. Produk-produk negara yang tidak memelihara budaya kritik, yang tidak menghargai demokrasi dan yang tidak bisa atau tidak biasa dengan perbedaan pendapat (ketika komunis masih berkuasa), produk industrinya terbukti kalah bersaing di pasar internasional. Jajarkanlah, di era tahun tujuh puluhanan, mobil Volga, Moskovitch buatan Uni Soviet, Skoda buatan Ceko, Robur buatan Rumania, Icarus buatan Hongaria dengan mobil Chevrolet, Ford, Peugeot, Citroen, Fiat, Honda, Toyota dan lain-lain. Betapa aneh, bahkan terkesan ‘dungu’, model produk industri yang ditampilkan negara yang tidak memupuk budaya kritik. Runtuhnya komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur antara lain karena gagal menempatkan produk-produknya bersaing di pasar internasional. Hal yang mengakibatkan, dalam jangka panjang, mereka kekurangan devisa. Mudah dipahami, kritik adalah proses untuk memperoleh kualitas tinggi. Kualitas tinggi adalah syarat agar produk bisa bersaing. Pasar internasional, dalam era globalisasi, adalah pasar yang ‘kejam’. Hanya produk berkualitas tinggi, desain baik, dan harga murah yang mampu bersaing. Efisiensi, produktifitas, kreatifitas akan tumbuh berkembang dalam budaya intelektual yang secara sadar memelihara budaya kritik.
Budaya Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika artinya keanekaragaman dalam kesatuan atau dalam bahasa lebih puitis ‘mozaik dalam harmoni’. Dunia menghargai bahkan mengagumi keanekaragaman budaya Indonesia. Keanekaragaman adalah kekuatan. Keragaman adalah keindahan. Bhinneka Tunggal Ika terpampang jelas tercengkram kokoh oleh kaki-kaki garuda, Garuda Pancasila, lambang negara. Keragaman adalah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia mengenal “Sumpah Pemuda” yang lahir dari kesadaran atas adanya keragaman.
Penyeragaman budaya telah terbukti, sia-sia. Penyeragaman gagal bukan hanya karena mengingkari kebhinnekaan, lebih dari itu, ia gagal karena telah mengingkari kodrat kemanusiaan. Kesadaran bersama akan pentingnya keragaman, kesadaran bersama dan terbiasa menerima ide baru, kesadaran dan kebiasaan (budaya) membahas sesuatu dalam keragaman sudut pandang dan latar belakang budaya akan mengokohkan fondasi budaya bangsa terlebih-lebih dalam upaya mengatasi gejala desintegrasi yang mulai marak sebagai bagian dari krisis multi-dimensi.
PENUTUP
Visi Bangsa (Gambar 5) bukan sekedar cita-cita hampa tapi merupakan gambaran target masa depan Indonesia yang harus dicapai untuk kurun waktu tertentu. Apabila visi telah menjadi KONSENSUS NASIONAL artinya disepakati sebagai tujuan dan cita-cita bangsa, maka tindakan selanjutnya adalah segera melakukan evaluasi atas seluruh proses yang telah terjadi.
Diperlukan putusan dan langkah strategis apa yang bisa dipertahankan, apa yang perlu direvisi atau apa yang harus dihentikan sama sekali apabila ternyata akan berakibat kontra produktif terhadap pencapaian tujuan jangka panjang. Diperlukan keberanian ekstra, keberanian melihat kesalahan, keberanian mengakui kesalahan dan keberanian mengakui kekalahan.
Krisis yang sudah sedemikian parah yang dialami Indonesia tidak bisa lagi disikapi dengan menyerahkan jawaban pada waktu. Eksistensi bangsa dan negara sedang dalam pertaruhan yang kesemuanya amat tergantung pada kecepatan pengambilan keputusan. Rakyat perlu dan berhak mengetahui apa yang sedang dan akan dikerjakan pemerintah beserta segenap jajarannya, diperlukan transparansi. Selanjutnya diperlukan kejelasan kontribusi apa yang diharapkan pemerintah dari rakyatnya dalam mengatasi krisis yang menghimpit bangsa. Ajakan kepada bangsa untuk mau berkorban tenaga, harta, dan fikiran akan diterima oleh rakyat sejauh apabila mereka, yakni rakyat, melihat dengan nyata kesungguhan, ketulusan, dan kejujuran para elit penguasa dalam mengemban tugas yang dipercayakan kepadanya. Kesungguhan, ketulusan dan kejujuran akan sangat mudah dilihat dari perbuatan, cara dan gaya hidup sehari-hari para elit penguasa apakah selaras atau bertentangan dengan keprihatinan yang sedang dihadapi bangsa.
Hidup dan Jayalah Indonesia. Merdeka!!!
Bandung, medio Juni 2000.
Hendarmin Ranadireksa
Thursday at 4:41pm · Like · Dislike · Report
Trias Widhie, Sonny Djatnika Sunda Djaja, Denni Hopkins Full II and 3 others like this.
No comments:
Post a Comment